Jengkol Mengikis Stigma
Sejumlah koki bahkan dibuat kerepotan karena diberondong pertanyaan pengunjung. Salah satunya adalah Anton (18) yang dicecar beragam pertanyaan, mulai dari daerah asal jengkol, bumbu-bumbu yang digunakan, dan proses memasaknya.
”Saya senang mendapat banyak pertanyaan. Itu artinya banyak juga yang suka jengkol. Mereka hanya perlu diberi tahu cara memasaknya dan variasi olahannya,” ujarnya.
Sebelum mendapatkan olahan jengkol yang diinginkan, pengunjung terlebih dahulu memesannya di Green Spot Healty Food Café, sebagai pihak penyelenggara Festival Jengkol 2017. Bukti pembayaran pemesanan kemudian diserahkan ke koki di masing-masing stan sesuai jenis olahan jengkol.
Tak sedikit pengunjung harus mengantre. Sebab, lebih dari 300 pengunjung memadati lokasi itu setiap hari selama festival digelar.
Saking antusiasnya, pengunjung sudah mengantre walaupun beberapa stan belum dibuka. Mereka rela menunggu agar dapat merasakan makanan lebih awal.
Stan steik jengkol menjadi salah satu yang paling banyak dikunjungi. Bahkan, sebelum kokinya datang, sudah ada sepuluh pesanan pengunjung di atas meja stan tersebut.
Beberapa di antara mereka juga sibuk mencatat dan memotret bumbu-bumbunya. Tak sedikit yang memvideokan proses pembuatannya.
”Untuk dipraktikkan di rumah. Ini jadi referensi baru untuk membuat makanan dari jengkol,” Ujar Yulianti (29), pengunjung asal Kota Bandung, sambil merekam proses pembuatan steik jengkol.
Menurut Yulianti, festival tersebut bukan sekadar ajang pameran masakan jengkol. Namun, yang lebih penting, pengunjung mendapat pengetahuan baru untuk membuat beragam makanan dari jengkol.
Apalagi, kokinya tidak pelit ilmu. Pengunjung bebas bertanya, bahkan saat koki sedang memasak. Beberapa pengunjung pun meminta nomor telepon koki agar dapat berkonsultasi lebih lanjut mengenai masakan jengkol.
Menangkal bau
Hal paling sering ditanyakan pengunjung adalah cara mengurangi bau jengkol. Sebab, hal itu dianggap paling mengganggu karena menyebabkan bau mulut beraroma jengkol.
”Makanya, makan jengkol enggak bisa sering-sering. Soalnya, baunya menyengat. Kan, malu kalau lagi ngobrol dengan teman napasnya bau jengkol,” ujar manajer personalia salah satu bank swasta di Kota Bandung.
Selain steik jengkol, Yulianti juga mencoba burger jengkol dan sate jengkol. Menurut dia, tekstur jengkol di festival itu lebih lembut dibandingkan dengan di warung atau restoran pada umumnya.
”Sebenarnya jengkol banyak disukai. Terbukti ketika Lebaran, harga jengkol juga naik dan permintaannya meningkat. Namun, banyak yang jaga gengsi mengakuinya karena malu,” ujarnya.
Laras (30), pengunjung asal Serang, Banten, mengaku baru pertama kali memakan jengkol. Dia mencobanya karena penasaran sekaligus tergoda selera melihat beragam olahan jengkol.
”Pertama saya coba satenya. Penasaran karena selama ini belum pernah lihat sate jengkol,” ujarnya. Karena dirasa enak dan tidak terlalu berbau, dia ketagihan dan mencoba olahan lainnya, seperti steik dan pasta jengkol.
Inisiator Festival Jengkol 2017, Dwi Kartika, mengatakan, olahan jengkol tidak kalah dibandingkan makanan lainnya. Dia mencontohkan, rendang jengkol tak kalah enak dengan rendang daging.
”Bumbunya sama. Hanya saja daging diganti jengkol. Begitu juga makanan lainnya. Cuma bahan dasarnya saja diganti jengkol,” ujarnya.
Dwi tak menampik, banyak orang tidak menyukai jengkol karena baunya. Pemilik Green Spot Healty Food Café tersebut mengakui, bau jengkol sulit dihilangkan, tetapi dapat disamarkan. Caranya, dengan teknik merebus yang tepat.
Jengkol perlu direbus semalaman. Jika aromanya masih menyengat, dapat mencampur air rebusan dengan kopi, bawang putih, atau jahe. Untuk hasil maksimal, proses ini dapat diulang sekali lagi.
”Apinya kecil saja agar bahan campurannya meresap sempurna. Jika baunya tidak terlalu menyengat, cukup direbus selama empat jam,” ujarnya.
Dwi mengatakan, acara tersebut bertujuan mengenalkan variasi masakan jengkol ke masyarakat. Selain itu, juga untuk mengikis kesan jengkol yang masih diidentikkan sebagai makanan masyarakat kelas bawah.
”Anggapan itu tidak selamanya benar. Buktinya banyak masyarakat menengah atas yang rela antre untuk berburu jengkol di festival ini,” ujarnya.
Untuk mengikis stigma itu, Dwi bersama kalangan penyuka jengkol lainnya berencana menggelar festival jengkol di kota-kota lain. Mereka ingin jengkol diterima lebih lebih luas di masyarakat, dari kelas bawah, menengah, hingga atas.
Keinginan itu mulai tecermin dari Festival Jengkol 2017 yang menggugah selera lebih dari 900 pengunjung dari berbagai kalangan. Tak sedikit pengunjung kecewa karena 150 kilogram jengkol yang disediakan setiap hari ludes dalam empat jam. Jadi, masih adakah yang menjengkali jengkol?