Uncle Nur di Pare van Java
Desa Tulungrejo dan Pelem alias Kampung Inggris di Pare, Kediri, Jawa Timur, berubah wujud dengan kehadiran ratusan tempat kursus bahasa Inggris. Wajah urban hadir di sana. Di Pare, tempat antropolog, Clifford Geertz, melahirkan karya monumental ”Agama Jawa”, Nur Kholis (47) yang semula penarik becak, bertransformasi menjadi Uncle Nur.
Uncle Nur, ada makanan apa”?. ”What food do you want? Here, just villager food,” sahut Uncle Nur. Tubuhnya besar dengan kulit coklat gelap, mengenakan kaus tua, agak berkeringat. Meja berkotak kaca besar penuh makanan, sebuah meja, dengan dua kursi panjang berjejalan di dalam warung. Villager food itu ternyata jenis masakan yang biasa dibuat warga.
”That, young coconut jackfruit (sayur gori santan), soybean cake (tempe), noodle omelette (omelet mi), and pindang fish,” ujarnya. Uncle Nur menamai sendiri dagangannya dalam bahasa Inggris. Jika kehilangan kata, dia biasa tanya ”uncle Google”.
Warung berkali-kali disambangi pembeli. Serombongan remaja perempuan memarkir sepeda angin di depan, lalu masuk dan memilih-milih makanan untuk dibungkus.
”Rubber, please... rubber,” ujar Uncle Nur yang sibuk melayani, meminta bantuan.Gadis yang dimintai tolong mengernyitkan dahi.
”Karett!” ujar Uncle Nur gemas.
”Oh, ruber,” ujar gadis itu, menyorongkan karet ke Uncle Nur.
”Uncle, kresek dong,” celetuk seorang gadis lain.
”Plastic bag!” ujar Uncle Nur membetulkan, penuh percaya diri, lalu menyodorkan kantung plastik.
Dia selalu mengundang tamu warung berbahasa Inggris. ”Mereka ke sini ingin bisa bahasa Inggris,ya, bicara bahasa itu,” ujarnya. Tak semua warga berbahasa Inggris meski tinggal di Kampung Inggris. Nur Kholis bisa dikatakan segelintir perkecualian.
Nur berumur 10 tahun saat keluarganya yang petani pindah ke Pare. Setelah dewasa, dia ke Surabaya mengadu nasib bekerja di bidang furnitur, tetapi tak berhasil. Diapun pulang kampung dan menjadi tukang becak. Perlahan kehidupan membaik berkat marak kursus. Dia menyewakan rumahnya sebagai asrama dan membuka warung, bahkan, kemudian sanggup membeli kendaraan. Sempat ada lima mobil untuk usaha transportasi, tetapi terpaksa dijual tiga unit ketika dia terserang stroke dulu.
Uncle Nur satu dari banyak pelakon peran dan pekerjaan baru yang muncul di desa itu seiring beroperasinya 147 lembaga kursus bahasa Inggris di Tulungrejo dan Pelem. Sepanjang jalan padat kursus, seperti Flamboyan, Brawijaya, Dahlia, Anyelir, dan Mawar bangunan lembaga kursus dengan spanduk mentereng berselingan dengan camp, warung makan, laundry, penyewaan sepeda angin, toko buku, gerai pulsa, indekos.
Belakangan, muncul kafe-kafe. Malam hari, desa pun tak senyap. Cahaya remang, live musik, barisan sepeda angin parkir di tepi jalan, dan muda-mudi asyik nongkrong setelah seharian di gempur bahasa Inggris, mewarnai kehidupan desa.
Saat libur tiba, staf penyewaan sepeda HF, Mudah, mengatakan, bisa keluar hingga 300 sepeda dari total 600 di garasi. Pemilik usaha laundry, Agus (37) yang kelahiran Pare, pun kecipratan rezeki. ”Kami melayani cuci setrika hingga satu kuintal pakaian sehari. Itu pun hanya ambil dari satu camp di depan itu,” ujarnya menunjuk gedung bertingkat di seberang jalan.
Warga menyewakan rumah, kamar, bahkan teras rumah sebagai tempat belajar, indekos, atau camp. ”Sewa rumah Rp 250.000 per hari. Untuk programkursus holiday, dua minggu, pemilik biasanya tidak keluar rumah, tetapi ”mengungsi” ke dapur, ruang disekat. Kalau sewa teras Rp 1,5 juta per bulan”, ujar Direktur Mahesa Institute Arsyad Naufal Ngadiono yang kadang menyewa rumah warga.
Menurut Kepala Desa Tulungrejo Akhmad Wahyudiono, jumlah penduduk Desa Tulungrejo sekitar 18.600 orang, lalu datang peserta kursus berkisar 6.000 hingga 12.000 orang dari berbagai daerah di Indonesia saat puncak musim libur sekolah. ”Itu berarti penduduk hampir 30.000 jiwa. Biasanya, satu desa maksimal 10.000 orang,” ujarnya.
Sulit dihindari, lahan pertanian pun beralih fungsi menjadi fasilitas kursus dan penunjangnya. Luasan Desa Tulungrejo 592 hektar. Komposisi sawah yang satu dekade lalu 70 persen, kini 35 persen. ”Desa ini jadi semi perkotaan,” ujarnya.
Pendatang, dinamika,dan Geertz
Nyaris seluruh lembaga kursus di Pare dimiliki orang dari luar daerah itu, alias pendatang. Ketua Forum Kampung Bahasa Miftahul Asror mengungkapkan, pemilik dan pengelola kursus berasal dari Kalimantan, Lamongan, Surabaya, Malang, dan Jakarta, (Menaklukkan Bahasa Dunia dari Kampung, lihat tulisan di halaman 1).
Demi tidak konflik, kata Miftahul, mereka berbagi peran. Warga yang menyewakan tempat, membuka warung makan, atau menyediakan fasilitas pendukung lain. Untuk merekatkan hubungan, sebagian lembaga memberikan kursus gratis bagi anak-anak di lingkungan mereka beroperasi, seperti juga dilakukan Miftahul selaku pendiri Hakim Learning Center. Ada pula acara kongko budaya. ”Di sini Indonesia mini. Forum membuat acara budaya agar perkumpulan bisa mengekspresikan seni daerahnya,” ujarnya.
Kampung Inggris dapat dikatakan terbuka terhadap pendatang. Akhmad Wahyudiono, berkisah, sikap itu ada sejak dari leluhur mereka. Konon, kampung yang dulu hutan itu dibuka Mbah Kyai Nur Wahid dari Jawa Tengah. ”Pendiri desa ini juga pendatang. Konon, dia prajurit Diponegoro. Setiap tahun, kami mengadakan bersih desa sekaligus memperingati babat tanah Tulungrejo dengan berziarah ke makam Mbah,” ujarnya.
Tulungrejo dan Pelem tampaknya bagian dari kedinamisan Pare yang pernah mengesankan antropolog, Clifford Geertz. Dia menggunakan nama samaran Mojokuto untuk menyebut Pare, wilayah penelitiannya tentang Islam.
Dalam Mojokuto; Dinamika Sosial Sebuah Kota di Jawa, Geertz menyatakan, setelah ekonomi pertanian Jawa Tengah terganggu Perang Diponegoro (1825-1830) dan Tanam Paksa (1830-1870), migrasi ke arah timur bertambah. Pemerintah Belanda juga ingin mengembangkan wilayah berpenduduk jarang di selatan dan timur Surabaya. Para migran dari pantai utara, kesultanan Jawa Tengah, dan wilayah lain Jawa Timur yang sudah padat berdatangan membuka hutan dan mendirikan desa-desa. Mojokuto menjadi semacam perbatasan.
Menurut Geertz, urbanisasi di Mojukuto tidak terjadi karena perubahan suatu desa menjadi kota dengan peningkatan adat dan lembaga-lembaga setempat secara bertahap, melainkan menyatunya kelompok-kelompok luar daerah dalam pola organisasi sosial budaya betul-betul baru untuk daerah itu. Kosmopolitanisme lebih karena bercampurnya kelompok yang sudah sangat kosmopolitan sifatnya dalam suasana setempat.
”Suatu kumpulan tiada tertutup yang bisa dikatakan hidup berdampingan, ketimbang struktur kelas yang berhubungan terus menerus,” tulis Geertz. Dia menyebutnya kota ”hampa”. Kota dan sekitarnya menjadi terempas dalam peralihan terus menerus.
Saat menuliskan pandangan itu, Geertz menyoroti dinamika Mojokuto antara lain dalam konteks kolonial, masa emas hingga berakhirnya perkebunan tebu, pascarevolusi kemerdekaan. Kini, pandangan Geertz pertengahan tahun 1950-an itu seolah beresonansi dalam bentuk lain, Kampung Inggris yang melahirkan dinamika baru.
Tentu muncul keruwetan yang membuat kadang membuat dahi Camat Pare, Anik Wuryani, berkerut-kerut. Anik harus berhadapan dengan persoalan khas perkotaan besar, mulai dari jambret, genangan air saat hujan, masalah trotoar, kerawanan sosial, hingga rekayasa lalu lintas agar semua aman berkendara. ”Supaya lebih tertib, sepertinya butuh peraturan khusus, peraturan desa, kan, tidak ada sanksinya,” ujarnya nelangsa. Namun, dia mengakui, Kampung Inggris memiliki potensi ekonomi besar.
Pare jelas bukan Paris, tetapi ada sesuatu yang juga unik di sana. Akhmad Wahyudiono bercerita, pernah ada pemerintah daerah lain ingin membuat kampung Inggris, tetapi kurang berhasil. ”Suasana di Kampung Inggris Pare sepertinya tidak bisa direplikasi,” ujarnya.
Ada benarnya. Ketika baru tiba dan sedang asyik duduk di teras rumah seorang kawan di Pare, terdengar suara lantang pedagang keliling menggenjot sepeda ontel menyerukan kata-kata ganjil ”Swit koren!... swit koren!”. Setelah dia menepi, baru ketahuan, rupanya dia menjajakan jagung manis rebus, sweet corn. Welcome to Pare!