Cita Rasa Seabad Lampau
”Resep-resep dalam buku ini yang akan kita pakai. Banyak resep tahun 1915 ini bisa dikatakan sudah punah dan kita mau mencicipinya lagi,” ujar Beng dengan mata berbinar. Resep-resep dalam buku itu dihimpun Lie Tek Long dengan bantuan nyonya Belanda dan Tionghoa serta juru masak Betawi.
Soal bahasa yang jauh berbeda dengan saat ini tak ayal membuat pening. Pada sampul buku itu, misalnya, tertulis ”Saban roepa Tjampoerannja dan Boemboenya dari ini masakan soeda di kira banjaknya, serta masaknja dan kerdjainnja (matengin) ada di toetoerken satoe per satoe dengen tegas betoel”.
Vanda Hanafiah (31) yang bertugas sebagai juru masak tertawa ketika menceritakan kebingungannya saat membaca resep-resep itu. ”Ada tulisan ’obi-olanda’, dalam resep masakan yang disebut ’dop’ biasa. Saya googling (cari di internet) enggak dapat,” katanya.
Setelah bertanya kepada pakar kuliner, Vanda baru tahu bahwa obi-olanda adalah ubi belanda, sebutan untuk kentang pada masa silam. ”Ada lagi, menu ajem poekang. Ajem itu ayam. Poekang sampai sekarang saya enggak tahu artinya. Mungkin buru-buru seperti lintang pukang,” ucapnya sambil tersenyum.
Di depan para undangan, Vanda mendemonstrasikan cara memasak ajem poekang. Pendiri Aku Cinta Makanan Indonesia (ACMI), Santhi Serad, juga tak mau kalah. Bersama Ade Putri Paramadita dari Humas ACMI, Santhi turut ambil bagian dengan memasak sambel majoor, sambel eng hiong, dan sambel nji enah.
”Sepertinya nama-nama sambal itu berasal dari pembuatnya. Sambel majoor bisa jadi pembuatnya berpangkat mayor. Ada juga sambel baboe, mungkin dibuat seorang babu,” kata Santhi. Tak jauh berbeda dengan saat ini, sambal zaman dulu punya kesamaan bahan, antara lain terasi, udang matang, dan santan.
Wangi masakan pun menyeruak ke seantero ruang tersebut. Spontan air liur para tamu terbit. Mereka tak sabar untuk segera mengecap hidangan yang sedang dimasak. Di ruang tamu yang disulap sementara menjadi dapur kecil dengan sejumlah meja dan kursi itu, Santhi dan Ade menunjukkan kepiawaiannya.
Sesekali Santhi menjelaskan cara memasak diselingi gurauan. Setelah jadi, masakan yang dihidangkan tak pelak lagi langsung diserbu sejumlah tamu. Mereka maju untuk mengambil seporsi kecil sajian atau sekadar memotretnya dengan kamera telepon seluler.
Demonstrasi itu dilakukan hanya untuk menunjukkan cara memasak beberapa hidangan. Sementara sajian komplet sudah dihidangkan di ruang makan. ”Silakan Bapak dan Ibu mencicipi makanan yang sudah disiapkan,” ujar Santhi yang direspons para tamu dengan berbondong-bondong menuju meja prasmanan.
Tak jauh dengan aroma yang menggugah selera, begitu pula masakannya. Ajem poekang, misalnya, terasa sedap dengan campuran bumbu terasi, kemiri, lengkuas, dan bawang merah. Keunikan ajem poekang adalah rasa sedikit asam dari belimbing wuluh.
Rasa itu tentu berbeda dengan jeruk nipis, cuka, atau buah asam. Gurihnya ajem poekang semakin terasa dengan sentuhan santan. Kuah yang mengental serupa saus menjadikan ajem poekang memiliki basis santan yang khas jika dibandingkan dengan opor.
Aneka sambal
Sementara beragam sambal, meski agaknya dianggap sebagai pelengkap saja, mampu menimbulkan cita rasa yang mengejutkan. Sambel majoor, misalnya, terlihat layaknya saus salad. Kemiripan itu pula terkandung dalam teksturnya, namun dengan pedas yang sesekali menyengat lidah.
Sensasi yang ditimbulkan sambel baboe lain lagi. Rupa makanan itu mirip sambal terasi, namun dengan asam yang lebih mencuat. Tak heran karena gandaria adalah salah satu bahan sambel baboe. Bahan-bahan sambel baboe lain dipadu kecutnya gandaria sekilas juga mengingatkan pada rasa rujak buni.
Rata-rata bermacam hidangan pendongkrak nafsu makan itu tak sepedas sambal saat ini. Sambel gentlemen malah terasa manis, bercampur potongan-potongan daging sapi. Selain itu, serundeng dan ebi paling utama terasa saat menikmati sambel boeras betawi.
Lauk-pauk itu menjadi pendamping nasi jagung, nasi pandan, dan nasi putih. Selain itu, tersedia masakan-masakan leluhur yang masih cukup mudah ditemukan, seperti laksa, daging kebuli betawi, dan sayur pada mara. Hidangan penutup berupa cente manis juga disuguhkan.
Bahan-bahan makanan pada masa lebih dari seabad silam yang tak sevariatif saat ini sungguh membuat rasanya lebih natural. Nikmatnya masakan kuno itu karena bumbu-bumbu yang alami tanpa penyedap rasa berlebihan. Bahkan, banyak resep yang tak menggunakan vetsin.
Menurut Andra Hanafiah, pemilik AL’S Catering yang menyelenggarakan Indische Keuken, masakan-masakan itu banyak menggunakan bahan dari udang, seperti terasi, udang rebon, atau ebi. Wajar apabila suguhan sebenarnya sudah gurih tanpa perlu penyedap rasa.
”Menariknya, ada resep dengan tulisan ’taruh sedikit vetsin saat memasak’. Jadi, vetsin dari dulu sudah digunakan,” ujarnya. Makanan-makanan yang dimasak sudah sedikit disesuaikan. Namun, para juru masak hanya menambahkan gula dan kecap dengan takaran yang sangat kecil.
”Sudah, itu saja tambahannya. Kalau tidak, rasa makanan umumnya hanya asin dan asam. Meski dilakukan modifikasi, rasa makanan tak jauh berbeda dengan aslinya,” katanya. Andra mengatakan, pihaknya sangat senang memasak makanan dengan resep tua untuk pertama kalinya.
Acara yang diselenggarakan AL’S Catering itu digagas komunitas Jalansutra, ACMI, serta Museum Pustaka Tionghoa Peranakan. ”Kami sangat mendukung pelestarian menu antik. Tentu kami antusias jika lain waktu bisa mencoba resep-resep kuno lain,” kata Andra.
Menurut anggota Jalansutra, Harry Nazarudin, naskah acuan untuk membuat makanan-makanan itu merupakan resep tertua yang dapat ditemukan. ”Maka, resep dari Museum Pustaka Tionghoa Peranakan itu yang digunakan. Lalu, kami mengontak ACMI dan AL’S Catering untuk menyajikan hidangan itu,” katanya.
Pendiri ACMI, William Wongso, yang ikut hadir pada acara itu mengatakan, jika diamati, sambal-sambal, seperti sambel majoor, eng hiong, dan nji enah, bisa dianggap lauk. ”Kalau interpretasi sambal sekarang, itu yang diulek,” kata William.