Maaf, Kami Belum Bisa ”Move On”
Menjelang petang, Febrianti berpindah dari satu panggung ke panggung lain untuk ikut larut dalam kor bersama dipimpin para penyanyi yang berjaya pada era 90-an. Empat panggung diisi, antara lain, Dewa 19 featuring Ari Lasso, T-Five, Reza Artamevia, KLA Project, The Groove, P-Project, Base Jam, Voodoo, dan Stinky. Puncaknya adalah penampilan Sixpence None the Richer yang hit dengan lagu ”Kiss Me”. ”Oh kiss me, beneath the milky twilight/lead me out on the moonlit floor...”, seandainya lupa liriknya.
Bau kayu putih
Para idola itu jelas sudah tak sama dengan ketika mereka sedang hit dulu. Suara, gaya panggung, sampai bentuk badan sebagian besar berbeda. ”Di ruang ganti sekarang baunya minyak kayu putih,” kata Denny Chandra, personel P-Project, saat jeda lagu yang mereka bawakan.
Sesuai perjanjian dengan panitia, lanjutnya, setiap dua lagu harus istirahat. Ngomong banyak, nyanyi sedikit, adalah strategi mengatur napas, katanya disambut tawa penonton.
Namun, penonton memang tak peduli. Yang mereka lakukan adalah ikut menyanyi lagu ”Mencontek”, ”Antrilah di Loket”, ”Hemat Biaya”, ”Cover Boy”, dan ”Kop & Heiden” beramai-ramai. Ikut menertawakan kekonyolan Iszur Muchtar, Daan Aria, Joe ”P-Project”, dan Iang Darmawan yang kadang lupa lirik lagunya.
”Kalian generasi 90-an adalah generasi paling bahagia,” teriak Denny, diamini penonton dengan tepuk tangan dan pekikan girang.
Kegirangan serupa ditemui saat pergelaran Festival Mesin Waktu, Sabtu (14/10). Kerumunan penonton bertahan hingga lewat tengah malam demi menikmati lantunan lagu dari Naif, New Bening, Base Jam Reunion, dan Potret.
”Let’s get roll sedikit, everybody. Anak zaman now mana suaranya?” seru David, vokalis Naif, sebelum mengguncang panggung dengan lagu ”Televisi”. Jika anak muda zaman now tidak lagi terikat dengan televisi, anak muda era 90-an punya memori tak terlupakan terkait televisi, hiburan utama kala itu.
Penampil lain yang tak kalah seru dan berusaha tampil serupa masa keemasan mereka adalah Base Jam Reunion dengan lagu ”Bukan Pujangga” dan ”Rindu” serta Potret dengan lagu ”Bunda” yang menguras emosi dan melelehkan air mata penonton.
”Saya tertarik nonton karena kangen banget sama Naif dan Potret,” kata Winda, penonton kelahiran 1990, yang menonton bersama suaminya yang lahir tahun 1986.
Seperti The 90’s Festival, Festival Mesin Waktu juga menghadirkan zona nonton, zona main, zona jajan, dan zona museum. Sembari nonton pertunjukan musik, pengunjung bisa berkelana ke masa lalu di zona museum yang menghadirkan barang-barang jadul, seperti disket, pager, walkman, kaset, dan videotape.
”Nostalgia selalu membuat kita merasa bahagia. Kami ingin membawa kebahagiaan itu,” ujar Sarah Deshita, Assistant Brand Manager Ismaya Live.
Kelengkapan masa
Kenapa era 90-an begitu menimbulkan kegembiraan? Penyanyi Yura Yunita (26) berpendapat, banyak memorabilia dari era itu, salah satunya musik. ”Menurutku, musik yang muncul pada era 90-an itu everlasting dan punya daya tarik sangat kuat, dari aransemen musik juga liriknya. Jadi (suka) kangen,” ujarnya.
Meriana (37), penikmat musik 90-an, hingga kini tak pernah bisa move on dari musik era tersebut. Daftar lagu di ponsel dan komputernya masih didominasi lagu-lagu Dewa 19, Padi, Reza Artamevia, dan Sheila on 7. Dia juga hafal lagu-lagu milik Ismi Azis yang kerap didengar waktu SD.
”Saat di mobil bersama anggota tim yang rata-rata generasi milenial, kebetulan ada lagu ’Kasih’ milik Ismi Azis di radio. Jangan diganti channel-nya, kubilang. ’Emang lagu siapa itu, Mbak?’ Aku jawab Ismi Azis. Mereka bengong,” kata Meriana, terbahak.
Tak hanya hadir dalam festival-festival, kegembiraan 90-an juga hadir dalam berbagai bentuk. Yang sudah hadir menyapa adalah media sosial dengan isi berbagai macam nostalgia itu, yakni akun @generasi90an di Instagram dan @Generasi90an di Twitter. Pengikut di Instagram sudah 887.000 akun per akhir pekan lalu. Meme, foto, cuplikan acara televisi, dan segala pernak-pernik terkait dengan era 90-an terpampang, mengalirkan kenangan dan menerbitkan tawa.
Akhir pekan lalu, ruang udara juga dipenuhi nuansa 90-an. Stasiun radio Delta FM, misalnya, selama 24 jam penuh memutar lagu-lagu masa itu. Para pendengar diajak berinteraksi dengan menuturkan pengalaman paling berkesan dan apa yang membuat mereka susah move on dari era itu. ”Waktu itu naik angkot masih Rp 200,” kata salah satu pendengar.
Anas Syahrul Alimi, CEO Rajawali Communication Indonesia, menggelar sesi khusus lagu-lagu 90-an pada hari pertama Prambanan Jazz Festival 2017. Dia sengaja menyuguhkan musisi/penyanyi/band 90-an dalam satu panggung karena musik pada era itu paling mewarnai industri musik Tanah Air.
”Saya melihat industri musik Indonesia paling dipengaruhi artis 90-an. Sampai hari ini, yang paling kental, kan, musik 90-an,” kata Anas.
Menurut musisi Yovie Widianto, kembalinya tren 90-an bukan hal aneh karena era terus berputar. Hal yang sama terjadi pada era sebelumnya. Memori tahun 70-an dan 80-an juga ada, bahkan nantinya era milenial pun hanya akan jadi kenangan.
Namun, era 90-an dinilai lebih spesial karena perjuangan mencapai musik berkualitas banyak tercapai saat itu. ”Dari sisi teknis, tahun 90-an adalah kelengkapan sebuah masa, yaitu masa dimulainya era modern dalam bermusik. Tahun 80-an ditemukan semua teknologi digital, lalu tahun 90-an mulai bercampur. Spirit 70-an masih ditangkap juga sehingga terjadi harmonisasi musik dan lirik. Jadinya, musik 90-an sangat kaya,” ujarnya.
Setiap era meninggalkan kenangannya sendiri-sendiri. Kenangan era 70-an atau 80-an mulai pudar seiring generasinya yang sudah senior. Generasi milenial masih mengukir kenangannya. Kini era 90-an yang sedang hangat-hangatnya mengenang keindahan masanya. Ibarat pacaran, lagi sayang-sayangnya, gitu. Jadi, maaf kalau isinya nostalgia melulu, ya....
(MAWAR KUSUMA/DWI AS SETIANINGSIH/FRANSISCA ROMANA NINIK)