Musisi Ayu Laksmi selalu berevolusi. Jika sebelumnya dikenal sebagai bagian dari gerakan New Age dengan lagu-lagunya yang berbau spiritual, belakangan ia populer sebagai ”pengabdi setan”. Di mana pun kini ia berada, para penggemarnya senantiasa memanggilnya sebagai ”Ibu”, tokoh seram dalam film ”Pengabdi Setan” besutan sutradara Joko Anwar.
Rumah Ibu, eh, Ayu di kawasan Pemogan, Denpasar Selatan, rimbun oleh bambu. Pucuk-pucuknya bahkan melewati pagar dan menjulur ke rumah tetangga. Teras rumah yang berlantai terakota hampir tertutup oleh berbagai rambatan pepohonan. Semuanya dibiarkan tumbuh natural sekehendak musim. Beberapa anggrek pun tampak meliar dan menyelipkan diri di antara celah-celah dahan.
Jika malam tiba dan angin berembus, pucuk-pucuk pohonan bergoyang, lalu memantulkan bayang-bayang di atap rumah. Selalu seperti ada yang memanggil-manggil sambil meliuk-liukkan tubuh dan menari....
Ayu Laksmi menikmati itu sebagai kedekatannya pada semesta. Sering kali ia duduk berbingkai jendela, lalu memandang kejauhan langit. Tangannya tak berhenti mencorat-coret kertas. Kadang lahir sebagai lirik, tetapi tak jarang berupa rentetan nada. Oleh sebab itulah di dekat sofa, di mana ia selalu duduk terdapat sebuah piano.
”Nada-nada yang tiba-tiba datang, saya langsung mainkan di piano dan direkam…,” cerita Ayu, Minggu (21/1/2018). Siang itu, ia sedang menerima beberapa tamu istimewa: sutradara Wawan Shofwan dan penyair Warih Wisatsana. Ketiganya, konon, sedang merancang sebuah pertunjukan.
Sebelum terlibat perbincangan yang amat serius, Ayu spontan menawarkan makan siang. Agenda itu terjadi begitu saja di teras. Segalanya serba memungkinkan karena ruang-ruang di rumah ini bisa berubah setiap waktu, tergantung kebutuhan penghuninya.
Teras bisa jadi ruang makan beramai-ramai, dapur utama bisa jadi studio lukis. Bahkan, ruang di mana Ayu selalu memainkan alat musik tradisional bernama penting, sebelumnya tak lain adalah kamar asisten rumah tangganya.
”Karena asistennya berhenti, saya jebol dan fungsikan saja sebagai ruang bermusik,” kata perempuan kelahiran Singaraja ini.
Di ruangan ini juga terdapat kibor dan sebuah cermin. Ayu selalu duduk menyisir rambutnya yang tergerai menghadap cermin. Mungkin ia sudah melakukannya berjuta-juta kali. Sejak rumah itu ia bangun dan huni tahun 1995.
Mungkin secara diam-diam cermin itu juga merekam segala wujud ekspresi Ayu Laksmi, lalu menyimpannya sebagai keping-keping biografi.
Di sini sepanjang hari senantiasa merebak aroma harum. Di sudut-sudut ruangan Ayu suka menyalakan dupa. Asap dupa lalu mengalir ke berbagai celah ruang di rumah yang terkesan terbuka ini.
”Ini hanya semacam cara memberikan sentuhan terapik saja,” kata Ayu. Selain menebar aroma spiritual, asap dupa juga sering kali dipakai sebagai tuntunan menuju kesehatan jiwa.
Setelah teras, sebelum menuju ruang dalam, terdapat bilik kecil. Di sini Ayu menyimpan benda-benda tua yang memiliki nilai nostalgia. Ada sebuah lemari kecil berkaca, di dalamnya tersimpan berbagai kenangan Ayu semasa menjadi penyanyi di kapal pesiar yang melayari Miami, Meksiko, Honduras, Kosta Rika, dan Panama. ”Waktu itu saya seperti gila. Tak mudah menyanyi di atas kapal pesiar, terkadang menyanyi sambil mabuk laut, ha-ha-ha…” kenangnya.
Bantuan semesta
Ayu membangun rumah seperti menggubah sebuah lagu. Saat para tukangnya menelepon bahwa semen habis, ia sedang di depan toko material bangunan. Ketika ia masuk, pemilik toko tiba-tiba berkata, ”Anda mirip guru saya.”
Ayu hanya bisa diam karena kaget, tetapi kemudian ia berkata, ”Siapa dia?”
”Dulu, guru itu kalau mengajar selalu bawa gitar,” kata pemilik toko.
Mereka berdua menjadi akrab ketika sama-sama tahu bahwa guru yang dimaksud tak lain adalah ayahanda Ayu Laksmi. Ujungnya, kata Ayu, ia diberi keringanan membayar bahan-bahan bangunan. ”Seperti bantuan semesta,” tambahnya.
Tepatnya rumah berlantai dua yang berdiri di atas lahan seluas 2,5 are itu dibangun sedikit demi sedikit. Bahkan ketika benar-benar berdiri, Ayu tak segan-segan mengalihfungsikan sebuah ruangan sesuai kebutuhannya.
Rupanya itulah soalnya mengapa pintu utamanya miring ke arah timur laut. ”Saya dapat masukan, konon rumah yang baik itu pintu masuk utamanya menghadap ke timur. Jadi pintu yang tadinya menghadap ke utara, saya ubah jadi agak miring,” kata Ayu.
Ketika ia merasa memiliki kebutuhan berekspresi dengan kuas, cat, dan kanvas, seketika itu pula dapur utamanya ”digubah” menjadi sebuah studio. Kini di studio itu sudah tergantung banyak lukisan, hampir semuanya tentang laku spiritual.
Ketika menciptakan sebuah komposisi, Ayu mengandaikan seperti seseorang yang sedang memasuki kibasan permainan tali (skipping). Ada tangan (Semesta) yang menggerakkan tali, dan Ayu tinggal menyesuaikan waktu dan tempo untuk memasukinya. ”Lalu ikut melompat seirama. Begitulah nada itu tercipta,” katanya.
Kini lantai dua rumah di mana Ayu biasa tidur sedang ia gubah kembali. Ia ingin mendapatkan suasana baru yang lebih kreatif dan produktif, bahkan saat tertidur. Ruang kostum yang bersebelahan dengan kamar tidur pun tak luput dari perombakan. ”Nada-nadanya mulai suram, saya harus aransemen ulang, ha-ha-ha…,” katanya.
Saat-saat ”penggubahan” itu terjadi, Ayu menjadi manusia nomaden. Apalagi kini hari-harinya lebih banyak ia habiskan di Jakarta untuk berbagai aktivitas berkesenian.
”Kalau misalnya pulang, tidur di mana?”
”Saya biasa tidur di sofa. Serius…,” kata Ayu meyakinkan. Ia memang terkesan tak main-main. Rumah baginya bukan semata ruang untuk istirahat, tetapi terutama ruang untuk menampung hasrat kreativitasnya yang meledak-ledak.