Tanah Sumba adalah padang sabana dan tanah tempat warga mengadakan pasola. Adalah asal dari tenun yang mendunia juga pantai-pantai yang belum terjamah. Lewat Komunitas Tau Humba, orang Sumba di Ibu Kota ingin terus mendengungkan Sumba kepada khalayak. Lebih jauh, komunitas ini ingin manfaat wisata berdampak luas kepada masyarakat setempat.
Joko Susanto cengengesan ketika tiba giliran untuk berfoto setelah antre beberapa saat. Dua orang pria lalu melingkarkan kain menjadi kapouta (ikat kepala) dan kain tenun atau regi dilingkarkan di pinggangnya hingga seperti rok selutut. Katopo atau parang Sumba diselipkan di pinggang. Kini, dia siap berfoto dengan backdrop ritual pasola.Pasola adalah ritual permainan perang orang Sumba yang berkuda dan saling melemparkan tombak kayu.
Raut wajah Joko senang bercampur tegang. Apalagi, gadis manis yang memotretnya sepertinya adalah pujaan hatinya. ”Suka dengan Sumba,” kata Joko. ”Sekarang orang posting foto di Instagram tentang Sumba. Semuanya tentang Sumba.” Apalagi, kata Joko, dia memang belum pernah bepergian ke tanah yang diceritakan itu.
Joko bercerita di tengah lalu lalang orang di hari bebas kendaraan bermotor (HBKB) di Jalan Thamrin, Minggu (10/12) pagi. Hari itu, Komunitas Tau Humba sedang mengadakan promosi tentang wisata Sumba. Kegiatan keempat kalinya tahun ini di acara yang sama.
Selain spot foto, juga ada pameran kain tenun. Ibu-ibu, dan gadis-gadis, segelintir bapak-bapak, rajin menanyakan motif dan tentunya harga kain. ”Istri saya suka yang warna hijau,” ujar seorang pria baya sembari mencatat nomor telepon komunitas ini.
Di lokasi yang sama, juga ada pameran foto pesona Sumba. Padang sabana, rumah adat, raut seorang nenek tua tanpa atasan, ritual pasola, membuat orang- orang yang berolahraga singgah sejenak.
Keramaian juga ada di tepi jalan. Tidak tanggung-tanggung, panitia dari komunitas menyewa seekor kuda dan didandani seperti saat ritual pasola. Seorang nenek tidak canggung untuk naik ke atas kuda untuk sekadar berfoto.
Berbagai kegiatan ini, kata koordinator Komunitas Tau Humba, Oscar Umbu Siwa, merupakan wujud promosi yang dilakukan untuk mendengungkan akan potensi Sumba. Lewat aktivitas ini, dia berharap orang- orang semakin mengenal Sumba, baik lewat alam, budaya, sejarah, maupun pesona lainnya.
Tau Humba
Orang Sumba adalah arti Tau Humba. Orang-orang Sumba yang bermukim di Jakarta dan sekitarnya lalu membentuk komunitas dengan nama serupa. Empat kabupaten dan beragam suku yang berada di Pulau Sumba ada di komunitas ini. Terhitung telah tiga tahun ini komunitas ini berdiri dan memfokuskan kegiatannya pada promosi wisata Sumba di Ibu Kota.
Anggota komunitas yang terdata ratusan orang yang tersebar di Jabodetabek. Setiap anggota mengumpulkan iuran setiap bulannya untuk mendanai kegiatan yang dilakukan, termasuk promosi di acara HBKB tersebut.
”Bukan hanya sekadar promosi, melainkan kami ingin agar dampak dari pariwisata benar- benar dirasakan oleh masyarakat,” tutur Oscar.
Selama ini, tutur pemuda yang telah sepuluh tahun menetap di Jakarta ini, yang merasakan dampak pariwisata hanya segelintir orang. Padahal, perhatian dan kunjungan ke Sumba terus meningkat beberapa tahun terakhir.
Berkat promosi pemerintah pusat, pelaku wisata, hingga dunia perfilman, Sumba semakin dikenal banyak orang. Beberapa klip video, pemotretan, hingga film mengambil latar Sumba. Paling aktual adalah film Marlina Si Pembunuh dalam Empat Babak yang memenangkan beberapa penghargaan internasional tersebut.
Dalam kampanye #ayokesumba oleh komunitas ini, satu hal yang difokuskan adalah para penenun lokal. Dengan motif, proses kerja, dan bahan alami yang digunakan, tenun yang dibuat oleh penenun lokal menjadi lebih berkualitas.
Christin Hebereeny (32), anggota komunitas, menekankan perlunya memberikan perhatian lebih kepada para penenun lokal. Selama ini, para pengepul kain yang membuat harga kain Sumba berkali-kali lipat ketika ke Jakarta. Padahal, harga dari penenun lokal tidak begitu tinggi. ”Saya heran kalau orang bilang harga kain Sumba sangat mahal. Memang tidak murah karena proses dan lain hal. Namun, ketika ke Jakarta, harganya berkali-kali lipat.”
Di lain sisi, Christin mengapresiasi banyaknya perhatian terhadap tenun Sumba. Hanya saja, dia berharap agar penenun lokal juga mendapat timbal balik yang setara. Tidak hanya didominasi oleh pengepul.
Anggota komunitas lainnya, Melati Nasional Rambu Bangi (28), mengutarakan hal yang kurang lebih sama. Dengan berkomunitas seperti sekarang, Melati ingin agar bisa membantu promosi wisata, budaya, sehingga dampak yang diterima masyarakat jauh lebih baik.
Komunitas Tau Humba juga rutin mengirim buku ke enam rumah baca di Sumba. Memanfaatkan program kirim buku gratis setiap tanggal 17 oleh Pos Indonesia, buku-buku dari sumbangan anggota dan donatur dikirimkan.
”Karena kami sadar, sumber daya juga harus ditingkatkan. Kami berharap pemerintah daerah benar-benar serius memfokuskan kegiatannya pada peningkatan sumber daya, infrastruktur pariwisata, dan promosi yang tidak konvensional. Sumba bisa berdaya lewat pariwisata, tidak perlu banyak tambang,” tutur Carlos.