MES 56 Titian Seni Kontemporer
”Cinema Caravan” merujuk pada sebuah karavan untuk pemutaran sinema atau film yang dapat dipindah-pindah. Ini sepertinya sejalan dengan Ruang MES 56 yang sudah berpindah rumah kontrakan sebanyak empat kali selama 14 tahun berdiri.
Pada 2002, sekumpulan mahasiswa Institut Seni Indonesia (ISI) Yogyakarta, sebagian besar mengambil jurusan fotografi, mendirikan organisasi yang kemudian disebut Ruang MES 56. MES mengacu kata mes yang berarti pondokan.
Pada 2002, sekumpulan mahasiswa tersebut sebagian besar tinggal di satu pondokan atau rumah kos yang sama di Jalan Kol Sugiono Nomor 56, Yogyakarta. Meski nama Ruang MES 56 diresmikan pada 2002, aktivitas berkesenian yang berbasis seni fotografi bermula sejak 1994.
Dari situlah muncul deretan seniman Ruang MES 56 yang aktif berkarya dalam ranah seni kontemporer. Karya-karya itu dipamerkan tidak hanya di dalam negeri. Selain menggelar berbagai pameran di luar negeri, para seniman Ruang MES 56 kerap menjalani residensi dan eksperimentasi.
Ruang MES 56 melahirkan deretan nama seniman kontemporer, seperti Akiq Abdul Wahid, Angki Purbandono, Wimo Ambala Bayang, Abednego Trianto, Agan Harahap, Dito Yuwono, Edwin Roseno, Jim Allen Abel, Rangga Purbaya, dan Wok The Rock. Berbekal seni fotografi, mereka tidak terjebak secara teknik dengan melulu menggunakan kamera untuk membuat karya.
”Kami yang bergabung di sini tentu saja bekerja dan memiliki karya secara personal. Namun, di Ruang MES 56 kami bisa bekerja secara kolektif untuk memasuki dunia seni kontemporer dengan karya yang melibatkan dan memiliki dampak lebih luas,” kata Akiq Abdul Wahid, salah satu anggota Board Ruang MES 56, awal Januari 2018, di Yogyakarta.
Saat ini seniman Wok The Rock alias Woto Wibowo ditugasi sebagai Direktur Ruang MES 56. Semua aktivitas Ruang MES 56 yang dipimpin Wok The Rock selalu disampaikan kepada Board Ruang MES 56.
Pada 2005, rumah kos di Jalan Kol Sugiono 56 tidak bisa lagi disewa. Pada periode 2005-2006, Ruang MES 56 tidak memiliki ruang atau rumah tetap. Hingga kemudian menemukan rumah kontrakan di Nagan Lor, di kawasan Keraton Yogyakarta.
Pada 2006, terjadi gempa besar di Yogyakarta. Rumah untuk Ruang MES 56 rusak. Tidak ada korban jiwa. Dari peristiwa itu, Ruang MES 56 membuat proyek seni fotografi dengan melibatkan anak-anak korban gempa di 15 desa yang tersebar di Kecamatan Patuk, Plered, dan Imogiri di Kabupaten Bantul, Yogyakarta.
”Änak-anak memotret dan membukukan hasil jepretannya tentang sekolah, tempat bermain, dan rumah tinggal mereka yang terdampak gempa hingga setelah dibangun kembali,” kata Akiq.
Proyek membukukan foto hasil jepretan anak-anak korban gempa di Bantul itu kemudian disebut sebagai proyek Bangun dan Gembira. Karya ini sudah dipamerkan di dalam dan luar negeri. Selain karya foto, juga ada karya videonya.
Ruang MES 56 berpindah lagi. Pada 2012 sampai 2014, Ruang MES 56 berpindah ke Minggiran, Yogyakarta. Kemudian, sejak 2014 hingga sekarang berpindah di Jalan Mangkuyudan, tidak jauh dari rumah sebelumnya di Minggiran.
Ruang terbuka
Ruang MES 56 di Mangkuyudan memiliki ruang terbuka yang digunakan untuk nongkrong. Menurut Wok The Rock, di ruang terbuka itulah mereka saling bertukar pikiran, belajar, bermain, dan menggagas bersama yang akhirnya melahirkan berbagai karya kolektif Ruang MES 56.
”Seperti ketika kami membuat proyek seni kontemporer ’Alhamdulillah We Made It’ pada akhir 2016. Ketika itu, kami mendampingi para pengungsi dari Timur Tengah yang ada di Yogyakarta,” kata Wok The Rock.
Para seniman Ruang MES 56 memberikan pendampingan aktivitas menyablon, memotret, membuat video, dan membuat seni kolase bagi para pengungsi Timur Tengah yang berminat. Mereka berjumlah sekitar 50 orang yang berasal dari Afghanistan, Irak, Iran, Suriah, dan juga dari Asia, yaitu Myanmar.
Akiq mengatakan, secara tidak sengaja di seputaran Mangkuyudan ditemukan tempelan pamflet dari Australia yang menolak pengungsi dari Timur Tengah. Dari situ kemudian berkembang diskusi Ruang MES 56 untuk memamerkan di Australia tentang karya seni kontemporer terkait aktivitas para pengungsi Timur Tengah di Yogyakarta.
”Pada 2017, kami memamerkan karya-karya seni kontemporer yang melibatkan karya para pengungsi dari Timur Tengah yang mengungsi di Yogyakarta. Kami berpameran di Adelaide, Australia,” kata Wok The Rock.
Setelah dari Australia, Ruang MES 56 diminta memamerkan karya serupa di China hingga awal Januari 2018. Ternyata disambut negara lain, hingga berikutnya diminta memamerkannya di Seoul, Korea Selatan, dan Singapura.
”Berikutnya, juga diminta untuk dipamerkan di Jakarta,” kata Wok The Rock.
Dari ruang terbuka di Ruang MES 56 itulah mereka berdiskusi dan mengembangkan karya untuk dipamerkan di satu tempat ke tempat lainnya. Di situ ada kursi-kursi dan meja taman.
Ada sebuah bar atau dapur di pojok kiri dari ruang terbuka. Di depan bar itu ada sebuah teras untuk menyajikan makanan kecil dan minuman.
Ruang MES 56 memiliki program Cafe Society, di antaranya diisi kegiatan pemutaran film dokumenter. Film-film itu biasanya tidak mudah dijumpai di pasaran ataupun internet.
Ruang MES 56 memiliki ruang pemutaran film dengan kapasitas duduk hanya 10 sampai 15 orang. Pemutaran film setiap Selasa dan Jumat pukul 19.00 dan pukul 21.00. Ini yang sering mengundang banyak pengunjung.
Pengunjung yang tidak kebagian tempat duduk untuk menonton film biasanya nongkrong di bar. Mereka dapat menikmati sajian makanan kecil dan minum di bar itu.
Ruang MES 56 memiliki beberapa ruang lainnya yang difungsikan untuk galeri pameran karya seni, toko seni, dan ruang-ruang kerja lainnya, termasuk kamar gelap untuk praktik cuci cetak foto.
Seni fotografi menjadi basis aktivitas mereka. Akan tetapi, karya-karya seni mereka bertransformasi dengan memanfaatkan media-media seni baru, terutama video dan seni visual.
Akiq menunjukkan beberapa karya seni visual. Misalnya, foto diri para pahlawan nasional dengan raut muka yang babak belur.
”Melalui karya seperti ini, ingin menunjukkan betapa banyak pengorbanan para pahlawan kita yang gugur dalam perjuangannya,” kata Akiq.
Karya video hasil residensi Ruang MES 56 di Bangkok, Thailand, juga sangat menarik. Karya video itu diunggah di media sosial berjudul ”Tale of Two Countries : Elephant Stone”. Ruang MES 56 berhasil meniti seni kontemporer dan menghadirkannya kepada publik.