Kematangan Faye
”Warga di daerah seperti ini penuh tekanan hidupnya, psikosomatis, hingga bisa berbuat KDRT (kekerasan dalam rumah tangga). Tokoh masyarakatlah yang mau tidak mau menangani karena mereka yang biasanya didatangi untuk mengadu. Warga, kan, enggak mungkin booking sesi ke psikolog,” kata Faye.
Ia pernah juga menangani proyek HIV di Zimbabwe dan Yaman. Khusus di Yaman, meski prevalensinya kecil, tingkat kewaspadaan universalnya sangat rendah. Bahkan, sekelas dokter pun saat itu tidak memahami seputar transmisi penularan virus ini. Banyak penularan melalui transfusi darah. Rumitnya, hukum di sana menetapkan seseorang yang dianggap berdosa patut dipenjara. HIV dikategorikan sebagai penyakit orang berdosa. Dengan begitu, orang dengan HIV bisa dipenjara. ”Ada anak dua tahun positif HIV, padahal bapak ibunya negatif. Dia tertular lewat transfusi darah. Jadi, tugas saya memberi pemahaman tentang universal precaution HIV kepada tenaga medis,” ungkapnya.
Pekerjaannya sebagai pegiat, selain memberikan kepuasan jiwa, juga mempertemukannya dengan sang suami, Dennis Alund, semasa bertugas di Zimbabwe. Namun, Faye kemudian harus kembali ke Indonesia tahun 2011 karena hamil anak pertama. Ia melanjutkan aktivitas di bidang active citizenship atau kewarganegaraan aktif. Tugasnya mendorong orang melakukan aksi nyata ketimbang hanya sekadar mengkritik pemerintah. Ini hanya berlangsung 3-4 tahun karena lembaganya kemudian menutup cabang di Indonesia.
Aplikasi ”active citizenship”
Dari situ, Faye dan suami ingin tetap bisa melanjutkan passion mereka, namun berpikir harus mengemasnya dalam bentuk bisnis agar mampu hidup lama. Keduanya kemudian memilih co-working space. Cikal bakal ketertarikan keduanya dengan konsep co-working space sebenarnya sudah dimulai sejak mereka aktif di LSM dengan model kerja di ruangan bersama, menggunakan meja-meja tanpa sekat, namun justru memunculkan kolaborasi antar-pegiat dengan beragam latar belakang.
”Sebenarnya ini bentuk active citizenship saya, sih. Lewat co-working, saya pengin bisa mengolaborasikan potensi-potensi yang datang ke co-working,” kata anak pertama dari dua bersaudara ini.
Sebagai industri baru, co-working space memang masih berjuang untuk menemukan model bisnis dan posisi yang pas. Sebenarnya, menurut Faye, dengan kekuatan pada aspek komunitas, co-working space bisa dijadikan basis bagi pertumbuhan kewirausahaan di Indonesia. Komunitas di co-working space bisa dikembangkan untuk menjalin konektivitas dan kolaborasi.
”Tahun 2010, saya baca info, negara maju itu yang ekosistem entrepreneurship-nya kuat. Misalnya, Amerika Serikat sudah 14 persen wirausahanya, Singapura 7,2 persen, Indonesia waktu itu 1 persen saja belum. Sekarang katanya sudah 3 persen, tapi masih belum cukup untuk memberi makan 260 juta orang. Minimal butuh 5-10 persen,” tutur Faye yang juga presiden perkumpulan Coworking Indonesia.
Ekonomi maju tercapai jika terjadi pertumbuhan ekonomi. Sementara tulang punggung pertumbuhan ekonomi adalah kewirausahaan dan sektor usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM). Masih kecilnya pertumbuhan kewirausahaan akibat minimnya ekosistem pendukung. Co-working space, menurut Faye, bisa menjadi salah satu alternatif untuk menumbuhkan ekosistem kewirausahaan.
”Ketika seseorang ingin mengembangkan diri atau memulai bisnis, dia butuh jaringan. Itu yang bisa diberikan co-working, memberi komunitas yang relevan untuk bisnis dan pekerjaannya,” kata Faye.
Profil dua dunia
Meski lebih lekat dengan bisnis rintisan (start-up) di bidang digital, co-working space sejatinya tidak hanya terkait soal digital, tetapi lebih luas menyangkut sektor ekonomi kreatif. Perkembangan co-working space biasanya lebih banyak dipengaruhi para pendirinya. Misalnya, ada co-working space yang lebih banyak menyediakan kegiatan dan komunitas di bidang digital, namun ada juga yang lebih kuat di bidang musik, penulisan, hingga penelitian.
Perkembangan saat ini menuntut seseorang tidak bisa lagi bekerja dengan cara-cara lama. Era sekarang butuh keterbukaan, berbagi, dan kolaborasi. ”Value ini yang kami tawarkan, community, connectivity, dan collaboration. Ada kesempatan untuk kenal dengan orang-orang baru dan tukar ide,” kata Faye yang juga co-founder dan CEO Kumpul Coworking Space yang bertempat di Rumah Sanur Creative Hub di Sanur, Bali.
Faye mengatakan, sejak muncul tahun 2011, ada hampir 200 co-working space di Indonesia yang tersebar di 28 kota. Pada tahun yang sama, co-working space juga mulai muncul di Australia, tetapi dengan pertumbuhan lebih bagus. Ini karena ekosistem, pemerintah, kelompok usaha, dan masyarakat umum setempat yang lebih siap. ”Yang menarik, mereka bikin co-working di daerah yang ekonominya kurang bagus. Setelah program 3-5 tahun mampu mengaktivasi kegiatan ekonomi di sekitarnya,” ujar Faye yang sejak remaja gemar berorganisasi.
Melihat profilnya, Faye mengaku sebagai sosok yang ”aneh”. Menyandang nama Barat, wajah oriental, namun berpaspor Indonesia. Saat kecil, ia tinggal di Duren Sawit, Jakarta Timur, dan bergaul dengan siapa saja. ”Saya baru merasa berbeda ketika hendak masuk SMA swasta tidak diterima dengan alasan kuota untuk orang China habis, ha-ha-ha. Saya, tuh, kayak ada di dua dunia. Profil saya aneh. Perempuan, kecil, China, tapi ngerjainnya kayak begini. Oma pernah tanya kepada papa, kok anaknya dikasih, sih, ke Aceh. Mungkin enggak ada yang kayak papa saya,” kata Faye.
Cara bercerita Faye lucu, namun penuh ironi, membuat yang ikut mendengar tertawa, namun diam-diam merasa teriris di dalam hati. Masih banyak cerita lain menyangkut identitasnya sebagai keturunan Tionghoa. Cerita lucu-lucuan saja, menurut dia.
Faye bisa saja memilih hidup enak di negara asal suaminya, Swedia, yang dikenal sejahtera. Namun, ia memilih tetap berkiprah di sini, berbuat sesuatu untuk kemajuan negara. ”Saya ingin anak-anak saya merasakan Indonesia yang lebih baik kelak,” kata Faye.