Pahit Manis Peran Rifnu
”Aku diminta Kang Wawan Sofwan untuk dramatic reading dengan Pak Jim. Banyak aktor yang ingin dramatic reading bareng Pak Jim, yang sudah bikin catatan penting di dunia teater Indonesia. Dan, hari ini aku yang terpilih. Menurutku, ini pengalaman yang gila-gilaan,” tuturnya.
Pengalaman itu dianggap Rifnu sebagai salah satu berkah dari prestasi sebagai Aktor Terbaik Festival Film Indonesia (FFI) 2017. Tak lama setelah membawa pulang tiga Piala Citra, banyak tawaran datang kepadanya untuk muncul dalam berbagai film. Bukan sebagai aktor utama, melainkan cameo.
”Yang penting Rifnu ada, ha-ha-ha,” katanya.
Dia yakin, para pembuat film tidak akan menghubunginya untuk main dalam film sembarangan. Dengan kemampuan akting yang sudah mendapat pengakuan secara nasional, tentu mereka ingin memaksimalkan kualitas film saat menggandeng Rifnu.
Melalui pencapaian di FFI, dia juga menjawab keraguan orang-orang di sekitarnya. Tak banyak di antara mereka yang tahu apa yang sebenarnya dia lakukan ketika bermain film. Tak sedikit pula yang penasaran seperti apa akting dia ketika bermain film. Orang-orang yang jarang bersentuhan dengannya, meskipun sama-sama terjun di dunia seni, mulai terbuka kepadanya.
”Banyak teman yang kalau mau nonton film perhitungannya macam-macam. Karena penasaran, akhirnya mereka mau masuk bioskop. Bertambah lagi penonton film kita jadinya,” kata Rifnu.
Efek-efek kecil semacam itu penting bagi Rifnu, terlebih ketika orang-orang di sekitarnya itu lebih mementingkan karya seseorang dibandingkan siapa orang tersebut. Setidaknya dia menjadi semakin percaya diri dalam melangkah ke depan.
Sebelumnya, Rifnu sering merasa kurang percaya diri atau sungkan atau kadang jaim ketika berhadapan dengan nama-nama besar di dunia seni pertunjukan. ”Misalnya berhadapan dengan Mas Nano (Riantiarno). Kita tahu, dia maestro. Aku enggak terlalu pede untuk ngobrol. Tiba-tiba dia datang, bilang ’Selamat, ya, saya sudah lihat karyamu’. Dia salah satu juri FFI. Aduh, itu rasanya kayak mau meledak,” katanya.
Dengan sekat yang cair seperti itu, sebagai pekerja seni, terbuka ruang yang lebih luas untuk wacana baru. Namun, dia menegaskan, semua itu bukan semata-mata karena piala, melainkan karena prestasi yang dia capai dengan kerja keras.
Satu tujuan
Rifnu adalah sedikit aktor film masa kini yang berangkat dari dunia teater. Seni peran sudah dia geluti sejak bocah dan terus menjadi keinginannya hingga dewasa. Dia ingin sekali kuliah di Institut Seni Indonesia (ISI) Yogyakarta, tetapi orangtuanya tidak memperbolehkan dia jauh-jauh dari rumah.
”Mereka tahu aku badung. Ngapain disekolahkan jauh-jauh. Di dekat-dekat saja bisa macam-macam, ha-ha-ha,” kata Rifnu mengenang.
Berbekal karya yang masuk 60 besar Festival Film Independen Indonesia, berangkatlah Rifnu ke Jakarta. Tujuannya hanya satu: main teater. Hanya tekad yang membuat dia bertahan karena dia tidak punya pekerjaan jelas, tidak bisa membayar sewa rumah kos, sampai diusir enam kali, kembali ”hidup” di Taman Ismail Marzuki, dan tidak makan empat hari sampai pingsan.
Rifnu bergabung di Teater Tanah Air di bawah asuhan Jose Rizal Manua. Berkat kemampuan aktingnya, dia dipercaya memainkan tiga peran.
”Waktu itu aku yakin sekali dengan kualitas yang aku punya. Tapi, ternyata ketika aku bicara dengan orang-orang, perbendaharaanku masih kurang sekali, terutama tentang dunia sastra. Dari situ, semua aku kejar dengan sungguh-sungguh,” ujarnya.
Dia berlatih dan mementaskan karya-karya Iwan Simatupang. Berhubung satu naskah memerlukan banyak referensi, mau tak mau dia banyak membaca. Beruntunglah dia tinggal bersama saudaranya yang kuliah di Institut Kesenian Jakarta (IKJ). Semua materi kuliah, bahan
ujian, apa pun yang dipelajari di IKJ, dia minta fotokopinya. ”Daripada aku kuliah, he-he-he,” kata Rifnu.
Semua tentang teater dia pelajari sendiri. Dia ikut semua lokakarya dari sejumlah kelompok teater. Dia bicara dengan para penggarap naskah untuk mengetahui isi kepala mereka. Lokakarya tari pun tak luput diikutinya. Dia berlatih fighting dengan mantan penata laga aktor Barry Prima. Dia belajar bersama seniman Tony Broer di Bandung, berlatih setiap hari dan tinggal di masjid. Latihan, latihan, dan latihan. Tak ada hal lain selain latihan.
Pada setiap tahap yang dijalani itu, Rifnu hanya berpikir soal prestasi. Saat mengikuti lokakarya harus ada prestasi. Saat membaca naskah drama atau referensi novel harus ada prestasi. Saat belajar menari harus berprestasi.
”Ya, makan enggak makan, sih, untuk mengejar itu. Pahit memang, tetapi ternyata terjawab,” ucapnya sembari tertawa.
Tidak ambil pusing
Ketika tanpa sengaja diminta untuk casting oleh Rudy Soedjarwo tahun 2004, dia melaluinya dengan mudah. Meskipun semula mengira dia hanya dikerjai untuk memerankan suatu adegan, rupanya tubuh, emosi, dan semua yang telah dipelajari keluar secara alami.
Prinsip Rifnu dalam berakting adalah jujur. Dia tidak terlalu memikirkan apa yang akan diperankan karena semua sudah ada di sekitarnya. Buahnya, tawaran untuk bermain film seakan mengalir. Hingga kini setidaknya ada sekitar 40 judul film yang sudah dia bintangi, baik sebagai pemeran pendukung maupun pemeran utama.
Satu hal yang terus melecutnya untuk terus meraih prestasi, yakni sang ayah yang terus memercayainya. Semua orang di keluarganya ibarat sudah menyerah pada kebandelan Rifnu, tetapi ayahnya percaya pada apa yang diperbuatnya. Segala kepahitan hidup yang dijalani tidak pernah diceritakan kepada ayahnya.
”Papa telepon menjelang Lebaran. ’Gimana kabar?’ ’Oi, baik dong, Pa.’ Padahal, saat itu aku kelaparan karena beberapa hari tidak makan. ’Lebaran jadi pulang?’ ’Nanti dululah, Pa. Kan, masih proses.’ Dia lalu menyanyi. ’Aku pulang, enggak ada uang, enggak jadi pulang....’ Aku tertawa sambil menangis,” tuturnya.
Rifnu tentu tak ingin berhenti pada pencapaian di FFI 2017. Selain berkah, Piala Citra itu justru menjadi cambuk baginya saat melangkah ke depan. Harus ada yang lebih dahsyat dari pencapaian sekarang. Dia masih mencari peran ekstrem yang benar-benar menantang keahliannya. Dia juga ingin menjajaki dunia penyutradaraan.
”Mungkin orang tidak peduli Rifnu itu siapa, tapi diri sendiri ini, nih,” katanya. Matanya menerawang, menatap ke kejauhan.