Budi Lim dan Lapisan Sejarah
Hawa dingin akibat hujan yang turun deras sore itu tergantikan kehangatan ketika memandang beragam hiasan patung kayu, perabot dari kayu-kayu utuh, hingga patung-patung karya Dolorosa Sinaga yang turut menghuni rumah itu. Patung-patung itu, menurut Budi, berbicara tentang kemanusiaan, humanisme, dan tentang nilai kehidupan yang juga dianutnya.
Kehangatan mengental dengan suguhan kopi hangat dan aneka camilan. Di usianya kini, Budi masih gemar ngemil. Demi menjaga keseimbangan, ia terbiasa minum air rebusan beras merah setiap pagi serta menyeruput teh yang dikumpulkannya dari Eropa hingga China. Dari jejeran koleksi teh miliknya, bisa dijumpai daun teh yang telah berumur 300 tahun.
”Sehat itu keren. Itu harus. Kami selalu sediakan makan buat 40 karyawan agar tidak jajan di pinggir jalan. Arsitektur itu tentang kehidupan yang benar dan baik karena itu bisa melahirkan bangunan sehat. Bukan tentang bentuk atau gaya. Saya percaya sekali dengan itu,” ujarnya.
Lapisan sejarah
Setelah merampungkan pendidikan arsitektur di Oxford Brookes University, Inggris, Budi jatuh cinta pada upaya konservasi dan restorasi bangunan tua. Pulang ke Tanah Air akhir 1983, Budi lantas memulai kiprahnya dengan terlibat pada pemugaran gedung-gedung tua menjadi kantor Bank Universal. Selanjutnya, tanpa kenal lelah, Budi konsisten dalam ”membereskan” bangunan-bangunan terutama di kawasan Kota Tua dan sekitarnya, memperjuangkan Segitiga Senen, dan komitmen pada bangunan-bangunan strategis yang menurut dia layak dipertahankan.
Apa sebenarnya perbedaan antara konservasi dan restorasi?
Restorasi mengembalikan seutuhnya, sedangkan konservasi memperbaiki sebisanya dengan penambahan peran baru. Restorasi lebih menyembuhkan seutuhnya, konservasi menyembuhkan untuk kebutuhan peran baru. Kadang ada orang atau bangunan butuh direstorasi, ada yang perlu konservasi. Untuk peran baru, konteks baru, tetap harus menghormati kaidah lapisan sejarah sebelumnya tapi enggak lalu jadi romantis.
Restorasi atau konservasi itu hanya istilah akademislah. Ujungnya, kalau lihat bangunan harus seperti lihat ayah, ibu, atau istri.... Apa judgement Anda? Kamu senang bangunan tua bukan berarti kamu ahli. Cinta saja enggak cukup. Butuh mengerti sejarah hingga teori yang terus diupdate. Kalau saya pakai teori tahun 1970-an, itu sudah usang. Harus mengikuti teori terakhir.
Anda terlibat dalam upaya konservasi dan restorasi bangunan tua dari sejak 1980-an. Apa yang membuat stamina kuat hingga terus konsisten?
Karena cinta saya pada Jakarta. Bukan uang yang saya cari, melainkan kecintaan pada arsitektur, pada kota Jakarta itu yang membuat saya enggak pernah give up, termasuk pencarian saya bagaimana membuat arsitektur yang lebih baik. Terus mencari.
Saya pulang Tanah Air tahun 1983 dan mulai berusaha mengerti Jakarta, tempat saya lahir. Setiap Sabtu-Minggu, saya ajak istri keliling lihat bangunan tua, lihat jalan ke kampung. Tambah tahu, tambah sayang. Selama dua tahun, saya perjuangkan Segitiga Senen agar tidak dihancurkan, tapi saya kalah. Benar-benar terjadi ”pembunuhan” massal ketika Segitiga Senen diratakan. Saya marah sekali.
Segitiga Senen itu menarik sekali. Ada surat lahirnya sejak sebelum 1801. Gedung yang sekarang jadi Gedung Keuangan tadinya mau dijadikan istana oleh Daendels. Segitiga Senen menjadi rumah bagi tiga warga utama Jakarta: Betawi, Tionghoa, dan Arab. Karena akrab, mereka pakai baju tidur saja bisa nongkrong di pinggir jalan. Saya melihatnya bukan arsitektur, melainkan orangnya, masyarakatnya yang mencerminkan arsiteknya. Saya senang lihat lapisan-lapisan sejarah itu.
Ketika merestorasi atau mengonservasi, Anda selalu bertemu dengan banyak lapisan sejarah itu?
Maka, saya senang belajar sejarah. Saya tertarik nilai pada zaman itu. Itu berhubungan juga dengan layout. Gedung Arsip Nasional, misalnya, dibangun awal abad ke-18. Kalau mengerti sejarah, kita bisa mengupas lapisannya. Lihat era abad ke-18-an. Banyak arsitektur masjid di luar Batang, yang sekarang sudah tidak ada lagi, mirip dengan Gedung Arsip Nasional. Jadi, saya tertarik masalah sejarah dan sosial. Melihat masyarakat adalah bagian dari lapisan. Saya lihat bangunan sama seperti manusia.
Ketika memugar Gedung Arsip Nasional, banyak cerita menarik. Gedung ini awalnya dibangun pejabat tinggi VOC yang merupakan orang Jerman, Reinier de Klerk, akhir abad ke-18. Gedung tersebut pernah dibeli oleh budak yang pernah disiksanya.
Cinta Jakarta
Lahir dan besar di Jakarta, Budi mengaku sangat cinta dengan Jakarta. Karena itu, ia terus berjuang untuk berkontribusi bagi penataan kota Jakarta. Ia antara lain terlibat membantu Pemprov DKI Jakarta dalam penataan sepanjang Jalan Kali Besar pada zaman Gubernur Soerjadi Soedirdja dan Taman Fatahillah di masa Gubernur Sutiyoso. Saat ini, Budi dan timnya pun masih merampungkan program penataan lingkungan luar ruang di Kali Besar.
”Saya tertarik dengan ruang luar. Ruang luar seperti tulang punggung Anda, harus benar strukturnya. Saluran harus benar. Kota harus seperti mutiara dalam lumpur. Dihidupkan kembali, dikembalikan anatominya. Kembali sehat dan kita hormati lapisan-lapisan sejarahnya. Namun, kita juga harus tahu. Kota seperti masyarakat penuh dengan perubahan. Perlu perubahan peran,” kata Budi.
Sejak kapan memfokuskan diri terutama pada restorasi dan konservasi bangunan tua?
Seiring berjalannya waktu. Saya maunya sebenarnya jadi pastor Yesuit ketika sekolah di Kanisius karena saya kagum dengan pastor-pastor Yesuit. Mereka sudah selesai dengan dunia. Dunia uang, dunia kewanitaan. Enggak cuma memimpin misa di gereja, semua punya keahlian luar biasa. Ada ahli agama, ada ahli metafisik. Saya kagum dengan Ordo Yesuit, tapi orangtua enggak kasih. Orangtua adalah pebisnis Tionghoa yang anaknya sukses.
Saya melihat hidup saya harus berguna. Enggak mau menjadi kaya raya dengan membohong atau merugikan orang. Itu janji saya dari kecil. Saya lihat arsitektur adalah profesi yang baik tentang kehidupan. Saya suka bercanda sama anak. Kita enggak boleh jadi setumpukan daging mentah yang enggak berguna bagi masyarakat. Itu pandangan saya.
Di Inggris, saya belajar tentang kehidupan. Saya tertarik banget belajar manusia dalam ruang. Bukan heboh mencari bentuk atau gaya. Gaya arsitek seperti Roman atau Greek itu, kan, mencerminkan nilai. Kalau melihat style, saya melihat nilai orang pada zaman itu. Kalau lihat kolom-kolom itu, kan, memperlihatkan kekayaan, kekuasaan....
Sebagai arsitek, apa ketertarikan utama Anda saat ini?
Saya tertarik bagaimana dengan menjadi arsitek, saya bisa hidup lebih baik dan kota jadi lebih baik. Saya juga dikenal sebagai arsitek coorporate identity. Dulu dengan Bank Universal, sekarang dengan Bank Tabungan Pensiunan Nasional (BTPN) Sinaya (pemugaran Gedung De Driekleur, warisan Frederik Albers, arsitek terkemuka di Hindia Belanda, yang dibangun tahun 1938 di Jalan Ir H Juanda, Dago, Bandung, menjadi kantor cabang BTPN Sinaya memberi impresi jelas bahwa bank ini ramah lingkungan).
Bagaimana supaya tidak terjebak nostalgia saat restorasi atau konservasi bangunan?
Harus mengerti secara holistik. Apa yang mau diberesi. Tidak boleh romantis dengan masa lalu, tapi mencintai dengan tulus. Kalau romantis bisa mengada-ada, nempelin yang enggak-enggak. Mesti mengerti nilai apa yang enggak mau lagi dimunculkan.
Mempertahankan peninggalan kolonial itu bagian dari lapisan sejarah kita. Namun, harus hati-hati, jangan merayakannya, enggak harus menghancurkan. Itu sudah bagian dari kota kita dengan nilai yang sekarang. Enggak boleh romantis. Harus cari peran baru untuk konteks yang sekarang. Supaya punya peran baru. Mengembalikan anatomi yang sehat untuk warga Jakarta. Kedatangan turis itu bonus. Jangan jadi utama.