Pengunjung berlalu lalang di mal Senayan City. Dua perempuan muda berjalan beriringan, diikuti lirikan tajam ke toko-toko bertuliskan ”Black Friday”. Sempat berhenti sejenak, keduanya kemudian melewati tawaran potongan harga 80 persen begitu saja. Itulah kondisi Jumat pada minggu keempat, November, di Indonesia. Tidak seperti di Amerika Serikat.
Jumat (24/11), mal yang terletak di Senayan, Jakarta, itu tidak terlihat sedang menyelenggarakan sebuah acara besar. Tidak lebih dari 10 toko yang memamerkan poster Black Friday secara terang-terangan. Aktivitas jual beli yang terlihat di toko berembel diskon pun tidak signifikan.
Baru sekitar pukul 20.00, ada geliat di salah satu toko yang menjual alat rias. Namun, pembeli tidak sampai berebutan dan berdesakan. Itu pun karena ada promo, beli satu dapat dua.
Salah satu pengunjung, Jane (32), sedang mengamati barang promo itu. Ia tertarik untuk mampir karena melihat keramaian di toko tersebut. Terlebih, setelah melihat tawaran gratis satu yang menggiurkan. ”Ingin lihat-lihat saja. Siapa tahu ada yang bagus,” katanya.
Jane tidak tahu, pada hari itu sedang diselenggarakan Black Friday. Ia datang ke mal ini karena ingin jalan-jalan setelah pulang kerja. Tempat ini memang kerap disambangi Jane karena kantornya yang berada di sekitaran Senayan.
Pengunjung lainnya, Dita (25), sengaja mendatangi mal ini untuk mencari tahu tentang Black Friday. Namun, sampai saat diwawancarai, ia belum menemukan produk dengan diskon yang menarik. ”Produk yang terkenal diskonnya kecil. Ada yang diskon besar, tetapi tokonya tidak terkenal,” ucapnya.
Dita sebelumnya sudah mengetahui Black Friday karena melihat media sosial. Ia melihat pusat perbelanjaan di AS ramai diserbu pengunjung. Di sana, selain produk yang dijual terkenal, barang yang dijual pun ada yang nyaris gratis dengan diskon 90 persen.
Beda Amerika
Di AS, Black Friday jadi ajang belanja besar-besaran. Menurut data The Balance, ada 101,7 juta orang Amerika yang berebut diskon pada 2016. Ajang yang dimulai sejak 2005 ini pun menjadi sumber pemasukan ekonomi terbesar bagi pusat perbelanjaan.
Dari awal penyelenggaraan sampai sekarang, pemasukan dalam hal penjualan semakin meningkat. Pada tahun pertama sebesar 496,2 miliar dollar AS, lalu semakin tinggi, hingga tahun 2016 mencapai 655,8 miliar dollar AS.
Black Friday pun sudah menjadi budaya baru di ”Negeri Paman Sam” itu. Ajang ini selalu hadir setiap Jumat pada minggu keempat bulan November. Ajang ini bertepatan dengan selesainya perayaan Thanksgiving, yang merupakan bentuk terima kasih setelah berakhirnya masa panen. Belanja ini juga dipakai untuk memborong kebutuhan Natal yang hanya berselang sebulan setelahnya.
Belum hitam
Namun, ketenaran Black Friday belum berhasil diadaptasi di Indonesia. Saat ditemui di kantor manajemen Senayan City, Assistan Manager Public Relations and Customer Relations Senayan City Elsi Adianti setuju dengan keterbatasan itu.
Menurut Elsi, ini merupakan tahun kedua penyelenggaraan Black Friday. ”Tetapi sudah lebih baik dari yang pertama. Pengunjung dan toko yang ikut memeriahkan lebih banyak,” lanjutnya.
Elsi mengatakan, sekitar 100 toko menawarkan diskon tahun ini. Jika tidak terlihat ramai, mungkin karena banyak toko yang belum menampilkan poster atau iklan di depan secara terang-terangan. ”Salah satunya mungkin karena budget. Kan, sayang kalau hanya tiga hari,” ucapnya.
Sementara, menurut Elsi, Black Friday belum bisa memiliki hegemoni karena masih sangat lokal. Hanya beberapa pusat perbelanjaan di Jakarta yang mengadopsi ajang ini. Berbeda dengan Jakarta Great Sale yang diadakan dalam skala nasional, dengan waktu satu bulan penuh.
Promosi akan adanya Black Friday juga tidak banyak di media sosial dan internet. Berdasarkan pencarian di Twitter dan Google, tidak ada informasi khusus yang membahas tentang acara itu di pusat perbelanjaan Indonesia.
Elsi berharap, dengan pemberitaan di media, Black Friday yang berlangsung sampai Minggu (26/11) bisa ramai. Apalagi, kebetulan ada sebuah toko besar yang akan tutup tidak lama lagi. ”Jadi, mereka cuci gudang. Diskonnya ada yang sampai 80 persen,” ujarnya.
Black Friday bukanlah tanpa arti. ”Jumat Hitam” diambil dari krisis keuangan di AS pada 1869. Saat itu, pada Jumat bulan September, dunia saham mati seketika dan pembukuan keuangan menjadi merah.
Untuk itu, Jumat Hitam mewakili kekelaman krisis keuangan, dengan harapan pembukuan berubah menjadi hitam atau tanda keuntungan. Namun, Indonesia belum mampu mengikuti hegemoni itu. Di sini, Jumat belum hitam. (DD06)