Tato yang Tak Mengenal Batas dan Usia
Suatu hari di sebuah pantai di Peru, Amerika Latin, ada pemandangan yang tak biasa. Di pantai itu, orang tak hanya berenang, berlari-larian, atau sekadar tidur-tiduran, tetapi sebagian dari mereka yang berusia muda juga asyik membuat tato di tubuhnya.
Membuat tato bunga rupanya tengah menjadi ”mode” di kalangan mereka. Bila gambar bunga yang dipilih kaum muda di Peru karena bunga menjadi lambang kaum hippies yang berarti damai dalam kebebasan.
Apa yang mereka lakukan tersebut sekadar mengulangi kebiasaan nenek moyang manusia di masa lalu. Sejak lama, sebagian orang mempunyai kebiasaan menato tubuh dengan berbagai lukisan.
Tulisan berjudul ”Serba Bunga Menghias Tubuh” itu dimuat harian Kompas yang terbit pada 5 Januari 1970, atau tepat 48 tahun lalu.
Di Indonesia, tato menjadi bagian dari tradisi lama beberapa suku bangsa. Misalnya, warga Mentawai di Sumatera dan beberapa subsuku Dayak di Kalimantan. Kompas, 12 April 1981, menulis tentang wisatawan asing yang bersedia melakukan perjalanan menyusuri hutan untuk sampai di Desa Mahak Baru, Kecamatan Long Nawang, Kabupaten Bulungan, Kalimatan Timur (Kaltim).
Pada 1980-an kawasan itu masih menjadi daerah terisolasi. Apa yang menarik wisatawan asing bersusah payah mengunjungi Desa Mahak Baru? Mereka meminta sang kepala desa membuatkan tato di badannya. Merang Apoy, sang kepala desa pun, memenuhi permintaan itu sebagai kenang-kenangan dan tanda mereka telah berkunjung ke desanya.
Merang Apoy membuat tato di pangkal lengan wisatawan asing yang datang. Tato itu berupa gambar burung liar berleher panjang yang menjadi lambang Desa Mahak Baru. Tubuh beberapa wisatawan asing itu sendiri penuh tato, di antaranya tato yang dibuat suku Dayak Punan.
Klaudis Kudi (74), tetua adat Dayak Iban di Kampung Sungai Utik, Desa Batu Lintang, Kecamatan Embaloh Hulu, Kabupaten Kapuas Hulu, Kalimantan Barat (Kalbar), yang tubuhnya berhias tato bercerita, pertama kali ditato, badannya demam selama beberapa hari. Namun, setelah itu, saat ditato lagi, badannya tak lagi demam (Kompas, 8 Oktober 2011).
”Paling sakit tato di rusuk dan leher karena kulitnya tipis dan terasa sampai ke tulang. Tato penuh satu badan ini tidak dibuat dalam sekali menato, tetapi belasan kali,” kata Kudi. Lelaki Dayak Iban generasi selanjutnya tak lagi memiliki tato sebanyak pria segenerasi dengan Kudi.
Tato pada masyarakat di Kepulauan Mentawai, Sumatera Barat, juga semakin menghilang. Padahal, secara tradisi, dari tato pada tubuh seseorang bisa diketahui derajatnya dalam kehidupan. Misalnya, apakah dia seorang kepala suku, hulubalang, atau rakyat biasa (Kompas, 7 Juli 1994).
Sejak masa nenek moyang sampai sekarang, tato terbukti mampu bertahan dan menyesuaikan diri dengan perubahan zaman.
Kalaupun ada kaum muda yang memiliki tato, biasanya kecil dan dibuat di bagian tubuh yang tak terlihat jelas. Kebiasaan membuat tato mulai menghilang bersamaan dengan larangan pemerintah pada 1970.
”Padahal, tato Mentawai luar biasa dan unik, memenuhi seluruh tubuh dari kepala sampai kaki dan sarat dengan simbol dan makna. Bagi orang Mentawai, tato adalah busana abadi yang dibawa sampai akhir hayat,” kata Adi Rosa, dosen seni rupa IKIP Padang, pelukis dan peneliti seni rupa lulusan pascasarjana seni rupa ITB, seperti dikutip Kompas, 2 Agustus 1995.
Pembuatan tato pada suku asli Mentawai dilakukan bertahap. Pertama, saat anak menjelang dewasa (11-12 tahun) di pangkal lengan. Kedua, pada anak usia 18-19 tahun dan selanjutnya dibuat tato di bagian dada, paha, kaki, perut, dan punggung (Kompas, 24 Februari 2001).
Sasaran petrus
Sejak masa nenek moyang sampai sekarang, tato terbukti mampu bertahan dan menyesuaikan diri dengan perubahan zaman. Tato mengalami evolusinya sendiri. Pada tahun 1980-an tato identik dengan penjahat atau preman yang menjadi sasaran penembak misterius (petrus). Mayat korban petrus biasanya bertato (Kompas, 15 Oktober 1981 dan 22 Juni 1983).
Kondisi itu membuat sebagian narapidana berusaha keras menghilangkan tato di tubuhnya dengan berbagai cara. Akibatnya, sebagian dari mereka justru terkena infeksi. Mereka khawatir apabila keluar dari penjara nanti, akan menjadi korban petrus (Kompas, 2 Agustus 1983).
Sampai era 1990-an, masih muncul berita tentang penjahat bertato yang tertangkap polisi (Kompas, 27 Mei 1991). Bahkan, sebagian debt collector atau petugas penagih utang memiliki tato di tubuhnya yang bisa dilihat secara kasatmata. Tato itu memberi kesan ”sangar” (Kompas, 23 Januari 1994).
Para pemuda bertato juga tak bisa menjadi perwira ABRI. Kompas, 3 Agustus 1983, menulis, Danjen Akabri Letjen Moergito menegaskan, pemuda yang menghiasi tubuhnya dengan tato tak layak menjadi perwira ABRI.
”Tato mungkin bisa menumbuhkan kebanggaan. Tetapi, seorang calon perwira ABRI tak seharusnya menumbuhkan kebanggaan dengan cara seperti itu,” kata Moergito seusai upacara pembukaan tahun akademi 1983/1984 di Lapangan Akabri Magelang, Jawa Tengah.
Di Papua Niugini (PNG) hukuman berupa tato di dahi dikenakan kepada penjahat, selain hukuman mati dan jam malam. Hukuman tato di dahi itu masuk dalam undang-undang baru antikriminal dan dimaksudkan untuk memudahkan aparat dan masyarakat mengidentifikasi mereka. Peraturan itu dikeluarkan pemerintah setelah lima warga asing yang bekerja di PNG diserang dan dipukuli di Port Moresby (Kompas, 15 Maret 1991).
Sekitar pertengahan 1980-an tato digunakan untuk hal yang dinilai sebagian orang positif.
Keberadaan mafia asal Jepang, Yakuza, di Filipina antara lain diketahui dari tato yang menjadi salah satu ciri khas anggotanya. Mereka yang tiba di Manila dan kedapatan memiliki tato tersebut langsung dideportasi oleh Pemerintah Filipina (Kompas, 13 Februari 1992).
Adapun Kompas, 30 Oktober 2001, memuat kisah tentang anak jalanan di Tegucigalpa, Honduras, yang menghiasi tubuhnya dengan tato untuk menyelamatkan diri dari gangguan geng lain. Di sini tato menjadi simbol identitas anggota masing-masing geng jalanan.
Berubah
Sekitar pertengahan 1980-an tato digunakan untuk hal yang dinilai sebagian orang positif. Misalnya, berkembangnya tato alis yang membuat para perempuan tak perlu membuang waktu, bersusah payah membuat alis setiap hari. Dengan tato alis, mereka bisa tampil sesuai bentuk alis yang diinginkan tanpa perlu pensil alis (Kompas, 20 Mei 1984).
Bahkan, tato dianggap sebagai salah satu bentuk seni. Pameran seni tato pun diadakan di Roma, Italia (Kompas, 29 April 1985). Di sini ahli tato dari Amerika Serikat (AS) dan Jepang hadir dan mendemostrasikan langsung kepiawaian mereka membuat tato.
Ahli tato Jepang menato dengan tangan, sedangkan ahli tato AS menggunakan mesin. Dalam 3 minggu pameran, sekitar 150 orang minta ditato di tempat pameran berlangsung.
Sementara di Pittsburg, AS, untuk kesembilan kalinya diadakan Tatoo Expo pada 1991. Dalam perhelatan ini, 150 artis tato dari berbagai negara turut berpartisipasi dan berbagi pengalaman teknik menato. Di AS saja diperkirakan ada lebih dari 100.000 artis tato (Kompas, 27 September 1991).
Tato tidak lagi identik dengan kehidupan dunia hitam. Sebagian selebritas dunia menjadikan tato sebagai bagian dari gaya hidup mereka. Tahun 1988 aktris asal Denmark, Brigitte Nielsen, yang antara lain bermain dalam film Rocky IV membuat tato nama pasangannya ”Mark Gastineau” di pantatnya (Kompas, 24 Oktober 1988).
Aktris lain yang juga dikenal bertato antara lain penyanyi Cher, Angelina Jolie, Pamela Anderson, Sean Connery, dan Madonna (Kompas, 20 Januari 1991 dan 5 Juni 1996). Para remaja AS pun tergila-gila pada tato. Meskipun sebagian orangtua menentang, kaum muda diam-diam membuat tato di bagian tubuh yang tertutup pakaian (Kompas, 5 Oktober 1996).
Demam tato juga melanda kalangan olahragawan. Pesepak bola David Beckham, misalnya, membuat tato nama istri dan anak-anaknya di lengan bawah. Dia juga membuat tato angka tujuh dalam aksara Romawi. Tujuh adalah nomor kaus Beckham saat bergabung di Manchester United, sedangkan di belakang lehernya ada tato malaikat pelindung dengan sayapnya.
”Bapak saya punya tiga tato sehingga ide memiliki tato ada sejak saya masih anak-anak,” kata Beckham seperti ditulis Kompas, 20 Juni 2006.
Etnomusikolog Rizaldi Siagian bahkan mengukir tato di lengan kanannya sejak 1970-an saat dia menjadi penggebuk drum band Great Session. Sampai sekarang, dia merasa senang tato itu menyertainya ke mana saja. Rizaldi tak ingin menghapus tatonya (Kompas, 24 Mei 2017). Sementara penyanyi dan aktivis lingkungan Melanie Subono menunjukkan kecintaannya kepada Tanah Air antara lain lewat tato burung Garuda di punggungnya (Kompas, 20 Mei 2017).
Maknanya
Bagi masyarakat subsuku Dayak Iban, tato adalah simbol keberanian. ”Menato adalah tradisi nenek moyang kami. Saat perang suku, tato menjadi semacam tanda pengenal,” kata Klaudis Kudi (74), tetua adat Dayak Iban di Kampung Sungai Utik, Desa Batu Lintang, Kecamatan Embaloh Hulu, Kabupaten Kapuas Hulu, Kalbar, yang tubuhnya berhias tato (Kompas, 8 Oktober 2011).
Selain Kudi, ada Antonius Kidau (73) dan Bandi (81) yang juga memiliki tato hampir di seluruh tubuhnya. Mereka menato tubuh sejak merantau ke berbagai tempat, seperti ke Miri, Sarawak, tahun 1959. Tato menunjukkan betapa luas pengembaraan mereka selama ini.
Dalam perjalanannya, sebagian generasi muda Dayak enggan menato tubuh, apalagi dengan motif tradisional. Kalaupun ada anak muda yang menato tubuhnya, umumnya dengan motif modern, seperti tengkorak, bunga, dan simbol lain yang dekat dengan kehidupan modern.
Keadaan berubah pertengahan tahun 2000-an. Seni tato tradisional bangkit di kalangan suku Dayak Aoheng atau Dayak Penihing di Kecamatan Long Bagun, Kabupaten Kutai Barat, Kaltim. Para pemuda bangga dengan tato khas Dayak daripada tato motif modern (Kompas, 7 Juli 2005).
Empat motif utama itu adalah motif asoe (anjing), naga, irap aran, dan anyam darli. Bagi kaum Dayak Aoheng, tato merupakan lentera menuju surga. Sementara pada masyarakat Dayak Kenyah, motif yang lazim untuk kalangan bangsawan adalah burung enggang (Kompas, 22 Oktober 2004). Tato bagi mereka menjadi bagian dari tradisi dan spiritual, tak ada kaitannya sama sekali dengan pencitraan ataupun kekerasan.
Di Kepulauan Mentawai, Sumatera Barat, secara tradisi tato menjadi bagian dari tatanan kehidupan. Dari tato di tubuh seseorang bisa diketahui status sosial-ekonominya dalam masyarakat, keluarga, dan juga prestasinya. Gambar pada tato penduduk Mentawai berkaitan dengan unsur kepercayaan mereka untuk mendapatkan keselamatan, kerukunan bermasyarakat (Kompas, 7 Juli 1994).
Untuk pewarna tato, subsuku Dayak Iban di Kalbar menggunakan jelaga lampu minyak dicampur air tebu. Ramuan itu dikeringkan selama beberapa hari hingga menjadi kristal hitam. Apabila hendak dipakai, kristal hitam itu dicairkan lebih dahulu (Kompas, 8 Oktober 2011).
Sementara Kepala Adat Kampung Long Bagun Ilir, Kaltim, Yosep Lie Aran bercerita, dulu tato di kampungnya menggunakan jelaga asap hitam damar yang dibakar. Jelaga itu dicampur dengan sari daun terong pipit (Kompas, 7 Juli 2005). Mereka menato dengan alat sederhana, seperti jarum-jarum yang disatukan dan dicelupkan ke pewarna. Jarum-jarum itu lalu dipukul-pukulkan perlahan ke bidang kulit yang hendak ditato.
Bagi suku bangsa yang memiliki tradisi menato tubuh, biasanya hanya orang-orang tertentu yang boleh melakukan tato. Gambar atau simbolnya pun disesuaikan dengan ketentuan tradisi masing-masing, tak bisa sekadar memenuhi keinginan si pemilik tubuh yang hendak ditato.
Mode
Begitu tato dibuat di kulit tubuh, berarti simbol itu akan menyertai seumur hidup. Namun, tak semua orang yang ingin mempunyai tato memiliki keberanian seperti itu. Maka muncullah tato temporer, tato semipermanen, dan tato stiker. Tato semipermanen bisa bertahan selama 3-6 bulan, tato temporer bertahan beberapa minggu saja. Adapun tato stiker hanya tahan beberapa jam, bahkan bisa hilang terkena keringat atau air.
Seperti pada akhir tahun 1990-an sebagian anak muda demam tato. Pada era ini tato umumnya tak berkaitan dengan tradisi atau memiliki makna spiritual. Keinginan membuat tato sekadar mengikuti mode, ingin tampil berbeda, ataupun karena suka pada gambar atau simbol tertentu (Kompas, 19 Juni 1999).
Pewarna yang digunakan untuk tato umumnya adalah tinta khusus untuk keperluan tato di tubuh manusia. Bahkan, dengan mudah, orang menemukan tempat untuk menato di mal ataupun di beberapa tempat lainnya. Di tempat-tempat artis atau seniman tato beraksi itu, orang bisa memilih ingin mendapatkan tato permanen, temporer, atau semipermanen (Kompas, 19 Juni 1999).
Kompas, 26 Juni 1999, mencatat, kota-kota besar, seperti Jakarta, Bandung, Surabaya, Yogyakarta, dan Bali, menjadi sasaran bisnis tato, yang antara lain menggunakan tinta pewarna buatan Australia dan Jerman. Di daerah Kuta sampai Seminyak, Bali, misalnya, terdapat sedikitnya 70 studio tato dengan puluhan artis tato (Kompas, 6 Juli 2003).
Kaum muda yang banyak tertarik membuat tato karena tato identik dengan semangat kebebasan dan antikemapanan. Adapun bagi ibu-ibu muda, tato bisa memberi kesan seksi. Alasan lainnya, tato itu mengingatkan mereka kepada seseorang atau peristiwa tertentu. Pemain sinetron Nafa Urbach, misalnya, mempunyai tato mawar karena mawar artinya sama dengan namanya. Sang ayah yang pelaut pun suka membuat tato sehingga sejak kecil Nafa sudah tertarik pada tato (Kompas, Minggu 6 Juli 2003).
Namun, tak semua orang mau terbuka soal tato yang dimilikinya. Sebagian orang memilih membuat tato di tempat yang tertutup pakaian sehingga hanya orang terdekatnya yang tahu dia memiliki tato. Kebanyakan orang membuat tato di betis, tangan, dan punggung. Motif tato pun beragam, seperti wajah, hewan, huruf, dan angka.
Virus
Di sisi lain, peringatan agar orang berhati-hati saat membuat tato pun muncul. Ketika penyandang AIDS pertama di Indonesia ditemukan di Bali tahun 1987, pemerintah mengingatkan masyarakat agar berhati-hati terhadap penularan virus HIV/AIDS lewat hubungan seks bebas (Kompas, 1 Agustus 1994).
Baru setelah itu diberitakan bahwa HIV/AIDS bisa menular lewat jarum suntik, jarum tato, jarum tindik, jarum transfusi darah, atau pisau cukur yang pernah digunakan penyandang AIDS. Selain itu, virus hepatitis juga bisa ditularkan karena penggunaan alat yang tidak steril atau dipakai secara bergantian untuk membuat tato.
Hepatitis adalah infeksi hati oleh virus hepatitis. Beberapa jenis hepatitis adalah hepatitis A, B dan C. Di Indonesia, 2-4 persen dari jumlah penduduk menderita hepatitis C, sedangkan kasus hepatitis B sekitar 5-10 persen dari jumlah penduduk (Kompas, 15 April 2009).
Selain pemakaian jarum, tato juga bisa mengakibatkan infeksi karena tinta yang digunakan tidak higienis. Tanpa menyebutkan merek tintanya, penelitian New England Journal of Medicine menunjukkan, sedikitnya 22 kasus infeksi kulit di empat negara bagian di AS terkait tinta tato yang terkontaminasi. Bakteri yang menyebabkan infeksi kulit itu adalah Mycobacterium chelonae, yang berkerabat dengan bakteri penyebab tuberkulosis dan kusta (Kompas, 28 Agustus 2012).
Hapus
Untuk membantu menghapus tato permanen, sekelompok dokter di AS pada akhir 1980-an menemukan cara dengan menggunakan laser. Dengan kilatan sinar merah berkekuatan 100 juta watt, keping-keping pigmen dan sel-sel yang membawanya dipecahkan sehingga tato lenyap (Kompas, 29 April 1989).
Sakit yang dirasakan seseorang saat menghilangkan tato lebih ringan daripada saat tato itu dibuat. Bedanya, kalau membuat tato cukup dilakukan sekali saja, maka untuk menghilangkannya diperlukan penyinaran 4-10 kali. Biayanya sekitar 1.200-2.000 dollar AS (Kompas, 4 Februari 1996).
Mereka yang ingin menghilangkan tato antara lain karena kesulitan mendapat pekerjaan. Umumnya pihak pemberi kerja lebih memilih calon pegawai tidak bertato dibandingkan yang memiliki tato. Bahkan, Pemerintah Selandia Baru sampai memberi dana khusus untuk program penghapusan tato (Kompas, 19 Januari 2001).
Kompas, 10 November 2005, mencatat, para atlet basket Iran berusaha menghilangkan tato karena Federasi Bola Basket Iran melarang atlet mempunyai tato seperti yang banyak dilakukan pebasket mancanegara. Jika atlet tak mengindahkan larangan mempunyai tato itu, mereka diancam tindakan yang lebih keras.
Dengan berbagai faktor yang mengiringi perjalanannya, tato yang dipercaya sudah ada di dunia sejak ribuan tahun itu mampu bertahan sampai sekarang. Makna, teknik, dan pilihan orang pada lukisan tato bisa berubah sesuai era dan kepribadian masing-masing.
Namun, tato tak pernah kehilangan penggemarnya. Kompas, 28 Juni 2009, misalnya, menulis tentang komunitas Masyarakat Bertattoo atau Masberto. Komunitas ini terbuka bagi siapa saja yang punya tato, pencinta tato, penikmat tato, seniman tato, atau sekadar pemerhati tato.
Masberto hanyalah satu dari beberapa komunitas yang berkaitan dengan tato di Indonesia. Masih ada perkumpulan lain, seperti Indonesian Professional Tattoo Association (IPTA), Java Tattoo, Survive, Indonesian Subculture, Indonesian Tattoo Foundation, dan Indonesian Tattoo Tribes.