Mempererat Solidaritas dengan Tamasya...
Tidak bisa pulang ke Tanah Air saat pergantian tahun tidak membuat mahasiswa Indonesia yang berada di luar negeri kehilangan momen kebahagiaan. Kondisi itu justru membuat mereka semakin mempererat kekeluargaan di negeri orang, salah satunya dengan kegiatan bertamasya bersama.
Sarah Graciella (18) baru tiga bulan tinggal di Petaling Jaya, Malaysia. Pada libur akhir tahun ini, mahasiswi semester I di Universitas Monash, Malaysia, tersebut tidak bisa pulang ke Indonesia karena disibukkan dengan tugas kuliah. Hal serupa dialami oleh sejumlah mahasiswa asal Indonesia lainnya.
Akan tetapi, kesibukan kuliah itu tidak sepenuhnya merampas kebahagiaan mereka. Anak-anak Indonesia di Malaysia ini lantas merencanakan liburan bersama ke kawasan pegunungan untuk menyegarkan pikiran.
Sejak dua pekan lalu, Sarah dan lima temannya telah merencanakan kegiatan tamasya sekaligus liputan ke lokasi wisata pegunungan, Genting Highlands. Lokasi itu berjarak sekitar 65 kilometer dari Petaling Jaya, lokasi apartemen yang saat ini ditinggalinya di Malaysia.
Mereka akan menghabiskan liburan pergantian tahun di Genting. Lokasi itu dipilih karena sejuk dan suasananya tenang. Hal itu dianggap cocok sebagai penawar kepenatan mereka karena kesibukan kuliah.
”Itu sekaligus mempererat kekeluargaan kami, sesama mahasiswa asal Indonesia,” ujar gadis asal Bandung itu, Jumat (29/12).
Itu sekaligus mempererat kekeluargaan kami, sesama mahasiswa asal Indonesia.
Untuk berwisata ke Genting Highlands, Sarah dan teman-temannya berencana menggunakan taksi daring. Biayanya sekitar Rp 650.000 untuk perjalanan pergi-pulang.
Biaya itu sedikit lebih mahal dibandingkan menggunakan bus, yaitu Rp 100.000 per orang (pergi-pulang). Namun, alasan kepraktisan, yaitu dapat antar jemput langsung ke apartemen, membuat mereka memutuskan menggunakan taksi daring.
Selain biaya transportasi, Sarah dan teman-temannya juga harus menyewa dua kamar untuk menginap. Mereka mendanai kegiatan wisata itu secara patungan. Uangnya dari tabungan mereka.
”Selama di Malaysia, kami sengaja menyisihkan uang jajan untuk biaya jalan-jalan. Jadi, walaupun tujuan wisata baru diputuskan dua minggu lalu, keinginan untuk berwisata bersama sudah direncanakan sejak tiga bulan lalu,” kata Sarah.
Pengalaman hidup
Bagi anak muda generasi milenial, bertamasya, baik di dalam maupun di luar negeri, bukan untuk berhura-hura. Itu adalah sarana bagi mereka untuk menimba pengalaman hidup, selain mengasah solidaritas.
Alasan itu yang membuat Josephine Agnes (30) dari bagian humas sebuah perusahaan swasta di Jakarta gemar bertualang. Dalam setahun, ia bisa tiga hingga empat kali melancong.
Wanita yang akrab disapa Teppy itu merasa ada hal yang hilang dalam dirinya jika hanya menghabiskan waktu di kantor. Dengan berkelana, ia bisa mendapatkan pengalaman berharga yang bisa memperkaya diri.
”Jadi, saya bisa belajar dari orang-orang sekitar, yaitu nilai-nilai dalam pergaulan, yang lebih cepat daripada membaca buku. Saya juga jadi makin luwes ketika berbicara dengan orang asing,” ucap Teppy.
Ia mulai bertualang ke luar negeri sejak karier dan upahnya meningkat pada 2011. Sejak itu, kaki Teppy seolah tidak berhenti menjelajah ke sejumlah tempat. Selain tur Eropa, ia pernah menyambangi Maladewa, Hong Kong, Taiwan, Australia, hingga Selandia Baru. Sejumlah daerah di Tanah Air, seperti Labuan Bajo dan Ende di Nusa Tenggara Timur, juga sudah dijelajahinya.
Beragam upaya dilakukan untuk memenuhi ”rasa haus” akan bertualang itu, mulai dari berburu tiket murah, memanfaatkan penugasan kantor, hingga mengikuti kuis berhadiah paket wisata. Tahun ini, ia pergi ke Selandia Baru secara gratis karena memenangi sebuah kuis.
Adapun perjalanan lainnya, yaitu ke Thailand, adalah bagian dari tugas kantor. Hanya liburan ke Jepang yang memaksanya merogoh kocek sendiri. Total biaya untuk bertamasya ke ”Negeri Matahari Terbit” itu mencapai Rp 25 juta, mencakup tiket, makan, dan akomodasi.
Agar bisa berangkat ke Jepang, Teppy pun rela berkorban dengan mengesampingkan kebutuhan lain, seperti belanja barang dan investasi. Gaji bulanannya rutin dipotong 30 persen untuk tabungan jalan-jalan.
”Selebihnya, hidup dari bulan ke bulan saja. Saya belum mikir untuk cicilan rumah dan lain-lain. Yang terpenting merasakan banyak pengalaman di luar,” ujarnya.
Ketiadaan biaya atau kocek tipis juga tak menghalangi Natalia Indah (29), penulis lepas asal Denpasar, Bali, untuk menjalani hobinya berpelesir. Ia kerap memandangi layar komputer selama berjam-jam demi selembar tiket pesawat dengan harga miring. Pada bulan-bulan tertentu, seperti awal tahun, sejumlah maskapai penerbangan seperti AirAsia kerap menawarkan tiket promo dengan harga miring.
Tidak jarang ia begadang demi memburu tiket murah. Perjuangannya berbuah manis. Ia mendapatkan tiket promo dari Denpasar tujuan Kuala Lumpur dengan tarif nol rupiah. Ia hanya perlu membayar pajak sebesar Rp 100.000.
”Saya tak pernah lelah terus menatap monitor. Keseruannya justru ada di sana (berburu tiket murah),” ujar Natalia.
Berdasarkan survei OneShildt, lembaga pengatur keuangan, orang milenial memang lebih mengutamakan pengalaman daripada kepemilikan. Hanya 17 persen generasi milenial yang telah membeli rumah sendiri. Para milenial, khususnya yang belum menikah, rata-rata hanya menyisihkan 8 persen dari gajinya untuk menabung.
”Masa muda itu tidak akan terulang. Untuk itu harus dilewati dengan kenangan sebaik dan sebanyak mungkin. Pengalaman tidak bisa dibeli dengan uang,” ujar Tyas Dwi Arini (23), pehobi jalan-jalan lainnya.
(Tatang Mulyana Sinaga/ DD06/DD10/DD17/DD07)