Menaklukkan Bahasa Dunia dari Kampung
”Girls, do you want nasi pecel? Anyone, nasi pecel?” ujar Ikvy di depan kamar-kamar yang rata-rata dihuni empat orang itu, menawarkan jika ada yang ingin menitip beli nasi pecel.
Homestay atau camp itu semacam asrama bagi peserta kursus yang dikelola lembaga kursus di Pare. Bedanya dengan kos biasa, di homestay diciptakan aktivitas pagi dan malam yang dipimpin tutor asrama. Homestay juga merupakan zona berbahasa Inggris. ”Jika tidak ngomong Inggris, ada hukumannya, bicara bahasa Inggris di depan umum pada akhir minggu,” ujar Ikvy.
Kegiatan di homestay-homestay dimulai pukul lima pagi dan biasanya diawali dengan membaca ayat suci meskipun ada juga yang tidak. Lalu, dilanjutkan dengan vocabulary building, pronunciation focus, expression,dan speaking sekitar satu jam (juga malam hari). Setelah itu, baru mereka pergi kursus ke lembaga pilihan masing-masing.
Tidak hanya homestay putri yang sibuk. Di asrama pria, penghuni menghadap tutor dan white board dengan masih bersarung, bahkan ada yang setengah jalan shalat Subuh. Grup lain sudah sibuk pidato bahasa Inggris di teras rumah penduduk yang baru saja kelar disapu penghuninya.
Salah satu yang sibuk pagi itu ialah Nelaini IM (23) asal Kabupaten Mojokerto, Jatim, lulusan perguruan tinggi. Dia datang naik sepeda motor ke Pare untuk mengikuti kursus dan tinggal di homestay Mahesa. ”Teman saya pernah mencoba, katanya lumayan efektif,” ujarnya.
Siang hingga sore, dia mengambil kursus TOEFL. Terkadang peserta mengambil beberapa program sekaligus. Firda (14) dari SMP IT Ibnu Sina, Kabupaten Ciamis, Jawa Barat, teman satu homestay Nelaini, mengambil sekaligus tiga program di lembaga berbeda. Dari matahari terbit hingga terbenam, dia di-drill bahasa Inggris selama dua minggu. Firda dan rombongan dari sekolahnya ikut paket liburan.
Swalayan kursus Inggris
Sepanjang tahun, ribuan orang mengalir ke Desa Tulungrejo dan Desa Pelem, Kecamatan Pare, yang terkenal dengan sebutan Kampung Inggris. Ada 147 tempat kursus berbahasa Inggris di sana. Namun, musim libur semester sekolah merupakan masa paling padat.
Menurut Kepala Desa Tulungrejo Akhmad Wahyudiono, saat libur sekolah, jumlah penduduk desa yang 18.600 jiwa meledak menjadi 30.000 jiwa, ketambahan 10.000-12.000 peserta kursus. Pemandangan rombongan anak dan remaja masuk desa sambil menggerek koper biasa di sana.
Peserta kursus datang dari sejumlah daerah di Indonesia, antara lain dari Jawa, Papua, Aceh, Bengkulu, Kalimantan, dan Sulawesi. Bahkan, ada dari luar negeri. Sansho da Costa dari Timor Leste, misalnya, datang setelah mendengar dari teman senegaranya tentang Pare.
Kampung Inggris ibarat swalayan kursus. Setiap lembaga punya program andalan. Biaya kursus pun bervariasi, misalnya berkisar Rp 75.000 hingga Rp 2 juta untuk program 2-4 minggu. Direktur Mahesa Institute Arsyad Naufal Ngadiono mengatakan, unggulan di Mahesa ialah persiapan dan penyelenggaraan TOEFL (ITP). ”Kami sudah terakreditasi BAN-Pendidikan Nonformal. Juga ada holiday program, kursus satu bulan, hingga general English course empat bulan,” ujar Mr Adi, begitu dia biasa disapa. Setiap tahun dia menerima sekitar 6.000 orang dan mengelola 11 homestay.
Lain lagi pengalaman kursus di Webster. ”Mulai dari kursus hanya satu jenis grammar dengan biaya Rp 75.000 hingga program rehab 1, 2, dan 3 yang memerlukan waktu berbulan-bulan ada di sini,” ujar pendiri lembaga itu, M Farhan Rosyidi. Tempat kursus Webster unik, berupa saung-saung dan rindang pohon. Sore itu, salah seorang peserta kursus, Tajudin N (18) asal Kabupaten Banyumas, Jawa Tengah, latihan presentasi di depan tutor, sementara rekannya mengamati sambil tiduran di hammock. Setelah tiga bulan, dia harus bisa bicara bahasa Inggris selama satu jam tak terputus.
BEC (Basic English Course), lembaga tertua dan pertama di Pare, hanya menawarkan program enam bulan dan tidak mengelola homestay atau camp. Lembaga lain, Genta, menawarkan program minimal dua bulan hingga satu tahun dan wajib tinggal di asrama. ”Kami juga ingin membentuk karakter mereka,” ujar H Qomar, pendiri Genta.
Bahkan, sejumlah lembaga melengkapi program dengan keterampilan mengajar, microteaching dan kewirausahaan. Sebagian alumnus pada akhirnya memang menjadi tutor atau membuka lembaga kursus sendiri.
Pondok menjelma ”camp”
Terbentuknya Kampung Inggris berawal dari Kalend Osen (72) asal Kalimantan yang mendirikan BEC pada 1977 di Desa Pelem. ”Awalnya, saya belajar dengan KH Ahmad Yazid yang menguasai sembilan bahasa asing,” ujar Kalend yang pernah menerima berbagai penghargaan atas kiprahnya. Setelah berhasil membantu dua mahasiswa lulus tes bahasa Inggris, ia membuka kursus. Murid awal Kalend juga lalu mendirikan kursus.
Saat itu belum ada model homestay atau camp dengan English area. Adalah H Qomar asal Lamongan, Jatim, lulusan lembaga kursus di Pare, dan sejumlah rekannya (sebagian juga dari Lamongan) mendambakan English area. ”Kami menghidupkan pembelajaran bahasa Inggris dengan English area di sebuah pondok pesantren yang sudah tak aktif, Darul Abidin, tahun 2001,” ujar H Qomar yang juga pernah mondok bertahun-tahun.
Model itu mereka nilai efektif. Belajar bahasa membutuhkan aktivasi, dan gaya lingkungan belajar ala pondok sangat mendukung. Kelompok itu lalu berpencar mendirikan lembaga masing-masing yang dilengkapi homestay berzona bahasa Inggris. Makin lama, kian banyak berdiri kursus berpadu homestay.
Arsyad mengatakan, yang membuat Kampung Inggris unik antara lain karena ada kesinambungan di asrama. Lingkungan padat kursus dan keberadaan asrama mendorong peserta tak sungkan berlatih bahasa Inggris.
Kuasa bahasa
Gelombang pertumbuhan kursus di Kampung Inggris tak lepas dari syarat penguasaan bahasa Inggris demi mengakses peluang pendidikan dan kerja, jalan transformasi sosial. Ada kuasa dalam bahasa.
Ketua Forum Kampung Bahasa Miftahul Asror bercerita, salah satu gelombang besar maraknya kursus ialah kebijakan Rintisan Sekolah Bertaraf Internasional pada tahun 2000-an. Sekolah berbahasa pengantar Inggris itu digadang-gadang untuk menghadapi era globalisasi.
Gelombang lain ialah banyaknya peserta kursus yang ingin menembus beasiswa ke luar negeri dari Lembaga Pengelola Dana Pendidikan. Mereka mengambil kursus persiapan IELTS atau TOEFL. Sebagian berjuang dari awal demi menguasai tes itu walaupun belum tentu berangkat ke luar negeri. Ada juga yang datang ke Pare untuk persiapan mengulang tes masuk perguruan tinggi atau ingin mudah mendapatkan pekerjaan.
Suatu pemandangan biasa di jalan-jalan di Kampung Inggris, peserta kursus bersepeda berkelompok. Begitu lewat satu kelompok terdengar bahasa daerah asal mereka, ganti kelompok, lain lagi bahasanya. Sampai kemudian mereka kembali ke ruang-ruang kursus dan asrama, berjuang menguasai bahasa dunia.