Minum Kopi ala Generasi Milenial, Kok Repot!
Bagi generasi milenial, minum kopi tidaklah sederhana. Generasi ini mengincar kedai kopi indie yang alami dan fotogenik serta rasa kopi yang sempurna.
Bahkan, mereka kini perlu mengetahui proses di balik peracikan kopi yang akan diminum. Fungsi ngopi bergeser jadi gaya hidup.
Efek kopi yang paling umum adalah menghilangkan kantuk. Akan tetapi, di Indonesia, kopi melahirkan budaya baru. Secangkir kopi mampu menjadi alat bersosialisasi, yang biasanya terjadi di warung kopi jalanan.
Kini, generasi milenial yang tinggal di perkotaan menjadikan kopi sebagai wadah untuk eksistensi. Caranya lewat nongkrong di kedai kopi dengan tampilan lebih modern yang sering disebut kafe.
Pilihan kafe para generasi milenial adalah yang terbuka, alami, dan fotogenik. Jenis ini biasanya disediakan kafe kopi lokal atau indie alias non-korporasi yang jarang memiliki cabang.
”Sukanya yang tempat terbuka gitu. Seru aja ngopi di tempat yang terbuka dan rindang. Lebih dapat suasananya,” ucap Risky Malano (26), pegawai pemasaran digital di sebuah media swasta, Kamis (11/1).
Di tempat terbuka yang fotogenik, generasi milenial pun bisa berfoto untuk dipajang di media sosial. Karena itu pula, ia sering berganti-ganti kafe agar bisa berfoto di tempat yang belum pernah didatangi.
Di tempat terbuka yang fotogenik, Risky pun bisa foto-foto untuk dipajang di media sosial. Karena itu pula, ia sering berganti-ganti kafe agar bisa berfoto di tempat yang belum pernah didatangi.
Hal senada dikatakan, Franklin Rusli (24), pengusaha di bidang properti. Menurut dia, tempat yang diincar untuk menikmati kopi adalah yang alami.
Untuk itu, ia lebih memilih kafe indie karena kafe asing biasanya terdapat di mal atau ruangan yang tertutup.
”Enggak demen kalau di kafe asing. Suasananya bukan tempat ngopi. Lebih kaya lagi nongkrong di mal,” ucapnya.
Salah satu kafe indie favorit Franklin adalah Giyanti Coffee Roastery. Bertempat di Jakarta Pusat, kafe ini menawarkan ruang terbuka.
Giyanti hadir dengan gaya klasik, lewat meja dan kursi kayu, serta tempelan-tempelan poster vintage. Meski berada di pusat kota, udara terasa dingin karena banyak tumbuhan.
Apabila di luar Jakarta, Franklin mengincar kafe indie, seperti Armor Kopi di Dago, Bandung. Kafe ini sangat unik karena hadir di tengah hutan. Kerindangan dan udara segar sudah jadi jaminan.
”Asik kalau tempat yang alami. Suasana tempat jadi alasan paling penting untuk menentukan tempat ngopi,” katanya.
Utama itu rasa
Pemilihan kafe indie bukan hanya masalah tempat. Franklin mengatakan, rasa adalah hal utama yang menjadi pertimbangan. Di kafe asing, yang dijual adalah kopi komersial.
Kopi itu dihargai cukup tinggi dengan standardisasi rasa yang sama. ”Harganya mahal dan rasanya segitu saja,” kata Franklin.
Kafe indie menawarkan sesuatu yang berbeda. Pencarian biji kopi, pemanggangan, dan pembuatan dilakukan dengan swadaya tanpa standar tertentu. Kenikmatan racikan kopi bergantung pada kemampuan peracik atau barista.
Franklin mengatakan, keunikan rasa yang dihasilkan itulah yang menjadi pengalaman lebih. ”Rasanya bisa jadi jauh lebih enak daripada kafe asing. Bisa semakin enak juga kalau baristanya makin jago,” katanya.
Hal tersebut juga diakui Julius (24), mantan barista kafe asing dan indie. Tiap barista memiliki kunci sendiri dalam proses pembuatan, sedangkan di kafe asing, semua sama.
Kalau di kafe indie, takaran gram kopi, tingkat kekerasan, kehalusan, dan suhu air sesuai pengetahuan barista. Konsistensi kafe indie dalam mengusung kekayaan kopi Nusantara menjadi kelebihan.
”Kalau di kafe indie, takaran gram kopi, tingkat kekerasan, kehalusan, serta suhu air sesuai pengetahuan barista,” ucapnya.
Selain rasa, variasi kopi pun bisa dinikmati. Konsistensi kafe indie dalam mengusung kekayaan kopi Nusantara menjadi kelebihan, apalagi dengan banyaknya kopi lokal, seperti kopi luwak, kopi sumatera, kopi toraja, kopi gayo, kopi bali kintamani, kopi wamena, kopi flores bajawa, dan kopi jawa.
Pentingnya pengetahuan
Buat generasi milenial, mengetahui secara mendalam kopi yang akan dipesan juga sangat penting. Franklin mengatakan, ia kerap menanyakan dan berbincang dengan barista. Ia ingin mengetahui asal biji kopi dan embel-embel proses pembuatannya.
Hingga kini, Franklin masih melakukan itu setiap ke kafe. ”Penasaran saja habisnya. Soalnya kopi itu kan menarik dan sangat bervariasi. Penting untuk mengetahui apa yang kita minum,” katanya.
Saat mengetahui proses dan informasi kopi yang disajikan, Franklin menemukan sensasi sendiri. Ada esensi lebih pada setiap tegukan kopi tersebut. Seperti tambahan pemanis pada kopi, tetapi masuk dan merangsang otak, bukan lidah.
Menurut anggota panitia Indonesian Coffee Event 2018, Yudistira, pengetahuan masyarakat tentang kopi memang meningkat, terutama di kalangan anak muda.
Hal itu terlihat dengan mulai banyaknya orang yang membeli biji kopi mentah di kafe.
”Banyak yang mau buat di rumah sendiri, padahal dulu sangat jarang. Biasanya orang datang ke kafe untuk minum langsung,” ucap Yudistira, pada konferensi pers ICE 2018, Kamis (11/1) di Artotel, Jakarta.
Yudistira mengingatkan, kini barista pun seperti diwajibkan melayani pembeli dalam pengetahuan kopi. ”Pembeli sekarang maunya ngobrol dulu tentang kopi yang ingin dibeli. Itu sudah jadi tuntutan sekarang,” katanya.
Seperti Franklin dan Rizky, generasi milenial merupakan pencinta kopi. Berdasarkan data Litbang Kompas, konsumsi kopi Indonesia meningkat dari 2,5 juta bungkus pada 2005 menjadi 4,6 juta bungkus pada 2016. Meskipun tipis, konsumsi selalu meningkat setiap tahun sejak 2005.
Data itu didukung dengan kenaikan generasi milenial. Kini hampir sepertiga penduduk adalah generasi milenial. Dalam data Badan Pusat Statistik, jumlah generasi kelahiran 1980-2000 itu mencapai 85 juta orang, atau 32,6 persen dari penduduk Indonesia.
Perubahan perilaku
Pengamat budaya, Idi Subandi, mengatakan, generasi milenial mengalami perubahan perilaku konsumsi. Mereka tidak hanya melihat nilai guna suatu produk, tetapi juga mengutamakan pengalaman juga. ”Pengalaman itu seperti momen perayaan bagi generasi milenial. Mereka membutuhkan pengalaman lebih dalam konsumsi,” ucapnya.
Pengalaman itu dibutuhkan karena generasi milenial bisa menceritakan kepada orang lain, baik dalam kehidupan nyata maupun di media sosial. Menurut Idi, generasi milenial selalu butuh pengakuan. ”Mereka senang apabila dianggap berguna untuk eksistensi. Dan, selalu butuh pengakuan di darat (nyata) dan udara (medsos),” katanya.
Kondisi generasi milenial yang butuh pengakuan itu berhasil dimanfaatkan pasar. Pasar mengonstruksi selera generasi milenial. Seperti munculnya berbagai macam jenis kopi dan cara mengonsumsinya yang berbeda-beda. Hal itu dilihat Idi sebagai kejelian pasar dalam melihat situasi.
Idi mengatakan, kecenderungan perilaku generasi milenial yang selalu membutuhkan eksistensi bisa menjadi dua hal yang berlawanan.
Kecenderungan perilaku generasi milenial yang selalu membutuhkan eksistensi bisa menjadi dua hal yang berlawanan.
Di satu sisi, generasi milenial dapat menjadi kreatif dengan pengalaman dan pengetahuan lebih. Sementara sisi lainnya, generasi milenial hanya akan menjadi penonton dan sebagai konsumen.
”Menumbuhkan percaya diri dan kreativitas, sekaligus imajinasi untuk mengonsumsi lebih,” katanya.
Seperti yang ditakutkan almarhum Cak Nur atau Nurcholish Madjid sampai akhir hayat. Cendekiawan ini mengatakan, Indonesia hanya akan menjadi bangsa peminta-minta yang konsumtif apabila tidak bisa mengubah budayanya. Harapan itu pun tertumpu pada generasi milenial, generasi masa depan Indonesia.
Budaya ngopi ini bisa jadi kreatif atau malah konsumtif.
Mungkin orang lain menilai, ”Mau minum kopi saja kok repot banget.” Mesti tempat yang alami, rasa yang sempurna, dan riset dulu. Padahal, kopi hanya soal menyeduh. Akan tetapi, bagi generasi masa depan ini, itulah letak esensinya. (DD06)