Jadi Petani Kopi Itu ”Cool”
Anak muda ramai-ramai berbisnis kopi. Kedai kopi muncul di mana-mana. ”Barista” dan ”roaster” menjadi profesi yang atraktif. Lantas, anak muda mana yang mau jadi petani kopi?
Yanlani (25) terlihat kikuk melayani seorang tamunya di kedai Anomali Coffee di bilangan Senopati, Jakarta Selatan. Siang itu adalah hari kedua pemuda Papua ini magang di kedai. Bagaimana tak kikuk ketika seorang tamu tiba-tiba mengajaknya berswafoto bersama? Padahal, ia tak merasa selebritas, apalagi seleb media sosial. Setelah si tamu berlalu sambil membawa gelas karton berisi cappuccino, Yanlani tersenyum rileks.
”Dia orang dari Merauke, katanya senang lihat ada orang Papua kerja di kafe ini,” kata Yanlani.
Beberapa hari kemudian, Yanlani bergabung dengan tim Anomali untuk coffee cupping, uji rasa empat sample kopi secara buta. Artinya, identitas asal setiap sample baru diketahui setelah cupping selesai. Salah satu kopi yang diuji rasa adalah kopi dari kampung halamannya sendiri, Wamena, Papua. Ini pengalaman pertama Yanlani.
”Saya sudah tahu yang mana kopi saya (kopi wamena) sejak sebelum diseduh. Aromanya beda,” kata Yanlani seusai sesi cupping.
Sepekan sebelumnya, Irvan Helmi, salah satu pendiri Anomali Coffee, berkunjung ke Wamena, Papua. Di sana ia membeli sample kopi beras (green beans) dari petani kopi Maksimus Lani (64), ayah Yanlani.
Ketika Irvan di Wamena, Yanlani masih magang di sebuah perkebunan kopi di Gunung Puntang, Jawa Barat. Selama hampir sebulan di sana, ia belajar praktik pertanian yang baik, mulai dari pembibitan, panen, penanganan pascapanen seperti bermacam cara fermentasi biji kopi, pengeringannya, hingga menjadi green beans siap kemas.
Kini, proses belajarnya berlanjut di Anomali. Yanlani belajar membuat minuman kopi, seperti cappuccino, caffè latte, dan americano. Dengan belajar mulai dari kebun hingga di balik meja bar kedai kopi, ia menjadi lebih paham seperti apa perjalanan biji-biji kopi sejak dari kebun hingga menjadi minuman dalam cangkir di kafe nan mentereng.
Niat Yanlani kian bulat, ia harus menjadi pelaku bisnis kopi. Bukan pemain di hilir, melainkan di hulu, yakni sebagai petani kopi seperti sang ayah. Ia pun makin menyadari, kopi wamena di kafe-kafe di Jakarta ternyata begitu disukai dan dicari-cari penggemar kopi. Yanlani bangga. ”Berarti kopi wamena juga mantap. Saya bangga sekali,” kata Yanlani, yang dipanggil ”pace” selama di Anomali. Istilah dari bahasa Papua yang kurang lebih berarti ’bro’.
Belum lama ia membulatkan tekadnya itu. Dulu ia bercita-cita sebagai atlet, pemain bola. Ia pernah belajar di sekolah sepak bola di Jayapura, Papua. Selulusnya dari sana, ia berlaga dari satu pertandingan ke pertandingan lain. Sampai suatu saat, tahun 2013, ia menyadari ayahnya kian menua dengan tenaga yang tak sekuat dulu. Kebun kopi terancam terbengkalai. Yanlani, anak keempat dari tujuh bersaudara ini, akhirnya merasa terpanggil.
”Kakak-kakak lain bekerja jadi pegawai. Kata Bapak, kalau semua jadi pegawai, kasihan kopi tidak terawat. Saya pikir, saya ini juga anak kopi, kami semua sekolah juga dari kopi. Jadi, sekarang kami harus menghargai kopi,” kata Yanlani.
Regenerasi
Seperti diungkapkan Direktur Eksekutif Sustainable Coffee Platform of Indonesia (Scopi) Veronica Herlina, Indonesia terancam pasokan kopi pada 2023. Tak hanya Indonesia, tetapi juga secara global (baca: ”Kopi Papua, Hona!” di halaman 1). Pasokan tak lagi sepadan dengan permintaan yang meroket. Tingginya permintaan atas kopi itu didorong oleh kegemaran generasi milenial yang mulai terpapar hobi ngopi sejak usia 14 tahun. Seperti pernah dilaporkan beberapa media internasional seperti The Washington Post, pada generasi sebelumnya kebiasaan ngopi baru dikenal setelah berusia 17 tahun.
”Salah satu penyebab kurangnya pasokan kopi adalah regenerasi petani. Semua maunya bikin kafe dan jadi barista. Tetapi enggak ada yang mau jadi petani. Terus nanti di masa depan dapat kopinya dari mana,” kata Veronica.
Oleh karena itu, salah satu ambisi Scopi, selain melatih para petani untuk meningkatkan kuantitas dan kualitas kopi, adalah mencari dan membentuk petani-petani muda di daerah-daerah penghasil kopi di Indonesia. ”Harus dibikin pemahaman bahwa jadi petani kopi itu juga cool, keren,” ujar Veronica.
Yanlani pun lantas menjadi role model untuk Papua. Apalagi, dirinya sendiri memang terpanggil untuk meneruskan usaha sang ayah sebagai petani kopi. Scopi dan Kelompok Kerja Papua kemudian menyokongnya untuk mengikuti magang di sejumlah perkebunan kopi di Jawa Barat hingga magang sebagai barista di kedai kopi di Jakarta. Tentu saja ia senang. Yanlani bermimpi suatu saat juga bisa membuka kedai kopi serius di Wamena, yang paling tidak bisa menarik turis-turis asing yang selama ini kerap bertandang ke kampungnya.
”Di kampung saya, anak-anak muda lain cuma senang kerja yang cepat dapat uang saja. Seperti ojek atau angkat barang. Tidak ada yang mau pikir usaha atau bisnis,” ujar Yanlani.
Gelombang ketiga
Kultur kopi di dunia saat ini disebut-sebut memasuki era kopi gelombang ketiga atau the third wave coffee. Singkatnya kira-kira, sebuah era ketika kopi diapresiasi sebagai produk kebudayaan tersendiri bukan sekadar komoditas yang dikonsumsi. Ia menjadi semacam artisanal foodstuff seperti anggur (wine).
Era ini ditandai dengan perilaku kaum urban penikmat kopi yang tak sekadar doyan menyeruput kopi, tetapi juga peduli terhadap asal muasal kopi, bagaimana diproses sejak di hulu, hingga seperti apa saja teknik seduhnya. Oleh karena itu, tuntutan akan hasil panen kopi yang berkualitas menjadi krusial.
Di fase gelombang ketiga inilah pentingnya relasi yang lebih erat antara roaster dan petani. Dengan begitu, menurut Irvan yang juga roaster di Anomali, kualitas kopi yang terbaik dapat tercapai dan terjaga konsistensinya. Lelaku seperti itu umum terjadi di negeri-negeri dengan kultur kopi yang kuat.
Salah satu ciri gelombang ketiga adalah kehadiran seduhan kopi single origin. Ini sebenarnya adalah kopi yang dinikmati sebagaimana adanya.
Istilah single origin mengacu pada daerah geografis yang spesifik di mana kopi tumbuh dengan iklim mikro yang khas. Contohnya kopi mandailing, aceh gayo, toraja, java jampit, dan wamena, masing-masing diseduh secara individual. Ia berbeda ”mazhab” dengan kopi (berbasis) espresso. Dalam mazhab espresso, kopi dari berbagai macam kawasan atau single origin dicampur untuk memenuhi komposisi rasa tertentu.
Lantas, apakah penikmat kopi di Jakarta, misalnya, yang telah menjadi coffee scene yang berkilau ini, juga menggandrungi seduhan kopi single origin? Menurut Irvan, sejauh ini belum. Selama 10 tahun Anomali Coffee berdiri, misalnya, penjualan tertinggi masih cappuccino dan caffè latte yang disajikan panas. Bahkan, pada masa awal kafe baru buka, penjualan tertinggi adalah ice blended coffee dan air putih.
”Namun, semoga suatu saat akan beralih ke single origin,” ujar Irvan.
Jika itu terjadi, Indonesia yang kaya akan keberagaman kopi single origin tentunya surga bagi penikmat kopi. Apa pun mazhab nya, yang penting kopi asli Indonesia, dari Aceh sampai Papua.