Memasuki rumah penulis lakon Arthur Supardan Nalan (58) di Bandung, pandangan mata tersedot pada karakter 120 wayang kulit cirebon yang dipajang di lantai satu. Wayang-wayang ini bersanding dengan beragam koleksi kuno lain yang kebanyakan didominasi segala hal berbau punakawan. Arthur ingin menciptakan suasana rumah yang mirip dengan museum.
Banyak karya naskah yang diproduksinya justru terinspirasi dari koleksinya, terutama wayang tadi. ”Saya bertumpu pada satu filsafat Sunda. Dalam kitab Siksakandang Karesian, ada ungkapan yang saya pakai sebagai pemahaman dasar kreativitas. Hana nguni hana mangke. Tan hana nguni tan hana mangke. Tidak ada masa sekarang kalau tidak ada masa lalu. Masa lalu untuk hari sekarang,” kata Arthur yang masih aktif sebagai dosen, dan sebentar lagi akan dikukuhkan sebagai guru besar ini.
Secara kesejarahan, Arthur melanjutkan, setiap orang harus sadar asal-usul. Untuk lebih memahami asal-usul itu, pilihannya jatuh pada medium wayang. Itulah kenapa seluruh wayang kulit yang diperolehnya dari seorang dalang dari Kasepuhan Cirebon tersebut selalu dipajang dan tak pernah masuk ke dalam peti. ”Kalau masuk kotak, tidak bisa digali inspirasinya. Sebab, karya termasuk pertunjukan saya banyak bersumber pada wayang,” ujar Arthur.
Setiap kali membuka kamar tidur dan berjalan di ruang tengah dan ruang tamu, setiap karakter berbeda dari setiap wayang seolah menyapa dan menggelitiknya untuk terus berkarya. Tak hanya wayang kulit cirebon, kecintaan kepada tokoh wayang pun disalurkannya dengan memajang lukisan kaca wayang cirebon. Ada pula beberapa patung golek karakter Bima yang dipajang di sudut ruangan.
Lemari di ruang tamu juga berisi beragam benda tua. Arthur menunjukkan golok-golok panjang tua yang merupakan hadiah dari tokoh masyarakat adat di Bogor. ”Saya sering ketemu orang yang tiba-tiba mewariskan apa yang dipunya. Sering juga ketemu dalang. Ini buat bapak. Tapi, masak saya dikasih begitu saja. Yang kira-kira menarik, ya, saya terima,” tambahnya.
Krawangan kayu
Tak hanya di lantai satu, karakter wayang pun menghuni ruangan di lantai dua dan loteng di lantai tiga yang disulap menjadi ruang kerja Arthur. Ruang keluarga di lantai dua juga menjadi rumah bagi hiasan dinding karakter punakawan hingga lukisan punakawan dari Cirebon yang berjumlah sembilan karakter. Para punakawan ini juga kembali bisa dijumpai menghias di antara tumpukan buku di ruang kerja di loteng.
Ruang keluarga
Agar senapas dengan nuansa masa lalu yang dihadirkan lewat karakter wayang, Arthur sengaja mendesain rumahnya dengan sentuhan kayu tua. Panel berlubang-lubang alias krawangan yang berfungsi sebagai ventilasi udara di atas setiap pintu kayu pun dihiasi dengan seni ukir tembus dari Jepara. Tangga kayu penghubung antarlantai meriah dengan kaca patri warna-warni seolah meniti pelangi dari merah, jingga, kuning, hijau, biru, nila, hingga ungu.
Dari wayang, Arthur melahirkan banyak karya. Ia, antara lain, membuat Teater Wayang Sunda yang telah menampilkan enam nomor pertunjukan wayang kontemporer, seperti The Song of Durna dan The Song of Aswatama serta Wayang Kakufi (kayu-kulit-fiber) yang pernah tampil di Yunani dan Vietnam. Saat ini, ia juga baru saja menyelesaikan kajian tentang 10 lakon wayang yang pernah digarap oleh Teater Koma dan menulis buku berjudul Wayang Koma: Etnopedadogi di Atas Pentas.
Arthur juga menerbitkan kumpulan drama pendek wayang, seperti Menunggu Togok. Ia juga membuat Wayang Lontar dari kisah kuno yang terinspirasi, antara lain, dari relief Candi Sukuh yang berkisah tentang Sudamala. ”Ternyata, saya menemukan wayang ini punya dua fungsi: bermultidimensi dan bermultifungsi. Jadi, sebetulnya bisa jadi inspirasi dan bisa dibuat apa saja,” katanya.
Dari 120 karakter berbeda wayang kulit cirebon, misalnya, Arthur bisa mengajarkan kepada dua anak dan tiga cucunya tentang nilai-nilai luhur kemanusiaan. Dalam kisah wayang, selalu ada dua kelompok yang merepresentasikan kebaikan dan kejahatan. Sementara tokoh punakawan bermakna sebagai kawan yang menemani dan menyaksikan. Salah satu tokoh punakawan, Semar, bahkan dikenal sebagai dewa kemanusiaan.
Oase jiwa
Rumah bagi Arthur adalah oase jiwa. Karya-karyanya sebagian besar lahir di rumah itu. Arthur mulai menempati rumah yang dihadiahkan oleh orangtuanya itu sejak 1983. Ketika pertama kali menempati rumah tersebut, bangunannya masih dikelilingi hamparan sawah hijau. Kini, untuk mencapai rumah Arthur, orang harus rela berjibaku dengan kemacetan lalu lintas Kota Bandung, terutama di akhir pekan.
Kecintaan Arthur pada seni dimulai sejak menjadi mahasiswa angkatan pertama Jurusan Teater di ASTI Bandung (sekarang ISBI Bandung). Mengagumi karya-karya cerita bersambung dari pendiri Jurusan Teater, Saini KM, yang kala itu rutin dimuat di Pikiran Rakyat, Arthur belajar menulis lakon. Ia juga belajar dari Suyatna Anirun tentang penyutradaraan hingga menjadi aktor di STB (Studiklub Teater Bandung).
Banyak materi naskahnya digali dari inspirasi masa kecil. Ibunya berasal dari Majalengka, sedangkan ayah dari Sumedang. Masa kecilnya di Majalengka yang berdekatan dengan Cirebon membuatnya banyak menyaksikan karya apresiasi topeng hingga wayang. ”Biasanya saya tulis tangan dulu. Saya bekerja menulis buku tengah malam. Setelah tahajud, lalu mulai bekerja menulis,” kata Arthur yang masih aktif sebagai dosen di ISBI Bandung dan menjadi anggota Dewan Kebudayaan Jawa Barat ini.