Ajakan Membagi Terang ”Lilin”
Lazimnya anak kampus, ya, sibuk kuliah. Berbagai aktivitas mulai dari kuliah hingga berbagai tugas lainnya menyita waktu mereka. Untuk melepas kejenuhan itulah, sudah dua tahun sejumlah anak kampus mendirikan komunitas Social Designee. Mereka telah mencatatkan kunjungan sebanyak 200 kali di delapan desa, sekolah, ataupun panti asuhan di sekitar kampus.
Sejak didirikan pada 19 Desember 2015, Social Designee Community, yang diprakarsai Ryan Sucipto, mahasiswa semester 7 Universitas Multimedia Nusantara (UMN), meyakini desa di sekitar kampusnya diam-diam membutuhkan perhatian.
Komunitas ini didirikan di lingkungan kampus Universitas Multimedia Nusantara, Serpong, Tangerang Selatan, Banten. Menurut Ryan, kampusnya memang memiliki perhatian sangat besar dalam mendorong kegiatan sosial.
Kampus secara resmi membentuk kegiatan sosial Rencang. Ketatnya program ini membuat proses perekrutan sangat ketat. Misalnya, dari 500 mahasiswa yang mendaftar, mahasiswa yang diterima hanya 70 orang. Sisanya, 430 orang yang ingin ikut kegiatan sosial, ternyata tidak memiliki wadahnya.
Dari situlah dibentuk komunitas sukarelawan sosial. Kegiatan komunitas ini bisa memberikan warna tersendiri bagi kampus. Konsepnya sekadar mewadahi sukarelawan.
Cikal bakal pembentukan Social Designee ini tidak terlepas dari pengalaman di kampus. Ryan merasa tersentuh saat kegiatan orientasi studi dan pengenalan kampus (ospek). Salah satu pembina ospek menyatakan, ”Level tertinggi dalam hidup tidak terletak pada diri sendiri saja, tetapi apa yang bisa kamu bagikan kepada orang lain.”
Saat survei terkait dengan kegiatan Medical Center UMN, Ryan menelusuri fenomena obesitas di pedesaan sekitar kampus. Ternyata kecil ditemukan kondisi diabetes. Justru yang ditemukan adalah minimnya kegiatan anak-anak.
Kesenjangan
Kawasan Serpong kerap disebut sebagai kota mandiri. Banyak kampus, mal dan pusat perbelanjaan lainnya, rumah sakit, dan sebagainya. ”Cuma lucunya, hanya berjalan lima menit doang ke sekitar kampus, kita masih melihat sawah dan hewan ternak, seperti sapi, kerbau, kambing, dan ayam. Boleh dibilang, hanya terbatas tembok kampus, kami sudah bisa berjumpa rumah-rumah perkampungan” ujar Ryan.
Kesenjangan itu bikin menggelitik pikirannya. Dari riset sederhana ke perkampungan sekitar kampus, ternyata terlihat sebuah pemandangan sekolah dasar yang memiliki enam guru untuk enam kelas. Artinya, seorang guru harus bisa menguasai semua mata pelajaran. Mereka kekurangan guru untuk mengajar bidang kesenian, bahasa Inggris, dan komputer.
Franko, Kepala Departemen Sociopreneur dalam komunitas ini, mengatakan, terdorong oleh kebutuhan masyarakat, komunitas ini ingin hadir. Targetnya sekadar mengajar dengan cara sederhana sesuai perkembangan anak-anak. Bentuknya memang tidak harus di ruang kelas.
Dari sejumlah kunjungan ke desa, mereka justru mengajar di alam terbuka. Mengumpulkan mereka di lapangan terbuka, menggelar terpal setiap Sabtu. Awalnya memang cukup sulit karena membutuhkan pendekatan tertentu kepada kepala desa maupun RT/RW setempat. Seiring berjalannya waktu, kini kegiatan sosial belajar bersama ini sudah dilakukan di Desa Pondok Jengkol, Curug Wetan, Tangerang Selatan, setiap Sabtu.
Sekitar Maret 2016, komunitas ini pernah memberikan pelatihan bagi anak-anak SDN Curug Wetan 5 atas dukungan harian Kompas. Mulai sekadar membaca koran hingga memberikan berbagai pengetahuan melalui permainan-permainan sederhana dan dongeng.
Banyak yang mempertanyakan pendanaan kegiatan komunitas sukarelawan ini. ”Sederhana saja, pendanaan selama ini diperoleh dari penjualan merchandise, seperti gantungan kunci. Selain itu, kami juga pernah membuka jasa pembuatan sketsa wajah. Semua donasi silakan diberikan sukarela,” kata Franko.
Jeniffer Handali, Kepala Departemen Marketing Social Designee, mengatakan, dukungan pendanaan juga diperoleh melalui berbagai kerja sama dengan pusat perbelanjaan. Namun, dukungan itu tetap sepenuhnya tidak menghalangi bentuk-bentuk kegiatan sosial yang dilakukan komunitas ini.
Karena itulah, selain pendanaan yang mencukupi, anggota komunitas ini tetap merancang materi-materi yang akan dibawakan ke desa-desa, termasuk workshop untuk mempersiapkan bahan cerita. Kuncinya kekompakan sukarelawan sangat dibutuhkan agar saat berhadapan dengan anak-anak bisa lebih meyakinkan.
”Yang ingin kami pecahkan adalah mahasiswa kuliah jangan cuma mengejar poin, tetapi benar-benar tergerak dalam satu wadah sosial yang terbuka. Mudah-mudahan area pelayanan sosial ini bisa semakin luas,” ujar Jeniffer.
Di tangan tim inti sebanyak 6 orang dan pengurus sejumlah 17 orang lintas kampus, komunitas ini ingin terus melebarkan sayap. ”Komunitas kami ibaratnya ingin menyerupai lilin yang menyala. Waktu kita berbagi api pada lilin-lilin yang lain, terang api kita sendiri tidak hilang. Konsep inilah yang menyinari masyarakat luas,” ujar Ryan.
Hingga kini, komunitas ini masih sangat terbuka akan kehadiran anggota dari kampus lain. Mereka pun membuka peluang untuk bergabung sebagai sukarelawan agar bisa sama-sama belajar dan bermain dengan anak-anak di pedesaan. Seluruh kegiatan sosial pun sudah didokumentasikan secara lengkap dalam bentuk buku. (OSA)