Mahkota untuk Si Tomboi
Ia juga sempat merasa dirundung oleh warga dunia maya dengan komentar mereka di media sosial. Komentar tentang wajah bulatnya, tubuhnya yang kurus, hasil fotonya yang dikatakan paling jelek di antara yang lain, wajahnya yang tidak memancarkan aura ”queen” hingga busananya yang dianggap kurang cetar, membuat Kevin sempat murung.
”Terus terang aku sempat kesal, tetapi itu kemudian jadi cambuk buat aku. Aku memang enggak suka terlalu pamer aku sudah usaha apa saja untuk persiapan kompetisi. Padahal, aku nge-gym tiap hari. Sampai aku pernah posting begini, strategi biar aku saja yang tahu. Itu jadi pelajaran banget buat aku, jangan terusik dengan omongan orang, yang penting kita tahu strategi yang kita jalankan,” kata Kevin panjang lebar.
Suara seperti badai mengiringi obrolan kami. Padahal, cuaca di luar sedang terik. Kami bergeser menjauhi jendela apartemen, tempat kami berbincang. Perempuan bertinggi tubuh 176 sentimeter ini masih semangat bercerita. Seseorang menutup jendela yang sedikit terbuka yang menjadi sumber suara seperti badai itu. Suasana kembali tenang dan Kevin melanjutkan kisahnya.
Ringan tangan
Selama interaksinya dengan sesama kontestan, chaperone atau pendamping, dan dewan juri, Kevin dianggap mandiri dan ringan tangan. Ia lebih memilih membawa barang-barang bawaannya sendiri ketimbang membebani pendamping yang sudah sangat kerepotan mengurus beberapa kontestan yang dipegangnya. Bahkan, Kevin tidak segan turut membantu chaperone yang terlihat sedang kerepotan.
”Yang seperti itu, kan, sebenarnya sudah biasa, ya, di budaya kita. Kalau ada yang kerepotan, kita bantu. Aku sih spontan saja, bukan mau cari tambahan nilai dan itu juga terjadi dengan perwakilan Indonesia tahun-tahun sebelumnya. Mereka dinilai ramah, sopan, dan helpful. Hal yang kelihatan remeh, selalu mengucapkan terima kasih dan maaf itu ternyata berdampak besar,” kata Kevin.
Anak pertama dari dua bersaudara ini juga aktif dalam berbagai forum diskusi yang digelar sepanjang ajang MI. Pernah sekali ia gagal masuk forum dan itu membuatnya sempat terpuruk. ”Pas capek-capeknya ditambah enggak enak badan. Aku sempat down saat itu. Video call ke rumah sambil nangis-nangis. Untung besoknya mood-ku sudah bisa naik lagi,” kata Kevin yang sangat dekat dengan mama dan ayahnya.
Ajang menampilkan bakat, meski tidak mendapat nilai, tetap berusaha direbut oleh Kevin. Ia sengaja membawa peralatan angklung dengan dua koper untuk membawakan lagu yang ia latih selama tiga hari di Tanah Air. Kevin berhasil mendapatkan kesempatan yang hanya diberikan untuk sembilan kontestan dari total 69 peserta.
Angklung dan jamu
Dari sini, ia bisa berkisah tentang alat musik dari bambu yang kemudian merembet ke mana-mana hingga ke suling dan ternyata alat musik serupa juga ditemui di Jepang. Obrolannya nyambung dengan juri yang membuat Kevin lebih diperhatikan. Begitu pun saat ia mengenakan kostum nasional ”mbok jamu” di MI, meski tidak terpilih sebagai best national costume, itu memberinya kesempatan untuk menjelaskan tentang jamu dan mengajak orang-orang mencicipi jamu kunyit asem yang dibawanya.
Selama di sana, setiap kontestan dituntut mandiri. Kevin, misalnya, harus bangun pagi-pagi sekali agar cukup waktu untuk merias wajah dan menata rambut yang ia lakukan sendiri. Setiap hari, rata-rata ia hanya tidur 4-5 jam karena padatnya kegiatan. Rasa kangen keluarga bukan sesuatu yang mudah karena terbukti salah seorang peserta terpaksa mundur dan pulang ke negara asalnya karena tidak kuat menahan kangen. Begitu pula dengan sikap sehari-hari yang harus senantiasa dijaga.
”Ada lho peserta yang bisa membentak chaperone. Kebanyakan peserta fokus pada persiapan fisik, tetapi lupa bawa personality,” kata Kevin yang hobi berlatih muaythai dan kick boxing ini.
Selama enam bulan sebelumnya, bersama ketiga putri lain, Kevin digembleng dengan berbagai persiapan yang disokong Yayasan Puteri Indonesia (YPI) dan PT Mustika Ratu. Mereka harus ikut pelatihan berbicara di depan publik, bahasa Inggris, hingga table manner.
Prestasi Kevin ini seperti sudah ”disiapkan” jalannya. Kevin, gadis tomboi yang lebih banyak pakai kaus dan celana gombrang ketika remaja, masuk sekolah model dan kepribadian ketika duduk di bangku SMA. Orangtua Kevin yang dulu sebenarnya mengidamkan anak laki-laki mulai khawatir dan ingin anak perempuannya tampak lebih feminin.
Selesai kursus kepribadian, Kevin mencoba pemilihan Gadis Sampul 2012 dan masuk sebagai Gadis Sampul Persahabatan. Ia pernah juga menjadi Duta Earth Hour Jawa Barat yang mengantarkan Kevin sebagai Putri Indonesia Lingkungan sekaligus runner-up 1 Puteri Indonesia 2017. Ia lalu menjadi orang Indonesia pertama yang merebut posisi puncak MI, satu dari empat besar kompetisi kecantikan tingkat dunia.
Sebagai MI 2017, tugasnya semacam duta pertukaran budaya untuk mencapai kesepahaman dan saling pengertian guna menjaga ketenteraman dunia. ”Misalnya, aku ke suatu negara dan mempelajari budaya setempat lalu nanti aku ceritakan di tempat lain, budaya negeri ini begini lho. Supaya kita saling memahami. Persis seperti ungkapan di sini, tak kenal maka tak sayang. Jadi, sekarang aku menjadi jembatannya supaya kita semua saling mengenal,” kata Kevin yang terpaksa memperpanjang cuti kuliahnya di bidang Desain Interior.
Kevin mengaku ingin segera menyelesaikan kuliahnya selepas jabatannya sebagai MI. Ia mengaku belum tertarik ke dunia hiburan kecuali sebagai peragawati atau fotomodel. Ia justru ingin melanjutkan kuliah ke jenjang master, masih di bidang desain interior atau seni pertunjukan (art performance). Cita-citanya adalah membuka lembaga untuk mengasah kreativitas dan otak kanan anak muda.
”Aku pengin punya workshop yang mengasah otak kanan untuk menghasilkan banyak anak muda kreatif. Jangan melulu pakai otak kiri supaya kita fleksibel dan mudah mencari solusi dari masalah,” kata Kevin.