Kembali ke Akar
Untuk membangun saling pengertian, perlu kembali ke akar tradisi dan budaya. Dengan memahami akar sendiri, kita juga akan mudah memahami akar budaya dan tradisi orang lain. Pada titik itu, muncul toleransi, muncul saling pemahaman bahwa berbeda itu hal yang lumrah, bahkan anugerah.
Itu antara lain gagasan pokok Irwansyah Harahap, seorang etnomusikolog sekaligus dosen pada Program Studi Etnomusikologi Universitas Sumatera Utara, Kamis (11/1). Lulusan S-2 pada bidang etnomusikologi di University of Washington, Seattle, Amerika Serikat, ini mendirikan Suarasama dan Mataniari.
Lewat Suarasama, Irwansyah mencoba menafsir ulang musik dalam melihat dunia luar. Lewat Mataniari, dia menyajikan musik-musik tradisi yang selama ini sebagai bagian dari adat atau ritual.
Irwansyah baru saja pulang dari Brussels, Belgia, dan Den Haag, Belanda, bersama 10 anggota Mataniari dalam rangkaian acara Europalia Art Festival. Dia mengajak serta pelaku seni tradisi berusia 20-an tahun sampai 60-an tahun. Tiga generasi seniman. Itu dilanjutkan dengan keliling Spanyol dan Austria selama dua pekan dalam acara Beyond Europalia.
Mereka menyiapkan penampilan dengan durasi 30 menit sampai 1 jam dengan materi musikal dari gondang hasapi, gondang sabangunan, yang merupakan interpretasi dari ritual dan adat, dan opera batak.
Semua penampilan itu berlandaskan pada tiga gagasan pokok, yakni kemanusiaan, spiritualitas, dan lingkungan. Irwansyah menilai, selama tiga hal itu berdiri kokoh, dunia akan baik-baik saja. Sebaliknya, ketika terjadi gejolak, pasti karena terjadi ketidakseimbangan dalam tiga aspek tadi. Untuk itu, ketiganya harus dijaga dengan kembali ke akar budaya.
Irwansyah memaparkan lebih lanjut gagasannya dalam wawancara dengan Kompas berikut ini.
Apa yang ingin Anda sampaikan lewat Mataniari?
Sebetulnya Mataniari mencoba mempertahankan bentuk-bentuk kesenian akar dengan menampilkannya di dunia luar. Kami berharap anak-anak muda ini, dengan membawakannya, mengenali kesenian akar yang ada di sekitar. Kami membawa tiga generasi, salah satunya guru saya, Marsius Sitohang (63), kemudian generasi saya dan istri saya. Kemudian generasi murid kami. Mereka antara 20-an dan 60-an tahun.
Ini cara kami melakukan regenerasi. Kebetulan musisi yang bermain di sana yang masih muda itu representasi dari program yang kami jalankan. Saya dan istri (Rithaony Hutajulu) kebetulan sama-sama dari Etnomusikologi. Sejak tahun 2008 melakukan revitalisasi. Kami mengembalikan musik tradisi dengan cara mengajarkannya kepada anak-anak muda. Nah, mereka yang belajar itu kami ajak ke ajang Europalia.
Kenapa menjadi penting untuk regenerasi? Apa yang menggelisahkan Anda?
Sebetulnya ini alasan alami. Kita berangkat dari kesadaran bahwa akar itu penting. Bahwa segala sesuatu yang menjulang tinggi ke atas itu selalu ada akarnya. Peradaban juga begitu. Hari ini dengan pengaruh yang begitu kompleks. Era digitalisasi. Orang bilang ini era milenial yang segalanya tidak terbatas lagi, tetapi yang menarik orang berusaha mengenali lagi: akarnya di mana di tengah kancah globalisasi ini. Ini penting sekali.
Nah, itu justru mengapa pentingnya menyadari akar kita di mana supaya bisa tahu ruang tumbuh kita seperti apa. Itu yang membuat kami sadar betul. Ke mana pun kami melakukan sesuatu, dalam hal ini membangun kreativitas hidup, baik di musik maupun apa saja, selalu akar menjadi penting untuk tahu sejauh mana kita tumbuh.
Regenerasi selalu tidak mudah. Apa masalah terbesar yang Anda lihat dalam konteks ini?
Problem terbesar adalah pengetahuan tentang tradisi, tentang akar. Dalam perspektif saya, kesadaran anak muda terputus dengan akarnya, terutama tradisi dan musik tradisi, karena lack of knowledge. Formula pendidikan kita belum tuntas menempatkan kesenian tradisi. Seni tradisi sebagai produk pendidikan masih terus berproses mencari formula yang pas. Akhirnya kita dalam dunia pendidikan kita mengadopsi musik Barat. Tetapi, Barat yang masih dalam tanda kutip, Barat yang mana.
Kita masih main piano, gitar, dengan lagu folk. Ini juga belum menemukan formulanya seperti apa. Saya bukan ingin mengatakan kita mengalami disorientasi, tetapi kita belum menemukan formula untuk mengenali kompleksitas kebudayaan, terutama musik di Nusantara.
Kalau ini dibiarkan, apa dampak ekstremnya?
Pada suatu saat nanti ada generasi yang kehilangan akarnya. Terputus aspek sejarah dalam perjalanan hidupnya, lalu tergantikan.
Banyak anak muda yang terjebak dalam dunia digital. Asyik sendiri dengan gawai. Perlu disadari, di dunia Barat, produk teknologi bukan satu-satunya. Itu hanya pilihan. Di Barat orkestra tetap ada live performance tetap disajikan secara organik. Hal-hal yang virtual hanya mekanisme untuk memenuhi satu ruang kehidupan. Bukan segalanya. Ini yang harus kita sadari.
Di Spanyol disajikan musik tradisi yang ada dengan akustiknya. Teknologi bukan satu-satunya pilihan. Hidup bukan dari yang virtual, hidup itu ada dalam hidup itu sendiri yang organik. Ini yang kadang-kadang generasi sekarang abai. Teknologinya diadopsi, tetapi pengetahuan tentang teknologinya diabaikan.
Saya selalu memberikan analoginya begini: istilahnya SMS atau short message service, layanan pesan singkat, tetapi kita ngobrol di situ. Ini, kan, teknologinya diadopsi, tetapi pengetahuan diabaikan. Ini cara kami menyuntikkan kesadaran kepada generasi muda.
Belum lagi kita mendiseminasikan yang ada di Nusantara. Menumbuhkan di satu akar saja persoalan, apalagi mengenalkan yang se-Nusantara. Tetapi, ini penting biar tidak klise. Kita mengklaim kebudayaan kita kaya, tetapi tak mengenalnya. Buktinya riset-riset tentang sosial dan kultural masih diminati asing.
Tiga dari anak yang kami bawa ke Europalia adalah anak-anak Parmalim (kelompok penghayat di Sumatera Utara). Mereka tidak sekadar tampil, tetapi juga menguasai pengetahuan di balik itu. Hal ini yang penting, mendiseminasi pengetahuan tentang budaya supaya kita sadar bahwa kebudayaan itu penting dan unik di tengah dunia. Dengan begitu, mereka mengenal kebudayaan lain dan terbentuk saling pengertian.
Musik tidak semata sebagai ekspresi, harus dibarengi dengan knowledge sehingga setiap pemain dan kita menemukan identitasnya.
Masih soal media sosial. Sekarang muncul banyak ujaran kebencian, juga mudah sekali memvonis. Kira-kira apa yang Anda tawarkan untuk menghadapi ini?
Dalam konteks kebudayaan itu manusiawi dan alami. Manusia itu berpikir tentang yang lain. Semua orang punya asumsi-asumsi yang melahirkan stereotip, stigma, prasangka, dan sebagainya. Ketika semua itu menjadi ideologi, itu semakin berbahaya. Untuk meruntuhkan semua itu, tidak ada lain kecuali pengetahuan (knowledge). Begitu pentingnya ilmu pengetahuan.
Secara konkret, apa yang Anda tawarkan?
Dalam konteks Indonesia, aspek humanity lama tidak diasah. Yang berkembang aspek ideologinya. Ideologi wilayahnya di kognitif. Asumsi ke asumsi, bertabrakan. Nah, proporsi untuk menghadirkan ruang humanity ini kurang. Ruang-ruang publik kita didistrorsi oleh politik. Akhirnya tereduksi hal-hal yang humanity atau kebudayaan itu. Padahal, kebudayaan bisa menjadi pemersatu. Ini yang harus kita perkuat.
Itu akan lebih kuat jika dibarengi dengan diseminasi pengetahuan. Ini bukan hanya tanggung jawab akademisi, media juga. Untuk menyampaikan pengetahuan. Misalnya dengan peliputan alat musik tradisi. Dengan begitu, orang Aceh akan tahu tentang Papua dan sebaliknya.
Anda bilang politik mendistorsi ruang publik. Sekarang ini tahun politik. Banyak pilkada dan sebentar lagi pilpres. Lalu, apa yang harus kita lakukan?
Selama ini, aspek kebudayaan dan kesenian dikendarai oleh politik. Nah, kita harus mengembalikan bahwa politik itu hanya sub. Saya tidak setuju dengan ungkapan politik itu panglima. Salah. Mestinya di mana pun, Amerika atau Jepang sekalipun, budaya itu panglima. Budaya yang mewarnai cara berpolitik, berekonomi, berteknologi. Ini soal mindset yang harus ditata ulang.
Indonesia sebagai negara itu terlalu mudah untuk memproyeksikan kebudayaan di Nusantara yang hidup ratusan tahun sebelumnya. Sudah ada sebelum penjajahan Belanda. Ini tidak semata studi, perlu diseminasi.
Misalnya ketika bicara persebaran musik, ternyata bisa lebih luas dari negara. Alat petik atau lute ternyata bisa sampai ke Madagaskar sebarannya. Makanya, pengetahuan tentang akar tadi menjadi sangat penting.