Tak Mati, Tak Juga Pensiun
Lagu milik Rinto Harahap berjudul ”Seindah Rembulan” yang diaransemen dengan rasa Bening, menjadi tiket New Bening untuk kembali ke dunia yang pernah membesarkan nama mereka. ”Meski vakum, passion kami tetap di musik,” ujar Vera.
New Bening tak sendiri, Lingua yang diawaki Arie Widiawan, Frans Mohede, dan Amara pun mendeklarasikan diri kembali ke dunia musik. Trio vokal yang dikenal dengan lagu ”Bila Kuingat”, dan ”Jangan Kau Henti” ini, menandai comeback mereka dengan merilis album Mampu Bertahan. ”Kami memang 18 tahun tak mengeluarkan karya. Tapi, sebenernya kami enggak ke mana-mana,” kata Arie.
Tahun 2001-2002, Lingua pernah berniat masuk dapur rekaman. Namun, karena mood mereka belum kembali 100 persen, niat itu lagi-lagi menguap. Baru tiga tahun kemudian, Lingua membuat proyek bersama Coboy, juga kelompok vokal era 90-an, melalui singel ”Good Time”.
”Rupanya itu jadi trigger Lingua untuk bikin album. Jadi, punya semangat karena memang masih ingin bermusik,” kata Arie.
Album Lingua itu dirilis dalam format cakram padat. Alasan mereka, kalau hanya singel tak akan cukup karena sudah 18 tahun absen. ”Lagi pula, kita kan masih orang lama, masih pengin memegang bentuk fisik, lihat cover-nya dan siapa aja yang terlibat. Jadi keluarkan CD,” kata Arie.
Tak hanya Bening dan Lingua, Padi yang diawaki Fadly (vokal), Piyu (gitar), Ari (gitar), Rindra (bas), dan Yoyok (drum), rupanya juga ingin kembali ke panggung musik. Setelah vakum selama tujuh tahun, Padi memutuskan untuk lahir kembali.
Sebagai penanda kelahiran kembali itu, Padi menggelar Mega Konser Padi Reborn, awal November lalu, disusul konser di Palembang, Bandung, Yogyakarta, dan Makassar. Setiap konser dijubeli ribuan penggemar Padi, tanda Padi masih dicintai dan dirindukan.
Meski saat tampil di panggung para personel Padi masih kerap gugup dan canggung, tak ada yang terlalu peduli. Lebih penting Padi utuh kembali.
Berbeda
Daftar band-band 90-an yang comeback makin bertambah panjang dengan kembalinya nama-nama, seperti The Groove Reunion, Base Jam Reunion, hingga Potret. Mereka tak cuma tampil di panggung-panggung musik yang khusus mengusung tema 90-an, tetapi juga merambah panggung Synchronize Festival, Prambanan Jazz Festival, hingga Java Jazz Festival.
Setiap kali tampil, penonton berjubel. Tak cuma penonton generasi 90-an, tetapi juga generasi milenial seperti yang terjadi saat Potret tampil di Synchronize Festival Oktober lalu di Gambir Expo Kemayoran Jakarta.
Lagu-lagu Potret seperti ”Salah”, ”Bagaikan Langit”, dan ”Mak Comblang” dinyanyikan dengan fasih oleh anak-anak milenial. Membuat Melly yang di atas panggung berkali-kali mengaku kepayahan karena sudah tak lagi muda, tertolong karena tak harus menyanyi sepanjang lagu.
Begitu juga dengan The Groove Reunion dan Base Jam Reunion yang tetap ditunggu penggemar mereka. ”Saya tahu mereka dari Youtube. Lagunya bagus-bagus juga. Jadi suka dan tertarik nonton mereka. Tapi, emang udah beda sih, ya, penampilan mereka dengan dulu,” kata Raras (19).
Bagi New Bening, sadar mereka adalah sosok yang berbeda dengan 17 tahun yang lalu, keempat personel berupaya semaksimal mungkin memberikan komitmen terhadap kiprah mereka di New Bening. Latihan keras mereka lakoni meski tak terlalu ambisius mengejar kembali masa kejayaan Bening. Mereka cukup sadar memosisikan diri di pasar pendengar dewasa yang memang tak terlalu digarap.
”Harapannya, kehadiran kami bisa turut meramaikan industri musik Tanah Air yang saat ini lebih banyak didominasi para penyanyi solo,” ujar Mita.
Sejak mengumumkan comeback, New Bening telah tampil di Festival Mesin Waktu 14 Oktober lalu. Kehadiran empat dara yang kini sudah menjadi mama-mama ini disambut meriah oleh lebih 2.000 penonton yang adalah generasi remaja tahun 1990-an. Tepuk tangan serta teriakan membahana ketika New Bening tampil di panggung.
Keempat mama itu memakai rok warna warni, seperti pink, oranye, kuning menyala, dan hijau neon yang ditabrakkan dengan atasan hitam atau merah muda. Jika tiga personel New Bening memilih membuka kancing luaran jaket jeans yang dikenakan, Dita yang kini berhijab, memilih mengancingkan jaket jeans biru ”buluk” yang sempat tren di kalangan remaja pada era tahun 1990-an.
Gaya pemanggungan mereka pun tak jauh berubah, dengan goyangan yang anggun, santai dan warna vokal yang tak rumit. New Bening pun menyanyi dengan wajah yang selalu dihiasi senyuman. Uniknya, penonton yang sudah terpisah hampir 17 tahun, hafal lirik lagu-lagu Bening. Koor membahana saat mereka tampil.
Rentang 18 tahun juga membuat Lingua harus siap beradaptasi dengan perubahan. Salah satunya metode promosi yang lebih banyak bertumpu pada media sosial. ”Sekarang kami pakai medsos, Instagram. Itu juga masih baru. Sama Youtube. Kalau orang mau cari CD juga belinya online,” kata Arie.
Akan tetapi, Lingua tetap percaya diri. Kompetisi mereka hadapi dengan berani. Setiap orang, kata Arie, sudah punya lahan masing-masing. ”Lingua dengan cirinya seperti ini juga band-band lain punya ciri masing-masing. Dari segi persaingan dari dulu juga enggak lihat ada persaingan. Dari sisi industri musik kan juga masih naik-turun. Enggak kayak dulu pada 90-an berjaya banget. Ini kontribusi Lingua untuk kembalikan kejayaan musik Indonesia,” kata Arie.
Jalan Terus
Meski seolah sepi dari sorotan media, penyanyi era 90-an seperti Yana Julio dan Ita Purnamasari pun bukan berarti lenyap ditelan bumi. Akhir September lalu, bersama sederet penyanyi tenar era 80/90, keduanya berbagi panggung di Indonesia Sweet Memories 80/90 yang digelar di Musicafe, Bintaro, Tangerang Selatan. Penonton sampai berdesakan melebihi kapasitas demi untuk mendengar para penyanyi itu menyanyikan dua atau tiga lagu hits mereka.
”Dari dulu sampai sekarang, nyanyi jalan terus. Walaupun tak terekspos televisi acara off air kami, jangan salah, justru jalan terus,” kata Ita.
Banyak acara kumpul-kumpul yang mengundang Ita sebagai bintang tamu. Terlebih beberapa waktu belakangan ini saat tema-tema 90-an kembali booming.
Terus menyanyi, bagi Ita, menjadi cara untuk terus dekat dengan para penggemarnya dulu. ”Saya punya penggemar, julukannya Itamania. Mereka support saya di mana pun saya konser,” katanya. Itulah sebabnya bulan Desember ini Ita akan menggelar konser tunggal bertajuk 3 Dekade, mengambil momen tiga dasawarsa Ita bermusik.
Seperti halnya Ita yang
terus kebanjiran panggilan, Yana Julio juga masih terus menyanyi dari satu panggung ke panggung lainnya. Penampilannya itu tidak terekspos karena dia lebih banyak menyanyi di acara privat, bukan panggung untuk umum.
Sebenarnya, lanjut dia, setiap masa perjalanan musik, yang namanya nostalgia selalu ada, tergantung siapa yang menganggap musik itu sebagai memori. Penyanyi generasi setelah dirinya pun nantinya bakal menjadi nostalgia. ”Acara-acara pentas 90’s diadakan penggemar kami dulu yang ikut beranjak dewasa bersama kami. Meski mendengar musik baru, kenangan lama saat mendengar kami itu membawa perasaan tersendiri. Bikin kangen,” ujarnya. Ada cinta….
(Mawar Kusuma/Fransisca Romana)