Berkuda, antara Gaya Hidup dan Olahraga Pendulang Medali
Berkuda kini sudah menjadi gaya hidup, malahan menjadi salah satu cabang olahraga yang kerap menyumbang prestasi di ajang multicabang. Untuk menambah wawasan tentang berkuda di Indonesia, bintang sinetron Nabila Syakieb dan suaminya melahirkan aplikasi berkuda, Djiugo.
Nabila sudah lama menyukai berkuda. Sejak kecil, ia suka menunggangi ojek kuda yang biasanya ada di tempat rekreasi. ”Awal sukanya dari sana,” ujarnya, di Nitro Coffee, Jakarta Selatan.
Sampai akhirnya ketika duduk di sekolah menengah pertama, Nabila mulai mencari sekolah berkuda yang lebih profesional. Ia serius berlatih sejak saat itu. ”Sampai sekarang latihan di Sentul, sudah jatuh cinta,” ucapnya, Selasa (14/11), pada peluncuran aplikasi berkuda.
Menurut Nabila, berkuda saat ini sudah menjadi gaya hidup. Banyak temannya di kalangan artis yang mengursuskan anaknya berkuda. Selain itu, olahraga ini juga mampu menumbuhkan percaya diri dan membentuk karakter bagi penunggangnya.
Namun, berkuda yang dimaksud Nabila bukanlah pacuan kuda, yang terkesan perjudian, melainkan olahraga ketangkasan berkuda. Olahraga yang dalam bahasa asingnya equestrian ini merupakan salah satu cabang yang rutin diperlombakan di Olimpiade.
Bila pacuan kuda adalah lomba cepat. Ketangkasan berkuda dibagi menjadi beberapa cabang. Beberapa yang terkenal di Indonesia adalah tunggang serasi dan loncat rintangan. Keduanya sama-sama mengandalkan keselarasan kuda dan penunggang.
Dalam tunggang serasi, kuda harus bermanuver melewati gerakan-gerakan rumit dan dikendalikan langsung oleh penunggang. Hampir mirip seperti senam lantai yang menilai keindahan dalam gerakan.
Sementara loncat rintangan lebih ke fisik karena mengandalkan kecepatan, kegesitan, dan ketepatan. Penunggang harus meloncati rintangan di lintasan dengan kesalahan seminim mungkin.
Kompetisi multicabang
Berkembangnya berkuda di Indonesia tidak hanya sebagai gaya hidup, tetapi juga terlihat pada prestasi olahraga. Ketangkasan berkuda mulai diperlombakan sejak 2005 di SEA Games Manila. Saat itu Indonesia belum mengirimkan wakilnya.
Sejak 2007 hingga 2015, Indonesia selalu menorehkan prestasi di ajang pesta olahraga bangsa-bangsa di Asia Tenggara itu. Dalam lima cabang, 7 emas, 5 perak, dan 7 perunggu dipersembahkan. Salah satu atlet yang paling sering menyumbang medali adalah Larasati Gading.
”Di Asia Tenggara, kita hampir tidak pernah lepas dapat medali dalam 10 tahun terakhir, kecuali 2017,” kata Fachtul Anas, perwakilan Pengurus Pusat Persatuan Olahraga Berkuda Seluruh Indonesia (PP Pordasi).
Prestasi itu menunjukkan potensi Indonesia yang signifikan dalam cabang berkuda. Terlebih, tahun depan ketangkasan berkuda akan diperlombakan di Asian Games 2018, di mana Jakarta menjadi tuan rumah. Fachtul menilai kesempatan ini bisa menjadi momentum untuk atlet berkuda nasional.
Namun, saat ini stok atlet berkuda belum terlalu banyak. Dalam 10 tahun, Indonesia masih harus bertumpu pada Larasati. Fachtul menilai hal itu karena pengetahuan yang minim tentang olahraga ini. ”Ada yang mengira ini pacuan kuda. Ada yang mengira untuk menjadi penunggang harus punya kuda,” katanya.
Padahal, dalam SEA Games 2017, dari delapan atlet yang dikirimkan, hanya tiga orang yang memiliki kuda. Fachtul mengatakan, saat ini kuda bisa difasilitasi oleh kursus-kursus berkuda.
”Kita masih kekurangan informasi satu pintu tentang olahraga berkuda. Padahal, kalau banyak peminat, peluang atlet berbakat dari Indonesia bisa lebih besar.”
”Ya, kita masih kekurangan informasi satu pintu tentang olahraga berkuda. Padahal, kalau banyak peminat, peluang atlet berbakat dari Indonesia bisa lebih besar,” ucap Fachtul.
Informasi satu pintu
Untuk menyelesaikan itu, Nabila dan suaminya, Reshwara Radinal, yang merupakan atlet berkuda nasional mengeluarkan aplikasi Djiugo. Aplikasi ini membantu pencinta olahraga berkuda di Tanah Air mendapat segala informasi. Mulai dari membeli kuda, menyewa pengajar, sampai mendapatkan informasi seputar berkuda dari dalam dan luar negeri.
Saat tinggal di Belanda, Reshwara bisa mendapatkan informasi berkuda di mana saja. Adapun di Jakarta banyak pertandingan juga, tetapi sulit mengakses informasi itu. Tidak ada informasi satu pintu mengenai berkuda.
Menurut Reshwara, saat tinggal di Belanda, ia bisa mendapatkan informasi berkuda di mana saja, sedangkan di Jakarta banyak pertandingan juga, tetapi sulit mengakses informasi itu. ”Tidak ada informasi satu pintu mengenai berkuda,” katanya.
Kurangnya informasi ini dinilai Reshwara sebagai penyebab pertumbuhan berkuda yang kurang cepat di Indonesia sebab banyak peminat yang bingung harus ke mana untuk belajar.
Reshwara berharap, dengan adanya Djiugo, permasalahan itu bisa teratasi. Apalagi, dalam apikasi itu, disediakan semua kebutuhan mengenai berkuda dalam satu pintu. Djiugo saat ini bisa diunduh di App Store. Sementara untuk sistem Android masih dalam pengerjaan. ”Semoga berkuda bisa lebih dikenal,” ujarnya.
Berkuda, bukan menggunakan kuda menjadi alat, melainkan sebagai rekan penyelaras. Untuk memunculkan keindahan gerakan, bukan adu cepat dan memaksa hewan berkaki empat itu untuk berlari secepatnya, seperti pacuan kuda. (DD06)