Kacamata Perempuan Perupa
Buruh rumahan
Karya rajutan tersebut segera menyambut kita begitu memasuki lantai satu ruang pamer. Beragam jenis rajutan melilit tiang-tiang, terhampar di lantai sebagai alas duduk, hingga terpajang di dinding ruangan. Konsep pameran itu adalah memberikan ruang istirahat bagi para buruh pabrik dan buruh rumahan karena dalam kesehariannya mereka sangat jarang memiliki waktu luang untuk sekadar bersantai.
Tidak hanya pameran dan diskusi, beberapa buruh rumahan juga diundang sebagai pemateri workshop membuat aksesori dari bahan kain dan rajutan pada Jumat (22/12). ”Mereka (buruh rumahan) sempat bilang: mbak-mbak enak, ya, siang begini bisa main. Rajut Kejut, kan, komunitas untuk bersenang-senang, sedangkan para buruh ini merajut untuk cari uang. Sama-sama tulang punggung. Hanya beda masalah sudut pandang,” kata Harjuni Rochajati, penggagas Rajut Kejut.
Dalam workshop itu, buruh rumahan seperti Yeyen dan Murika yang berasal dari Kampung Cibelendok, Sukabumi, membagikan ilmu cara membuat aksesori yang biasa mereka kerjakan. Selain membuat aksesori bros, Yeyen dan Murika biasa menerima jahitan dari penyalur baju bermerek di Jakarta. Kali ini, mereka menularkan keterampilan kepada para perempuan perupa, seperti pelukis Jayu Julie dan seniman grafis Anita Bonit.
Jayu ataupun Anita terperangah ketika mengetahui bahwa untuk membuat satu bros, para ibu seperti Yeyen dan Murika hanya diupah Rp 50 oleh pabrik. Padahal, baik Jayu maupun Anita membutuhkan setidaknya satu jam untuk merampungkan satu aksesori bros. Upah mereka untuk pekerjaan menjahit pun tidak jauh lebih baik, yaitu Rp 3.000-Rp 7.000 untuk per helai baju.
”Perempuan dan industri kreatif sangat dekat. Ketika melukis, biasanya saya selalu menyoroti sosok perempuan. Saya selalu tertarik dengan nasib perempuan,” kata Jayu yang baru saja terlibat dalam pameran lukisan tentang perempuan yang mendobrak tirani di era kemerdekaan.
Anita, yang juga bergabung dalam komunitas Grafis Huru Hara dan menjadi satu-satunya perempuan di komunitas itu, pun cenderung berkarya dengan menampilkan sosok perempuan. Sebagai perempuan, sosok perempuan lain menjadi sesuatu yang paling dekat dan asyik untuk digarap menjadi sebuah karya seni visual.
Dominasi perempuan
Pesona perempuan sebagai bahan bakar karya pula yang menarik anggota Komunitas Buka Warung untuk terlibat meneliti tentang buruh pabrik perempuan di Bogor, Jawa Barat. Dari kacamata anggotanya yang semuanya anak muda, Buka Warung melihat sisi lain dari buruh perempuan. Mereka tertarik melihat seluk-beluk kehidupan buruh pabrik dan merespons bagaimana kebahagiaan diperoleh perempuan buruh pabrik dalam keseharian.
Lewat karya yang dipajang di lantai dua, Buka Warung, yang merupakan kelompok seniman yang terdiri dari 15 perempuan muda, memperlihatkan siasat hidup perempuan dalam berkeluarga dan bekerja dalam konteks hari ini. Hasil wawancara dan observasi dengan perempuan buruh pabrik diilustrasikan dalam bentuk gambar. Karya anggota komunitas ini yang menyerupai curhatan para buruh pabrik ditempel di dinding.
Anggota Buka Warung, Shelda, misalnya, membuat gambar visual para buruh pabrik dengan tulisan: bekerja diiringi doa hingga menuliskan tips mengatasi bosan ala buruh pabrik. Lain lagi karya Eno yang menuangkan tentang betapa pedulinya para buruh pabrik dengan detail penampilan dengan membuat poster kontes kecantikan. ”Kalau karakter karyanya memang cewek banget dengan warna-warna yang meledak karena kita masih muda juga. Jadi kelihatan seger,” kata Eno.
Data Badan Pusat Statistik pada Februari 2017 menunjukkan tenaga kerja di sektor ekonomi informal memang didominasi oleh perempuan. Tercatat perempuan yang bekerja di sektor informal sebesar 63,48 persen. Meski demikian, persoalan yang dihadapi buruh perempuan tidak lantas berkurang, antara lain kesenjangan upah, hak-hak normatif seperti cuti haid, dan hak maternitas yang belum terpenuhi, hingga permasalahan kekerasan seksual.
Kurator Angga Wijaya menyebut, sejak zaman kolonialisme, perempuan cenderung dipajang sebagai obyek kecantikan seperti dalam lukisan mooi inde: Hindia yang indah. Basoeki Abdullah bahkan pernah menyatakan bahwa perempuan itu lebih cocok dilukis bukan sebagai pelukis. Pernyataan yang selain mengagumi tubuh perempuan sebagai keindahan, tetapi juga sindiran terhadap perempuan untuk tidak perlu melompati pagar estetika tubuh untuk mengungkapkan gagasan. Perempuan diartikan lebih cocok sebagai obyek, bukan sebagai subyek pencipta karya.