Hunan
Provinsi Hunan, China, boleh berbangga dengan kesuksesan film fiksi ilmiah ”Avatar” (2009) menjadi film penghasil pendapatan terbesar sepanjang masa. Sebab, latar gunung-gunung melayang hasil kreasi digital di film itu terinspirasi dari pemandangan yang nyata, yaitu pilar-pilar batuan kuarsa yang menjulang di Zhangjiajie, salah satu kota di Hunan. Namun, pemandangan alam bukan satu-satunya penggoda wisatawan. Hunan juga menawarkan atraksi warisan budaya dan seni yang tidak kalah mengundang decak kagum ketika kami berkunjung pada pertengahan November 2017.
Pukul 12.30-13.00 Lembah Hetian
Tiba di Lembah Hetian, Distrik Wulingyuan, kota Zhangjiajie. Kami baru saja menempuh perjalanan darat sejauh 150 kilometer selama dua jam dari kota Changde. Seorang pemandu wisata langsung menyambut kami dan mengajak berkeliling area tersebut, menyaksikan aktivitas tradisional warga etnis Tujia, salah satu etnis minoritas di China. Di kota Zhangjiajie, 33 etnis minoritas China menjadi penduduk mayoritas, mencakup 77,2 persen dari total populasi.
Wisatawan bisa melihat dan ikut melakukan beragam aktivitas di Lembah Hetian, mulai dari menumbuk adonan beras ketan untuk membuat kue tradisional, menggiling kedelai untuk bahan baku tahu, menumbuk bahan-bahan menjadi minyak sayur, berkuda, dan memanah. Suasana amat mendukung karena cuaca di sana senantiasa sejuk dan rumah-rumah yang dibangun mengikuti rancangan bangunan tradisional.
Kunjungan ditutup dengan makan siang di dalam goa. Jangan bayangkan seperti manusia goa yang diceritakan di buku sejarah. Di dalam goa, pengelola wisata menyusun meja-meja, kursi, dan penerangan layaknya restoran. Betul-betul cara unik untuk menikmati keindahan goa alam.
Pukul 20.30-22.00
Lepas pukul 20.00, kami diminta mengenakan jaket tebal sejak dari hotel karena setidaknya dalam satu setengah jam ke depan kami akan berada di luar ruang, yakni di Mount Tianmen Valley Grand Theater. Itu semua demi menyaksikan drama musikal romantis berjudulnya Siluman Rubah dan Penebang Kayu Jatuh Cinta di Gunung Tianmen. Drama ini bercerita tentang cinta terlarang antara siluman rubah dan laki-laki penebang kayu. Meski suhu sedang di angka 13 derajat celsius, para penonton bertahan karena takjub.
Pertunjukan ini semacam mewakili obsesi orang China terhadap kemegahan. Dibangun dengan investasi 120 juta yuan alias Rp 240 miliar, Mount Tianmen Valley Grand Theater merupakan tempat pertunjukan di alam terbuka yang berada di lembah sedalam 5 kilometer. Sebanyak 500 penampil menghibur para penonton. Di akhir pertunjukan, penonton dibuat terpukau dengan tumbuhnya jembatan dari dua tebing yang mengantar siluman rubah berpelukan dengan si penebang kayu di antara dua tebing itu.
Pukul 13.00-17.00 Wulingyuan
Saatnya memasuki Pandora, bulan eksoplanet yang dihuni kaum Na’vi di film Avatar. Tentu bukan secara harafiah. Pemandangan alam Wulingyuan di Zhangjiajie menjanjikan pesona yang mendekati gunung-gunung melayang Pandora. Puncak-puncak batuan kuarsa yang tinggi dan langsing memang menimbulkan kesan sedang berada di luar bumi.
Wulingyuan terentang seluas lebih dari 26.000 hektar, memiliki lebih dari 3.000 pilar batuan kuarsa, dan banyak di antaranya setinggi lebih dari 200 meter. Pada 1992, kawasan ini masuk daftar warisan dunia Organisasi Pendidikan, Ilmu Pengetahuan, dan Kebudayaan PBB (UNESCO). Selain kemegahan alami, ada juga kemegahan buatan berupa lift luar ruang dengan lintasan naik-turun setinggi 326 meter. Dari lift bernama Bailong Elevator—bailong berarti seratus naga, pengunjung bisa melihat pilar-pilar batuan mulai dari atas hingga bawah. Sungguh, China begitu obsesif dengan kemegahan.
Pukul 19.00-21.00
Setelah menikmati drama di luar ruang, kini saatnya menyaksikan pertunjukan di dalam gedung, di Charming Xiangxi Theatre, tidak jauh dari kawasan alam Wulingyuan. Pemikat utama di sini adalah nyanyian, tarian, dan atraksi akrobatik yang memukau. Ada tiga penampil saling bertumpu sambil berpegangan pada sebuah tangga dan tidak ada seorang pun memegangi di bawahnya. Ada yang bertumpu pada kepala temannya untuk melakukan handstand, ada juga yang menggigit uluran kain dari atas kemudian berputar-putar di udara.
Yang juga menarik, para penampil kebanyakan mengenakan pakaian tradisional etnis minoritas yang tinggal di Zhangjiajie. Sebagian kostum malah mirip dengan pakaian tradisional di Timur Tengah.
Pukul 14.00-22.00 Fenghuang
Kami harus kembali menempuh perjalanan darat yang panjang menuju destinasi lain. Setelah enam jam berlalu dan 200 kilometer jalan terlewati, kami tiba di kota tua Fenghuang (fenghuang berarti phoenix, burung api dalam legenda China). Keunikan kota kuno ini adalah rumah-rumah tradisional bertingkat yang tampak seakan bertumpuk di kedua tepi Sungai Tuo.
Bangunan-bangunan dengan langgam masa Dinasti Ming dan Qing terawat baik di kota berusia sekitar 300 tahun tersebut. Cara menikmati pemandangan bangunan klasik di kota ini beragam, mulai dari berjalan kaki mengikuti alur sungai hingga naik perahu menyusuri Sungai Tuo.
Pengalaman meresapi Fenghuang bakal lebih lengkap jika menyediakan waktu di sana hingga malam hari. Pasalnya, lampu-lampu yang menghiasi bangunan-bangunan di sana menjadikan Fenghuang lebih semarak saat langit gelap. Para wisatawan masih meramaikan gang-gang di kota ini, apalagi kios-kios cendera mata dan makanan ringan tradisional melayani hingga malam.
Sama seperti Zhangjiajie, mayoritas penghuni Fenghuang adalah etnis minoritas. Dari total penduduk 430.000 orang, sebanyak 240.000 atau 56,9 persen merupakan etnis Miao.