Berevolusi di Zaman ”Now”
Ia baru mau pergi ke luar negeri jika diundang bersama komunitasnya. Bersama Jogja Hip Hop Foundation, misalnya, ia baru mau berangkat beberapa kali ke New York atau Singapura.
”Sampai sekarang ada yang ngajak ke London untuk off-air sendiri, jarang aku ambil. Kalau rombongan atau bareng komunitas, banyak teman, baru aku mau. Aku banyak ditololin ama teman-teman. Kalau sendirian diundangnya, banyak peluang yang aku buang,” tuturnya.
Bagi Soimah, menjadi pesinden yang menasional sudah menjadi berkah yang sangat disyukurinya. Ukuran suksesnya, jika bisa membahagiakan keluarga besarnya. Kebahagiaan ini menjadi tujuan utama setelah lika-liku perjuangan panjangnya sebagai pesinden yang memulai karier di daerah, tepatnya di
Yogyakarta.
Kala itu, sebagai sinden di daerah, Soimah dituntut harus bisa segala aliran musik, seperti campursari dan dangdut. Jika sedang menyanyi campursari, Soimah yang memakai kain dan sanggul harus berdiri dan dicampur dengan penyanyi dangdut yang seksi. Jika bergoyang, paling-paling hanya berdiri dan bergoyang sedikit.
”Karena pakai sanggul dan kain enggak dapat sambutan. Malah dapat sorakan. Enggak ada goyange...,” kata Soimah yang menimba ilmu di Institut Seni Indonesia (ISI) Yogyakarta.
Beberapa kali tampil dan mendapat cemoohan, Soimah harus super-kreatif. Namun, dia tak mau ikut-ikutan dandan seksi dengan goyangan seksi. Ia ingin tetap berpakaian sinden, tetapi dapat sambutan sama dengan penyanyi lain.
”Akhirnya aku coba dengan agak menggila. Goyang, tapi bukan goyang seksi, tapi goyangan yang menggila. Kainnya aku naikindikit sambil bercanda. Lha piye tah, kayakngene wae? Dari situ ada sambutan dari mereka. Bahkan, di setiap acara, mereka bilang, kalau enggak ada Soimah, ya enggak mau,” ujarnya.
Setelah mampu berinovasi dengan cara yang disebutnya sinden didangdutin dan dangdut disindenin, Soimah mulai menjadi primadona. Ia juga lantas berkreasi dengan melontarkan candaan, goyangan ringan yang bisa menuai tawa, serta cara ngomong yang lebih akrab dengan penonton. Bayarannya kala itu pun melonjak hingga paling besar
Rp 5 juta di Yogyakarta.
Tak hanya bersinden atau berdangdut, Soimah juga mulai aktif dalam beragam komunitas seni di Yogyakarta, seperti komunitas ketoprak, Acappella Mataraman, sanggar tari Bagong Kussudiardja, Orkes Sinten Remen, hingga kelompok musik Kua Etnika. Ia sengaja nyemplung ke beragam komunitas untuk terus belajar.
Kini, setelah lebih banyak beredar di layar kaca dan menjadi bagian dari industri populer di televisi, Soimah masih memendam impian untuk memajukan dunia sinden. Ia ingin membuka kursus gratis bagi sinden-sinden berbakat. ”Tapi, aku enggak mau muluk-muluk. Pelan-pelan,” ujarnya.
Mendarah daging
Serupa dengan Soimah, Silir Pujiwati (39), anak petani tembakau asal Telogowero di lereng Gunung Sindoro, Temanggung, Jawa Tengah, itu juga memilih meninggalkan karier sebagai pesinden tradisional yang sebelumnya banyak tampil di pergelaran wayang kulit. Terakhir, ia nyinden semalam suntuk pada tahun 2001 ketika masih menjadi pesinden yang pentas dari gunung ke gunung di Wonosobo, Temanggung, hingga Gunung Kidul dan Kulon Progo.
”Saya sekarang sibuknya lagi pentas biasa. Mau ngeluarin karya baru. Sudah ada simpanan sembilan repertoar, tinggal menuangkan saja. Lagunya etnik. Ada lagu Jawa, Banyuwangi, Melayu. Saya senang musik etnik. Cengkok sindennya masih ada. Itu enggak bakal saya lepas. Bekal saya sudah mendarah daging. Mau di mana pun, rasa Jawa-nya tetap kental. Sudah jadi identitas,” paparnya.
Sudah lama tak lagi nyinden di wayang semalam suntuk menjadi pilihan karena aliran musik yang digelutinya sekarang lebih mengarah ke etnik kontemporer. ”Musik yang saya lakoni sekarang tidak di situ. Sinden tetap saya pegang, tapi kalau untuk wayang sudah enggak saya lakoni karena masalah kesehatan juga. Stamina harus superkuat. Dari jam delapan malam sampai habis subuh, pakai kebaya, hanya duduk kena angin. Dulu sangat enjoy, menikmati,” ujarnya.
Mengusung pilihan musik kontemporer yang bernuansa etnik, Silir pun akhirnya tak lagi hanya menjadi pesinden daerah. Ia melanglang buana tampil di banyak festival musik mancanegara di Korea Selatan, Thailand, Malaysia, Amerika Serikat, Polandia, dan Australia. Di tiap negara, penontonnya biasanya sangat menyukai pertunjukan musik tradisional.
”Kita punya pasar masing-masing. Yang bertahan di tradisi pun punya pengagumnya. Transformasi diperlukan bagi orang yang pengin tidak berkutat di satu sisi yang tradisi banget. Saya pun sering kangen banget dengar uyon-uyon asli. Ya, saya sempatin untuk mendengarkan dan rasanya enak sekali,” ujar Silir.
Menurut dia, butuh proses panjang untuk mendalami seni kerawitan yang dipelajarinya di bangku sekolah menengah atas dan kuliah. Dari awalnya menjadi pesinden, ia kemudian terjun menjadi penyanyi campursari hingga belajar beragam musik ketika bergabung dengan Orkes Keroncong Sinten Remen hingga komunitas Kua Etnika.
”Proses bermusik saya semakin berbeda. Tapi, saya punya tradisi Jawa yang enggak bakal dihilangkan meski sudah lakoni yang lain. Saya nyaman di etnik,” ujarnya. Suara merdu Silir, antara lain, bisa dinikmati di salah satu lagu milik Bonita & the Hus Band berjudul ”Tekad Ku Ikhlas”.
Beralih
Merasa menjual suara, namun kurang cakap jika harus diminta berimprovisasi ikut serta dalam dagelan, membuat Peni Candra Rini (34) bergeser menjadi komposer. Namun, dunia sinden tidak benar-benar ditinggalkan.
Sinden dan seni tradisi menjadi dasar Peni dalam membuat komposisi musik. Saat membuat komposisi, ia tahu komposisi seperti apa yang bisa menonjolkan kekuatan suara. Peni pun sering menyanyikan sendiri komposisi-komposisi musik ciptaannya. Itulah mengapa Peni yang baru saja ambil bagian di film Setan Jawa garapan Garin Nugroho dan mendapat sambutan luar biasa di banyak negara itu kini lebih suka disebut sebagai komposer.
Perjalanannya sebagai komposer bermula saat dia kuliah di ISI Surakarta. Dari sana, Peni bertemu tokoh-tokoh musik yang lantas memperkenalkannya pada dunia penciptaan musik. Dukungan sang pacar yang kemudian menjadi suaminya membuat Peni memberanikan diri beralih ke dunia komposisi musik.
”Nyinden mulai saya kurangi sedikit demi sedikit, hanya pas akhir pekan saja. Baru total turun panggung ketika kuliah S-2,” kata Peni yang kini juga menjadi dosen di almamaternya.
Berbekal tabungannya semasa nyinden, Peni mulai konsentrasi membuat komposisi. Tahun 2008, ia mulai mendapat proyek musik. Hingga kini, komposisi yang ia buat telah membawanya singgah ke negara-negara di banyak benua. ”Bukan keputusan mudah saat itu, apalagi untuk sinden perempuan yang lagi peye (payu atau laris),” kata Peni.
Menjadi sinden, menurut dia, cukup dihormati kedudukannya di tengah masyarakat, terutama yang paham seni tradisi. Namun, kehidupan menjadi sinden tidak pernah mudah. Di atas panggung harus siap menahan kencing karena tidak mungkin bolak-balik naik-turun panggung. Belum lagi jika harus nyinden ke luar kota, bisa tidak istirahat berhari-hari.
”Kalau saya harus nyinden ke Surabaya, malam naik bus, sampai sana pagi langsung latihan. Malamnya nyinden, paginya pulang ke Solo. Relatif dua hari enggak istirahat. Saya pikir kalau tiap hari begini, lama-lama bisa remuk badan. Kalau saya membuat komposisi, istilahnya saya kerja sekali bisa menghidupi setahun,” ungkap Peni yang lahir di kampung nelayan di Desa Ngentrong, Kecamatan Campurdarat, Kabupaten Tulungagung, Jawa Timur.
Kini, meski tak lagi aktif menjadi sinden, Peni tetap tak bisa melepaskan ikatan dengan profesi lamanya itu. Dia kerap prihatin melihat perkembangan sejumlah sinden yang dinilainya kebablasan. Dalam pertunjukan di televisi, misalnya, sinden dalam pakaian kebayanya harus guling-gulingan demi menarik penonton. Atau, sinden diminta dalang untuk berdiri di panggung dan menyanyi dangdutan.
”Itu melecehkan sinden dan seni tradisi. Menarik minat masyarakat boleh, tapi jangan dengan cara merendahkan seni tradisi. Banyak kreativitas lain yang bisa dilakukan. Seni kontemporer adalah salah satu jalannya. Di kampus, saya juga berpesan kepada mahasiswa saya, jangan pernah ngedegne (meminta berdiri) sinden di panggung,” katanya.
Jembatan
Di tengah derasnya arus informasi dunia modern, menurut pesinden Sruti Respati, ada dua tanggung jawab yang dipikul pelaku seni tradisional seperti dirinya. Pertama, terus melestarikan bentuk seni tradisional yang sudah ada sesuai pakemnya. Kedua, mengemas seni tradisional itu dalam bentuk yang diterima generasi sekarang.
”Saya tetap menjalani kegiatan berkesenian yang asli. Lingkupnya lebih kecil. Penikmatnya kalangan tertentu saja,” ujarnya. Dia lebih banyak tampil dalam kelenengan atau pertunjukan gamelan Jawa tanpa wayang. Kadang-kadang dia juga masih ikut nyinden di pergelaran wayang.
Di sisi lain, Sruti ambil bagian dalam Opera van Java, acara hiburan di televisi yang mengemas pertunjukan wayang orang dengan dalang dan sinden, tetapi dengan cita rasa lebih modern. Dalam acara itu, para sinden menyanyikan lagu-lagu pop dengan cengkok sinden yang khas.
Sruti bersedia ikut serta karena ingin mengambil momentum untuk merangkul para penikmat industri pop. Menurut dia, jumlah penikmat industri pop ini lingkupnya lebih luas. Mereka juga tidak begitu saja bisa ditarik untuk menikmati seni tradisional.
”Perlu kemasan baru agar bentuk seni tradisi itu minimal mereka lirik. Setelah itu, siapa tahu mereka ingin tahu lebih jauh, lalu menikmatinya. Dengan cara itu, saya bisa sedikit memberi pengaruh. Mereka bisa melihat sinden yang masih bersanggul, berkebaya, cengkoknya pun asli, di tengah gaya yang populer,” ujar Sruti.
Belum lama ini, Sruti juga merilis album berisi tembang-tembang karya Nartosabdo. Dia sengaja memilih karya yang kurang populer, seperti ”Ojo Ngece”, ”Dara Muluk”, dan ”Ngunda Layangan”. Tembang-tembang itu digarap dengan aransemen zaman now, berkolaborasi dengan pemain bas Bintang Indrianto.
Sebenarnya Sruti melihat minat anak-anak generasi sekarang terhadap seni tradisional cukup menggembirakan. Setidaknya itu yang dia lihat di Solo, kota tempat tinggalnya. Anak-anak muda itu memandang seni tradisional sebagai karya klasik yang agung dan bernilai tinggi, bukan sekadar sesuatu yang kuno dan tidak menarik.
”Namun, kita perlu memberi pilihan kepada mereka. Yang klasik tetap ada, tetapi kemasan kekinian pun ada. Kemasan kekinian itu ramah bagi telinga, rasa, dan emosi mereka. Dengan begitu, kemasan kekinian seni tradisional bisa menjadi jembatan,” katanya.
Sruti berharap langkah yang diambilnya ini bisa menjadi inspirasi bagi generasi sekarang untuk mengapresiasi budaya sendiri. Melalui sinden di Opera van Java dan album tembang Nartosabdo, dia ingin masyarakat dalam negeri menghargai budaya sendiri. ”PR (pekerjaan rumah) kita justru masyarakat kita sendiri,” katanya.
(WKM/EKI/FRO/DOE)