Panggilan dari Tanah Sumba
Padang sabana dengan rumput menguning, tradisi pasola, rumah limasan beratap rumbia, dan kain tenun dengan corak dan warna adalah eksotisme alam dan suku-suku di Sumba, Nusa Tenggara Timur.
Keindahan yang terasa primitif sekaligus modern muncul lewat corak grafis kain-kain Sumba dalam 80 set busana rancangan Biyan Wanaatmadja dengan inspirasi dari kain-kain Sumba.
Biyan membingkai rancangannya dalam tajuk Humba Hammu, Sumba Cantik, pada Rabu (15/11) malam di Hotel Dharmawangsa, Jakarta. Musik tradisional dengan alat musik jungga humba mengawali pergelaran. Sebelas penenun yang semuanya perempuan, kecuali satu orang laki-laki dari Waingapu, Sumba Timur, mewakili pusat-pusat tenun di sana, membuka pergelaran. Suasana dibangun melalui pendopo kayu mereplikasi bangunan tempat berkumpul yang umum terdapat di desa-desa Kepulauan Sunda Kecil.
Biyan membingkai rancangannya dalam tajuk Humba Hammu, Sumba Cantik.
Pencinta tenun tidak asing lagi dengan kain tenun Sumba. Warnanya lebih hidup dengan memakai pewarnaan dari alam. Ada biru tua dari daun tarum atau indigo, merah karena akar pohon mengkudu atau biji pinang, dan kuning hingga jingga karena kunyit.
Corak dibentuk melalui teknik ikat atau penggunaan benang pakan, terkadang dicampur dengan teknik sulam. Coraknya lebih beragam, mulai dari hewan dan tumbuhan hingga manusia yang muncul secara grafis. Intinya, kain Sumba, seperti juga kain milik masyarakat adat Nusantara, menggambarkan tata kehidupan komunitas yang menghidupi dan hidup dari kain tenun, mulai dari corak, warna, hingga penempatan corak yang mengikuti pola tertentu.
Setiap corak, warna, dan pola memiliki artinya sendiri. Salah satu corak yang umum, kuda, misalnya, menggambarkan kesetiakawanan dalam hidup berkelompok. Corak kerang adalah milik keluarga bangsawan.
Corak dibentuk melalui teknik ikat atau penggunaan benang pakan, terkadang dicampur dengan teknik sulam. Coraknya lebih beragam, mulai dari hewan dan tumbuhan, hingga manusia yang muncul secara grafis.
Beberapa corak menuntut kemampuan tingkat tinggi artisan penenunnya. Corak tiara haringgi, misalnya, menggunakan teknik lungsi tambahan. Penenun harus merencanakan sejak awal corak yang akan dihasilkan. Ratusan batang lidi dipasang pada benang lungsi yang memanjang agar benang pakan bisa masuk.
Penghargaan
Dengan corak yang kerap berukuran besar untuk kain sarung atau selimut dan benang tenun yang kasar karena dibuat dari pintalan kapas di rumah penenun, tidak mudah mengenakan kain-kain tenun dari wilayah timur Indonesia itu untuk busana kekinian masyarakat urban.
Namun, Biyan membukakan horizon tentang kain tenun yang masih sarat semangat tradisi suku-suku itu saat bertemu dengan kehidupan manusia modern.
Maka, sarung tenun berbentuk tabung dipadukan dengan jaket panjang tipis yang dihiasi corak etnis yang dibordir atau menggunalan kristal dan payet menjadi gaun malam yang akan membuat orang mau tak mau harus memberi perhatian. Atau celana kapri dipadukan dengan jaket berbahan tenun dalam corak geometris. Untuk mereka yang masih ragu mengenakan kain tenun asli, Biyan menawarkan rancangan baru dengan corak yang inspirasinya dari kain Sumba.
Biyan menyebut karyanya adalah bentuk penghormatan terhadap budaya masyarakat Sumba yang mewujud dalam kain-kain mereka. Kain-kain Sumba yang sederhana dan tampil jujur tanpa pretensi, tetapi artistik dan cantik, adalah ajakan untuk menggali lebih dalam filosofi di setiap corak dan warna.
”Kehidupan kita semakin dikendalikan teknologi karena keinginan untuk hidup lebih mudah. Semua berubah cepat. Begitu juga mode. Tetapi, sebetulnya tidak harus selalu begitu. Itu yang saya temui dari karya artisan-artisan di Sumba,” tutur Biyan.
Keterlibatannya pada Sumba sudah terjadi sekitar 20 tahun lalu, tetapi kesibukan membuat dia tak dapat menyelami lebih dalam kain-kain tersebut. Sampai kemudian Bank Indonesia (BI) meminta Biyan membantu pengembangan usaha kecil dan menengah binaan BI. Pergelaran malam itu juga melalui kerja sama dengan Bank Indonesia.
Sebagai bentuk penghargaan kepada para penenun, Biyan juga menyerahkan bantuan untuk pembangunan satu rumah tenun kepada Rumah Asuh yang dikelola arsitek Yori Antar.
Sebagai bentuk penghargaan kepada para penenun, Biyan juga menyerahkan bantuan untuk pembangunan satu rumah tenun kepada Rumah Asuh yang dikelola arsitek Yori Antar. ”Untuk memberikan kebanggaan kepada para penenun dengan menyediakan tempat di mana mereka dapat bekerja di luar rumah sekaligus tempat berkumpul,” tutur Biyan.
Dengan pengalaman dan jejaring globalnya, Biyan mengaku akan berupaya memenuhi permintaan sejumlah penggerak komunitas tenun di Sumba untuk memperkenalkan kehidupan masyarakat pulau itu melalui karya busananya ke masyarakat internasional. Menjadi jembatan budaya melintasi waktu dan ruang.