Menjaga Api Pengungsi
Gunung Sinabung masih berstatus Awas. ”Tidak ada yang boleh mendekat dari radius 3 kilometer. Tapi, untuk arah luncuran awan panas harus bersih hingga 7 kilometer dari puncak, yakni arah tenggara Sinabung,” kata Kepala Pusat Data dan Informasi Badan Nasional Penanggulangan Bencana Sutopo Purwo Nugroho.
Masih kopi
Petani Kabupaten Karo tidak sendirian. Letusan Gunung Merapi tahun 2010 melimbungkan petani, termasuk petani kopi di lereng Merapi di Kabupaten Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta. Awan panas dan material vulkanik merusak sebagian besar kebun kopi di Sleman.
”Sebelum erupsi tahun 2010, luas lahan kopi di lereng Merapi di Sleman sekitar 850 hektar. Setelah kena erupsi itu, lahan kopi yang tersisa hanya sekitar 50 hektar,” kata Sumijo (42), Ketua Koperasi Kebun Makmur, yang menghimpun para petani kopi di lereng Merapi di Sleman, Jumat pekan lalu. Saat Merapi erupsi, lahan kopi milik Sumijo seluas 1 hektar rusak. Begitu juga dua rumahnya.
Meskipun sempat terpukul dengan kondisi tersebut, Sumijo memutuskan bangkit. Sekitar dua tahun sesudah erupsi, ia dan sejumlah petani kopi lain kembali menanam kopi. Kebun kopi di lereng Merapi yang sebelumnya tinggal sekitar 50 hektar kini telah berkembang menjadi 350 hektar. Belum semua pohon kopi yang mereka tanam itu berbuah. ”Dari sekitar 350 hektar itu, kebun kopi yang sudah bisa panen baru sekitar 150 hektar,” ujar Sumijo, warga Desa Kepuharjo, Kecamatan Cangkringan, Sleman.
Dia menambahkan, jumlah petani kopi di lereng Merapi di Sleman saat ini memang belum sebanyak sebelum erupsi tahun 2010. Sebelum erupsi tahun 2010, kata Sumijo, jumlah petani kopi mencapai 1.600 orang. ”Namun, saat ini, jumlahnya hanya sekitar 800 orang,” ujarnya.
Komunitas jip
Kondisi terjepit mendorong untuk kreatif agar bisa bertahan hidup. Begitu juga yang terjadi pada warga di lereng Merapi. Mendapati antusiasme pengunjung yang penasaran dengan kondisi Merapi setelah meletus, warga menyediakan jasa petualangan di lereng Merapi mengendarai jip. Paket wisata yang dinamai Lava Tour Merapi itu pun mendatangkan peluang ekonomi bagi warga di sekitar gunung tersebut.
Ketua Asosiasi Jeep Wisata Lereng Merapi (AJWLM) Dardiri mengatakan, usaha penyewaan jip wisata di lereng Merapi di Sleman berkembang sejak Maret 2011. Usaha itu berkembang karena warga di sekitar lereng Merapi ingin mencari penghasilan alternatif selain melalui pertanian. ”Setelah erupsi Merapi itu, kan, warga tidak bisa bertani. Makanya, usaha jip ini muncul dengan harapan bisa memulihkan perekonomian warga,” katanya.
Salah satu lokasi yang ingin mereka lihat adalah bekas rumah almarhum Mbah Maridjan, juru kunci Merapi, yang tewas saat erupsi tahun 2010.
Menurut Dardiri, awalnya hanya ada tiga atau empat jip milik warga yang bisa digunakan untuk membawa wisatawan mengikuti Lava Tour Merapi. Saat ini, jumlah jip di AJWLM mencapai 800 unit. Mereka tergabung dalam 29 komunitas yang berada di dua kecamatan di Sleman, yakni Pakem dan Cangkringan.
Dardiri menuturkan, warga yang ingin menekuni usaha jip wisata itu harus menaati setidaknya tiga aturan pokok. Pertama, warga harus membeli jip tersebut dengan uangnya sendiri, bukan uang pemberian investor. Kedua, setiap warga hanya boleh mengikutsertakan satu jip dalam Lava Tour Merapi. ”Selain itu, mereka yang ingin terlibat dalam Lava Tour Merapi diprioritaskan warga yang menjadi korban erupsi,” kata Dardiri.
Sampai sekarang, menurut dia, Lava Tour Merapi masih diminati oleh banyak wisatawan. Salah satu indikatornya, pada masa liburan Natal 2017 dan Tahun Baru 2018, hampir semua jip sudah disewa oleh wisatawan. ”Jadi, kalau ada wisatawan yang datang mendadak, kami agak susah mencarikan jipnya,” katanya.
Bali merangkak mandiri
Gunung Agung yang baru saja erupsi dan berstatus Awas memaksa warga meninggalkan rumah dan hidup di pengungsian. Namun, mereka tak mau menyerah dan bergantung pada bantuan. Para pengungsi membuat kerajinan berbahan baku bambu menjadi kukusan, sokasi, ingke, dan kotak menyimpan perhiasan yang dijual mulai Rp 5.000 per buah.
Usaha itu, misalnya, dilakukan Wayan Ngalih (37), warga Banjar Pengalusan, Desa Ban, Kecamatan Kubu, Kabupaten Karangasem, yang mengungsi di wantilan Kantor Desa Perbekel Julah, Kecamatan Tejakula, Kabupaten Buleleng. Begitu juga di pengungsian Desa Sidemen. Lumayan, kata Desak Ayu Budiarti (26), kegiatan menganyam yang biasanya di rumah masing-masing kini mereka lakukan bersama-sama sambil bercanda-canda.
Adalah Raja Santosa (38), relawan dari Denpasar, yang membantu para pengungsi mendistribusikan kerajinannya. Dia bersama rekan-rekannya keliling kepengungsian belanja kerajinan buatan pengungsi hingga Rp 40 juta. Kerajinan itu dijual dengan harga sama, tidak mengambil untung, karena semangatnya untuk membantu. Pemerintah Kota Denpasar juga menyiapkan stan untuk memajang kerajinan ini dalam Denpasar Festival 2017 selama lima hari sejak 28 Desember.
Tak hanya anyaman. Camilan kacang hasil gorengan di pengungsian juga dijual. Kopi-kopi dari olahan biji salak tak kalah menarik minat pembeli. Ini biji-biji salak yang diolah menyerupai bubuk kopi. Rasanya mirip kopi.
Mastra, Ketua Agro Abian Salak Sibetan, pelopor kopi biji salak ini, berharap masyarakat tetap bangkit meski erupsi masih berlangsung dan status Gunung Agung masih Awas. Ia pun tetap mengolah dan mempropagandakan kopi salak ini.
Di luar membangun sumber ekonomi riil, warga Bali berkoar lewat media sosial tentang industri wisata yang hampir ambruk karena erupsi.
”Setelah sebulan menjalani status Awas Gunung Agung yang kedua, warga asli Sibetan bersatu kembali menggencarkan propaganda secara mandiri. Saat ini, propaganda mandiri dilakukan melalui media sosial serta kesempatan-kesempatan lewat kenalan agen perjalanan wisata,” tutur General Manager GunGGung Adventure Made Sukman.
”Harapannya, wisatawan tahu, di luar zona bahaya 10 kilometer itu aman. Mereka masih bisa menikmati salak, kebun salak, dan pemandangan Gunung Agung dengan aman. Terjamin,” lanjut Sukman.
Boleh saja kita jatuh berulang kali, yang penting tak putus asa untuk bangkit lagi. Para korban bencana di Sinabung, Merapi, dan Gunung Agung mempraktikkan semangat itu. Mereka tak menyalahkan alam, tetapi tetap menjaga api semangat di antara sesama pengungsi. (MHF/HRS/AYS/GER)