Tanjung Puting
Tanah basah, rawa gambut, pepohonan tinggi dan rapat, sungai dihuni buaya-buaya dan ikan predator, serta tanaman langka dan satwa endemik Borneo membawa imajinasi pada kehidupan alam liar yang penuh misteri. Pemandangan Tanjung Puting nan eksotis membuat kawasan itu disebut sebagai hutan ”Amazon” Indonesia.
Kawasan taman nasional seluas 415.000 hektar itu diperkirakan dihuni oleh sekitar 6.000 orangutan kalimantan. Bagi satwa liar terancam punah itu, area tersebut merupakan rumah terakhir mereka.
Bersama sejumlah jurnalis, penulis blog, dan pengelola biro perjalanan, saya merasakan sensasi di alam liar, akhir November lalu.
Pada kegiatan yang diprakarsai Swiss Contact, organisasi non-pemerintah yang bergerak di bidang pemberdayaan masyarakat tersebut, kami menjelajahi sungai dan hutan hujan tropis.
Kawasan taman nasional yang terletak di Kalimantan Tengah itu bisa dicapai dengan pesawat terbang dari Jakarta menuju Pangkalan Bun, Kabupaten Kotawaringin Barat. Dari bandara, perjalanan dilanjutkan lewat darat sekitar 20 menit menuju Dermaga Kumai.
Selasa (28/11)
Pukul 19.30-22.00
Kelotok
Begitu menginjakkan kaki di Dermaga Kumai, pandangan mata langsung tertuju pada patung orangutan setinggi sekitar 3 meter yang dilengkapi tulisan ”Selamat Datang di Taman Nasional Tanjung Puting”.
Sejumlah kelotok, kapal kayu dengan mesin motor dan fasilitas menginap, tertambat di dermaga.
Diterangi cahaya lampu temaram dari perahu kayu, sejumlah awak kapal dengan sigap menaruh tas-tas penumpang dan kebutuhan logistik di dek kapal.
Perlahan kelotok yang kami tumpangi meninggalkan dermaga, mengarungi sungai menuju kawasan hutan Tanjung Puting. Cahaya lampu dari dermaga pun menghilang, berganti kegelapan malam.
Desir angin terasa dingin. Beberapa awak kapal sibuk menyiapkan makan malam. Rasa lelah dan lapar terbayar lunas saat menyantap aneka masakan khas Borneo yang tersaji di atas meja panjang di atas perahu sambil menikmati suasana malam.
Pukul 22.00-23.00
Kunang-kunang
Di tengah perjalanan, perahu berhenti. Menurut Bowo, pemandu wisata, area itu merupakan habitat kunang-kunang. Dari bagian atas perahu, hewan-hewan malam itu terlihat berpendar di kegelapan malam seperti bintang-bintang di langit.
Suasana apa lagi yang lebih romantis daripada menikmati kesunyian malam ditemani kerlap-kerlip kunang-kunang, mengingatkan pada ”Seribu Kunang-Kunang di Manhattan”, cerita pendek karya Umar Kayam. Menurut Arif, operator wisata, pemandangan itu menjadi daya tarik bagi para turis mancanegara untuk berbulan madu di kawasan itu.
Malam makin larut. Kelotok yang kami tumpangi kembali menyusuri sungai yang berkelok-kelok dan mulai menyempit. Di kiri dan kanan sungai tampak bayangan deretan pepohonan. Menjelang tengah malam, perahu tiba di Rimba Lodge, penginapan yang terletak di tepi sungai.
Rabu(29/11)
Pukul 07.00-13.00
Jelajah Hutan
Begitu matahari terbit, tak sabar rasanya menjelajah hutan Tanjung Puting yang sebagian lahannya adalah area gambut. Seusai sarapan di atas kapal, perjalanan dilanjutkan menuju Pondok Tanggui, lokasi pemberian makanan bagi orangutan, sekitar satu jam lewat sungai. Namun, sesi makan telah selesai dan sejumlah orangutan tampak meninggalkan tempat itu.
Tak putus harapan melihat aktivitas orangutan, kami menuju Camp Leakey, lokasi riset primata sekaligus tempat pemberian makanan bagi orangutan lewat sungai. Beberapa anak buaya berkeliaran di tepi sungai. ”Biasanya induknya ada di dekat situ,” kata Bowo.
Di tepi sungai, belasan bekantan yang merupakan satwa endemik Kalimantan bergelantungan di dahan pohon. Namun, saat mendengar deru perahu motor melintasi perairan tersebut, satwa-satwa itu segera bersembunyi di balik pepohonan. Di rerimbunan pepohonan terlihat burung rangkong, unggas yang juga endemik Kalimantan.
Makin lama, sungai pun menyempit. Pepohonan di area hutan itu kian rapat. Air sungai berwarna hitam akibat proses penyaringan oleh gambut. Di perairan itu ada kehidupan di alam liar dengan beragam jenis burung, primata, ikan langka (seperti arwana dan kepala ular), serta buaya.
Pukul 13.00-16.00
Camp Leakey
Setiba di dermaga Camp Leakey, kami singgah di pusat informasi yang menyajikan hasil kerja Dr Birute Galdikasi yang mempelajari orangutan sejak 1971 hingga kini, antara lain foto-foto dokumentasi aktivitas orangutan dan informasi seputar primata itu. Menurut Imelda, anggota staf Orangutan Foundation International, tempat itu juga jadi pusat riset orangutan.
Perjalanan dilanjutkan dengan berjalan di hutan menuju lokasi pemberian makanan bagi orangutan berupa panggung kayu. Di tempat itu, satu orangutan dewasa melahap pisang sisa kemarin.
Di bawah panggung kayu itu, seekor babi hutan berkeliaran. Sejumlah orangutan dewasa dan anak bergelantungan di pepohonan di sekitar tempat itu.
Begitu jarum jam menunjukkan pukul dua siang, seorang petugas mendatangi tempat itu sambil memanggul keranjang berisi beberapa tandan pisang.
Setelah menyapu sisa makanan, ia menuangkan puluhan sisir pisang, lalu meninggalkan panggung kayu itu. Orangutan di tempat itu segera menghampiri tumpukan pisang dan melahapnya.
Para pengunjung yang berada di balik tali pembatas, berjarak 10 meter dari panggung kayu itu, segera mengabadikan tingkah sejumlah primata tersebut, baik orangutan yang makan pisang maupun yang asyik bermain di pepohonan. Monty (25) dan anaknya, Tata, menuruni pohon, lalu menyantap pisang-pisang di tempat itu.
Menjelang sore, hujan gerimis turun. Saat hendak meninggalkan lokasi itu, kami dikejutkan oleh kehadiran orangutan dewasa yang mendadak turun dari pohon. Setelah mengamati sekelilingnya, orangutan yang diberi nama Rimba itu bergelayutan di atas dahan pohon menuju tumpukan makanan yang disediakan petugas.
Pukul 16.00-19.00
Pondok Ambung
Setelah menyaksikan tingkah para orangutan, perjalanan dilanjutkan menuju stasiun riset Pondok Ambung dengan perahu. Rencana berkunjung ke tempat itu nyaris batal karena ada pemasangan kamera untuk tujuan riset.
Beruntung pengelola akhirnya mengizinkan kunjungan ke area itu untuk menyaksikan keanekaragaman flora dan fauna.
Matahari terbenam. Saat berjalan menyusuri hutan selama 1,5 jam, kami seolah memasuki hutan Pandora dalam film Avatar. Dengan penerangan dari lampu senter, tampak jamur-jamur mengeluarkan asap.
Ada juga jamur-jamur yang bercahaya di kegelapan malam. Selama perjalanan, tampak laba-laba besar, tarantula, bekas cakar beruang, dan tarsius di pepohonan.
Menyusuri hutan di malam hari menimbulkan rasa cemas akan bertemu hewan buas sekaligus penasaran terhadap keberadaan aneka flora unik di area itu.
Sensasi berada di alam liar makin lengkap saat kami menginap di atas perahu sambil mendengar desau angin malam dan sayup-sayup suara satwa liar.
Kamis(30/11)
Pukul 08.00-11.00
Pesalat
Seusai merapikan kapal yang semalam disulap jadi ”bangsal” tempat tidur berkelambu dan sarapan, pagi itu perjalanan dilanjutkan menuju Pesalat, tempat pembibitan tanaman asli hutan itu, melalui sungai. Febri, pemandu wisata, mengingatkan kami agar berhati-hati saat berjalan di atas jembatan kayu menuju lokasi penanaman bibit pohon karena licin.
Jembatan kayu sepanjang sekitar 3 kilometer yang berada di atas rawa itu berlumut dan basah akibat hujan semalam. Di ujung jembatan terdapat jalan tanah di dalam hutan menuju pos penjaga taman nasional. Di bawah pepohonan rindang tampak semut-semut hitam yang berukuran besar berkeliaran dan berkelahi.
Di dekat pos penjaga, aneka jenis bibit tanaman asli tertata rapi. Pengunjung bisa memilih jenis tanaman untuk diadopsi atau ditanam sendiri di hutan. Ada beberapa jenis tanaman asli, antara lain nyatu, gaharu, dan ubar.
Menurut Iedan, petugas Taman Nasional Tanjung Puting, sekitar 200.000 bibit sudah ditanam di area itu.
Hal itu menjadi bagian dari upaya konservasi mengingat kebakaran hebat pernah melanda kawasan itu. Tahun 2015, ribuan hektar area hutan gambut terbakar.
Helmi, Kepala Balai Taman Nasional Tanjung Puting, mengungkapkan, tantangan utama pengelolaan taman nasional itu ialah mengantisipasi kebakaran.
Penanaman bibit tanaman asli, beberapa di antaranya makanan kegemaran orangutan, jadi akhir penjelajahan hutan alam itu. Menjelang siang, perahu melaju membelah Sungai Sekonyer menuju Dermaga Kumai, membawa kesan mendalam tentang eksotisme Tanjung Puting.