Mal, Berubah atau Mati
Di era digital, ungkapan berubah atau mati juga berlaku bagi mal atau pusat perbelanjaan. Maka, mal-mal pun lantas bersiasat, bersolek habis-habisan agar tak mati digulung zaman.
Dikenal sebagai department store selama lebih dari 40 tahun, Pasaraya Blok M akhirnya harus merombak total konsep pusat perbelanjaan mereka agar bisa menyesuaikan diri dengan perubahan selera zaman. Dari sebelumnya diisi 100 persen tenant ritel, kini Pasaraya Blok M hanya menyediakan 37 persen ruangnya untuk ritel.
"Peruntukan ritel kita perkecil. Dengan wajah baru yang akan diluncurkan pada 2018 ini, kami mau dikenal sebagai destinasi cultural hub. Mau cari makanan enak? Mau ngaji? Mau hang out? Ini tempatnya. Sudah enggak bisa disebut mal lagi, ritel cuma sisa 37 persen," kata Presiden Direktur PT Pasaraya Tosersajaya Medina Latief, Kamis (7/12), di Jakarta.
Cultural hub yang dimaksud adalah perombakan besar-besaran dengan menghadirkan areal baru khusus makanan dan minuman (F & B), ruang seluas 5 ribu meter persegi untuk coworking space, hingga satu lantai khusus untuk pemilik usaha daring yang tertarik memiliki toko luring (offline). "Ini adalah the new retail format. Online to offline memang sudah menjadi the new retail trend," tambah Medina.
Pasaraya juga menyewakan Gedung B hingga tujuh lantai untuk kantor pusat Gojek. Kehadiran kantor dengan anak muda kreatif seperti Gojek mendatangkan komunitas tersendiri yang sangat berpotensi menjadi target pasar Pasaraya. Pasaraya pun mengklaim dirinya sebagai mal dengan masjid terbaik di Indonesia dengan menghadirkan masjid yang dikelola manajemen masjid profesional dari lulusan Universitas Kairo.
Meski dirombak habis-habisan, Pasaraya tak meninggalkan ciri khasnya untuk menyajikan produk lokal Indonesia seperti makanan jalanan (street food) Indonesia di Dapur Raya, batik, kerajinan tangan, hingga busana Muslim. Pasaraya pun melengkapi diri dengan toko daring pasarayastore.com yang diisi tenant para UKM milenial.
"Benar-benar perubahan strategi total yang menyesuaikan dengan era. Kaum milenial cenderung enggak care dengan luxury. Lebih gadget, beauty. Pasaraya harus merebut itu. Dari retail perspective, gadget biasanya di lantai atas, sekarang gadget jadi utama sebagai speciality store di GF. Fashion pun bukan lagi yang berat," kata Medina.
Pasaraya, menurut Medina, tak ingin tetap bertahan dengan konsep pusat perbelanjaan karena sangat berat. Pembiayaan saat ini dirasa kurang bergairah di sektor ritel. "Di era global, lifestyle berubah cepat banget, terutama di urban. Kalau mau survive, kita harus melakukan penyesuaian. Kalau zaman ayah saya, zaman department store. It\'s about time. Orang beralih ke speciality store," tambahnya.
Meski tak mengubah konsep, Grand Indonesia juga harus ekstra menjemput bola untuk mendatangkan konsumen. Mal tak lagi bisa sekadar diam, tetapi juga harus pintar-pintar membuat beragam program demi mencapai tingkat kunjungan yang diinginkan.
"Penurunan ada. Tengah tahun lalu dibandingkan dengan tahun sebelumnya kunjungan turun 3-4 persen. Namun, akhir tahun bisa jadi nol persen karena beragam program," ujar Manager Public Relations Grand Indonesia (GI) Dinia Widodo.
Dari survei rutin, 70 persen pengunjung GI masih datang untuk berbelanja. Karena itu, GI mempertahankan citranya sebagai pusat perbelanjaan. Karena itu, ruang untuk F & B tetap dipatok di kisaran 30 persen.
"Selalu segitu. Tidak ada peningkatan. Kami ingin pertahankan orang ke sini untuk belanja. Belum ada pergeseran," ujar Dinia. Meski begitu, food court di lantai 5 sengaja dipercepat pembangunannya demi menampung tingginya minat tenant.
Nilai tambah lainnya adalah menyediakan banyak spot yang instragramable untuk difoto dan diunggah di media sosial. Begitu juga dengan situs mal yang digarap serius hingga memasukkan informasi detail seperti menu yang disajikan di setiap restoran.
Transformasi
Walau memastikan belum ada dampak signifikan dari maraknya fenomena belanja daring, Pondok Indah Mall (PIM) tetap melakukan beragam upaya agar bisa tetap menyedot perhatian konsumen. Apalagi, saat ini tingkat persaingan semakin ketat seiring semakin banyaknya jumlah mal di Jakarta.
Manajer Promosi dan Pelayanan Pelanggan PIM Pandu Wibowo mengungkapkan, dalam dua tahun terakhir arus pengunjung PIM masih stabil dengan tren belanja tahun ini yang menunjukkan kenaikan. Hal itu tampak dari masih tingginya transaksi nilai penukaran poin berhadiah dari total kelipatan berbelanja tertentu yang dilakukan pengunjung.
Tingkat okupansi (occupancy rate) mal pun masih 98 persen. "Yang 2 persen karena ada pergantian tenant saja dan itu pun langsung ada pengganti tak lama setelah satu tenant habis kontrak atau tutup gerai. Jadi, setiap ada yang tutup langsung sudah banyak yang mengantre," tambah Pandu.
Menurut Pandu, karakteristik pembelanja yang datang ke PIM adalah orang-orang yang terbilang ingin memastikan langsung barang yang akan dibeli. "Mereka itu akan terlebih dahulu melihat, memegang, dan merasakan produk-produk yang akan dibeli lantaran kebanyakan barang yang dijual pun kategori berharga tinggi untuk kalangan menengah atas," kata Pandu.
Dengan datang, melihat, menyentuh dan merasakan sendiri barang yang dijual, pembeli tak merasa membeli "kucing dalam karung". "Kalau untuk barang yang harganya terbilang relatif murah, orang mungkin masih berani bertaruh beli lewat daring. Namun, kalau harga barangnya mahal, kan, enggak," ujarnya.
Akhir tahun ini, PIM memperbanyak aktivitas hiburan untuk anak-anak, seperti permainan berseluncur di jalur es, ice skating, ruang pengalaman salju, serta sejumlah permainan berteknologi tiga dimensi dan virtual reality. Mereka juga membuat program diskon dan pemberian insentif untuk pembelanja (shopper incentive). Baru-baru ini, mereka baru saja mengundi poin berhadiah utama mobil mewah Mercedes Benz.
Memasuki usia 11 tahun, Senayan City (Sency) juga bertransformasi menghadapi perubahan zaman. Transformasi yang dilakukan mencakup penyegaran tenant, tenancy mix, merchandhising plan, hingga perubahan pada interior yang bernuansa bronze. Beberapa di antaranya sudah terlihat seperti pada interior Kafe Betawi yang lebih bernuansa bronze, lebih mewah.
CEO Senayan City Veri Y Setiady mengungkapkan, pihaknya dan PT Mitra Adi Perkasa sepakat tidak melanjutkan masa sewa beberapa penyewa (tenant) seiring rencana transformasi Senayan City menampung flagship stores kelas dunia berkualitas, superbrands, dan luxury brands yang akan datang awal tahun 2018. "Kehadiran brand-brand baru ini sejalan dengan tranformasi Senayan City menjadi the next shopping hub, iconic lifestyle and hype dining," ungkap Veri.
Beberapa anchor tenant yang tidak diperpanjang masa sewanya adalah Debenhams, Urban Kitchen, dan XKTV Lounge. Sementara sejumlah brand akan dihadirkan, yakni Massimo Dutti, Zara, Sephora, Lakme, Under Armour, Flagship store Apple Premium Reseller, dan lain sebagainya yang ditata sedemikian rupa dengan konsep zona. Dari sisi F & B, setelah menyulap area food court menjadi area F & B yang lebih representatif, Sency juga akan menambah tenant F & B baru, seperti Ismaya dan Union Group.
"Tahun sebelumnya, Sency lebih kuat di fashion brand, sekarang memperkuat F & B dan beauty, serta sport brands," ujar PR & CR Asst Manager Sency Elsi Adianti.
Perubahan di Sency, ujar Elsi, tak lepas dari tren global. Mereka ingin Sency tak hanya untuk belanja, tetapi juga untuk hang out. "Semua ada di Sency. Secara umum, kami menyambut tahun 2018 dengan sangat excited," tambah Elsi.
Strategi panjang
Ketua Asosiasi Pengelola Pusat Belanja Indonesia (APPBI) Dewan Pengurus Daerah DKI Jakarta yang juga CEO Mal Bay Walk dan Emporium Pluit Ellen Hidayat mengatakan, mal menengah ke atas cenderung lebih liat beradaptasi dengan perubahan zaman. Mal yang paling terdampak dengan gejolak perubahan era digital adalah pusat perbelanjaan menengah ke bawah.
"Situasinya memang kurang jelas. Fenomena dikatakan daya beli menurun. Banyak yang salahkan online. Orang kadang tidak tahu benar. Di balik keputusan menutup suatu usaha, ada banyak faktor," kata Ellen.
Pada tanggal berakhirnya kontrak dengan tenant, mal biasanya sibuk mencari pengganti tenant yang dinilai lebih kekinian. "Mal mencari tenant yang bisa panggil customer. Mal sekarang sangat memilih tenant. Difoto bagus enggak? Populer enggak? Untuk membuat mal menarik," ujarnya.
Saat ini tenant F & B memang paling bisa mendatangkan arus kunjungan ke mal. Hal ini terutama karena budaya orang Indonesia yang masih guyub dan mengedepankan kekeluargaan.
Kebanyakan mal akhirnya memperbesar persentase tempat makan dari 10 persen hingga sekitar 35 persen. Bahkan, beberapa mal yang baru muncul sudah menyediakan ruang untuk F & B hingga 60 persen.
Selain kecenderungan memperbesar areal makan, mal pun rela membiayai ulang renovasi agar tampak lebih kekinian dan disukai generasi milenial. Mal dengan tingkat okupansi bagus di atas 90 persen biasanya juga aktif mengadakan banyak kegiatan untuk mendatangkan arus kunjungan konsumen.
"Yang survive adalah mal menengah ke atas karena masyarakatnya lebih educated. Pangsa menengah bawah, masyarakatnya mulai menikmati gawai. Merasa naik kelas dengan belanja online," tambah Ellen.
Saat ini jumlah mal di DKI Jakarta mencapai 82 buah dan 314 buah di seluruh Indonesia. Untuk membangun mal baru, menurut Ellen, pengusaha harus punya strategi panjang karena payback periode-nya bisa mencapai 10-15 tahun.
"Kalau enggak punya napas panjang, jangan buat mal. Teknologi enggak bisa dibendung, tetap harus kita antisipasi. Sekarang lagi berbuih-buih. Selama masih ada human touch, offline masih diperlukan. Kekeluargaan masih kental," kata Ellen.