Rumah Sang "Aktivis", Robi Navicula
Robi Navicula mungkin lebih dikenal sebagai musisi. Namun, ketika berbincang dengan pria bernama lengkap Gede Robi Supriyanto ini, kesan sebagai aktivis sulit dihilangkan dari sosoknya. Seperti ketika kami berbincang di rumahnya yang unik, artistik, dan teduh di Desa Nyuh Kuning, Ubud, Bali, awal pekan ini.
Robi sibuk di dapurnya yang terbuka ketika kami datang. Ia tampak memasukkan jantung pisang yang dibelah dua ke dalam panci berisi air mendidih. Jantung pisang rebus itu nantinya akan diiris-iris dan dimasak kuning dengan bumbu bali. "Saya hobi masak sebagai penyeimbang hobi berkebun, supaya hasil berkebunnya terpakai," katanya sambil tertawa.
Jejak kegemarannya berkebun terlihat di lahan-lahan kosong yang ada di sela rumah-rumah. Kebun tomat, sayur-sayuran, dan buah-buahan tersebar di lahan- lahan yang ada. Selain kebun, ia juga menyisakan lahan untuk tempat membuat kompos dari sampah rumah tangga.
Di belakang rumahnya, ia juga membuat taman tempat pengolahan air limbah rumah tangga (wastewater garden) yang bagian atasnya ditanami keladi yang menyerap racun. Air limbah diolah dengan teknologi sederhana dan kembali menjadi cadangan air tanah. Hanya sedikit sekali air yang dibuang ke selokan umum, itu pun sudah dalam keadaan bersih.
Robi tinggal di kompleks, yang isinya keluarga besar dari pihak istri. Ada sembilan kepala keluarga di sini dengan jarak antarrumah sangat dekat, hanya menyisakan gang-gang kecil tetapi kondisinya bersih dan terawat. Dulu, Robi dan sang istri, Lakota, tinggal di belakang rumah orangtua Lakota. Sejak setahun lalu keduanya pindah, yang jaraknya hanya sekitar 100 meter dari rumah mertua Robi yang bergaya lumbung lengkap dengan atap rumbia.
Robi mendesain sendiri rumahnya yang butuh tiga bulan waktu pembangunan. Adapun rumah di sebelahnya yang dikonstruksi dari rumah kayu dari Tuban didesain ulang bersama ayah mertua Robi. Rekonstruksinya juga butuh waktu tiga bulan.
Robi memanfaatkan bahan- bahan bekas, seperti kayu dan tegel kuno. Selain pro-lingkungan juga menghemat pengeluaran. Tegel-tegel kuno dengan motif dan warna yang unik dibeli dari stok sisa atau produksi kurang sempurna. Kekurangannya tidak bisa memilih motif.
Di sini, kreativitas menyusun motif menjadi tantangan. Salah satu motif adalah rantai kimia oksitosin atau hormon cinta sebagai simbol dukungan keluarga kepada sosok Robin Lim, ibu mertua Robi.
Untuk lantai, selain menggunakan tegel kuno buatan pabrik tegel di Singaraja ini, lantai juga ditutup dengan taburan batu sikat yang ditanam di atas semen. Batu-batu kecil ditaburkan di atas peluran semen. Keesokan harinya saat masih setengah basah, lantai diseka dengan lap basah sehingga permukaan semen tersapu dan menyisakan bagian atas bebatuan.
Untuk dinding hanya diplester halus dengan campuran semen dan kapur yang diberi pigmen warna sehingga hasil jadi dinding akan berwarna. Penampilan warna yang terkesan tidak rata tetapi tahan air dan awet lama ini memberi kesan nuansa mediteranian, seperti tampak pada kamar mandi.
Bathtub atau bak mandi pun dibuat sendiri dengan teknik pembuatan dinding yang serupa.
Kayu-kayu yang digunakan berasal dari kayu jati bekas yang dibeli dari Solo. Sementara rumah kayu dari Tuban, dulunya adalah rumah juragan China yang usia kayunya mencapai 150 tahun.
Rumah kayu ini kemudian dijadikan tempat lokakarya, mulai dari kerajinan, seni, musik, hingga kebidanan. Kamar-kamarnya yang banyak kadang kala digunakan menginap oleh peserta lokakarya. Lantai atas digunakan untuk latihan yoga dan kadang-kadang untuk menonton bareng film.
(Kayu) ini sumbangan dari pasien ibu (mertua) dari Rusia.
"(Kayu) ini sumbangan dari pasien ibu (mertua) dari Rusia. Rumahnya dibeli di Tuban, milik orang China dulunya. Waktu belum ada lahan, kayu-kayu hanya ditumpuk di gudang. Setelah ada lahan, baru disusun ulang," kata Robi sambil memangku Rimba, anaknya yang baru bangun tidur.
Merawat idealisme
Ibu mertua Robi adalah Robin Lim, pendiri Yayasan Bumi Sehat yang membantu ibu-ibu melahirkan dengan metode gentle birth. Yayasan ini tidak menetapkan tarif dan menerima pasien dari semua kalangan. Meski memfokuskan untuk menolong ibu-ibu setempat, pasien asing yang datang juga banyak.
Bumi Sehat membiayai para pasien miskinnya dengan subsidi silang. Pasien kaya diharapkan berdonasi lebih besar agar bisa membantu pasien tidak mampu. Selain rumah kayu, ada juga pasien yang pernah menyumbang ambulans. Robin pernah dianugerahi penghargaan CNN Hero of the Year 2011.
"Dalam waktu dekat ibu akan membangun Bumi Sehat di Papua. Bali tetap menjadi pusatnya. Kami juga punya cabang di beberapa negara lain," kata Lakota, istri Robi yang turut berbincang di depan meja bundar. Anjing betinanya, Becker, ikut nguping percakapan dengan tidur-tiduran di bawah meja.
Meja ini selain untuk makan juga sering dimanfaatkan untuk tempat mengobrol. Ruangan bebas rokok ini letaknya di samping dapur. Obrolan pun mengalir seru ke sana-kemari, mulai dari bambu, regenerasi petani, garam impor, pemuliaan benih, hingga Robi yang tidak keberatan turun ke politik praktis sepanjang hanya sampai tingkatan kepala desa. "Kalau lebih dari itu, saya takut tidak bisa memelihara idealisme," kata Robi yang mulai menjadi aktivis sejak kuliah.
Tak jauh dari situ ada studio musik tempat Robi dan bandnya, Navicula, latihan atau rekaman. Di dekatnya ada studio tempat ia mengolah lagu. Lantai di atasnya adalah kamar tidurnya dan ruang kerja sang istri. Kantor Navicula hanya berjarak hitungan langkah dari rumah Robi.
Navicula yang dibangun Robi bersama teman-temannya sejak mereka SMA sengaja memilih lirik-lirik bertema sosial dan lingkungan. Musik mereka jadikan wahana untuk menyuarakan kepedulian pada kelestarian lingkungan dan sosial.
Akhir November ini, Navicula akan bertolak ke Australia untuk konser sekaligus Robi serah terima posisinya sebagai salah satu dari 21 Young Leaders yang dipilih Asia Society setahun lalu. Selama empat tahun terakhir, ia keliling ke sejumlah negara untuk memberi pelatihan bersama Global Issue Network (GIN) yang membahas isu-isu di sektor Tujuan Pembangunan Milenium (MDGs).
Bidang keahlian Robi adalah permanent culture (permakultur) yang sertifikasinya ia peroleh dari Australia, dan agroekologi yang ia pelajari di India. "Padahal permakultur itu dulu sudah saya pelajari dari kakek saya yang petani. Cuma karena kita tidak punya budaya menulis dan permakultur ini tidak diajarkan di kurikulum, kita jadi asing dengannya," kata Robi yang mengajarkan permakultur di sekolah- sekolah internasional.
Ia ingin sekali mengajarkan permakultur ke sekolah-sekolah negeri, tetapi sayangnya kurang ditanggapi positif. Bersyukur, SD Negeri di dekat Bumi Sehat mulai ikut berkebun dan bermain di lingkungan Bumi Sehat. Ia ingin sekitarnya tetap bertahan alami dan menjadi lingkungan tempat bermain Rimba dan anak-anaknya kelak.
"Saya ingin Rimba main cacing, main tanah bareng anak-anak sekitar," kata Robi tentang anaknya yang masih berusia 1,5 tahun.
Tidak terasa hari mulai siang meskipun obrolan masih jauh dari selesai. Robi memang senang mengobrol. Kadang-kadang ia pergi ke Jakarta hanya untuk mengobrol dan menyerap wawasan baru.
Setelah itu ia pulang ke Ubud, tempat tinggalnya yang tenang, untuk mengaplikasikan inspirasinya yang baru diperoleh. "Kalau saya di sini saja, bisa lupa, tahu-tahu sudah tua dan belum berbuat apa-apa," kata Robi.