Kenangan Cita Rasa Eropa
Lepas dari signature dish ala Le Quartier, hadir pan seared crab cakes. Daging kepiting dicampur dengan potongan paprika hijau dan merah lantas diberi sedikit tepung sebagai perekat, kemudian digoreng dengan sedikit minyak dan dipanggang. Sebagai sausnya adalah lemon butter
sauce ditambah balsamic dressing serta tomat ceri dan selada yang ditaburi potongan kecil kacang mete dan putih telur sebagai salad-nya.
Lagu Perancis
Lagu-lagu berbahasa Perancis terdengar mengalun. Tamu-tamu datang dan pergi. Suasananya terasa kasual. Area makan di bawah langit-langit yang transparan dengan dinding grafiti Darbotz tampaknya cukup favorit. Tunggu sampai malam tiba ketika ruangan mulai diterangi lampu-lampu gantung yang membuat suasana lebih romantis.
”Kami berusaha membuat semua orang merasa diterima di sini. Orang sering memersepsikan restoran Perancis sebagai mahal dan arogan. Kami tidak mau itu. Makanya kami lebih suka menyebut diri sebagai restoran Eropa karena juga ada menu lain selain Perancis,” kata Chris Janssens, pemilik sekaligus chef Le Quartier.
Meski menawarkan menu utama masakan Perancis, restoran ini juga menyajikan menu Italia dan Belgia, seperti wafel, piza, dan spageti. Menu-menu yang disajikan Le Quartier adalah menu yang dikenal banyak orang. Chris tidak menyajikan menu kreasi. Dia lebih menawarkan masakan klasik dengan rasa otentik dan sedikit penyesuaian terhadap lidah Indonesia.
”Masakan Eropa tidak pernah pakai gula, tapi di sini orang masak pakai gula. Kami ada penyesuaian, tapi sedikit sekali, karena bagaimanapun pasar kami adalah orang Indonesia,” ujar Chris.
Untuk menghasilkan cita rasa masakan Eropa, Chris mempertahankan bahan-bahan sesuai resep asli. Demikian pula dengan cara memasak, seperti memanggang dengan menggunakan arang. Masakan yang dipanggang adalah salah satu andalan restoran ini, yakni double entrecote yang menjadi hidangan utama saat itu.
Menu ini terdiri atas daging sapi bagian iga tanpa tulang yang dipanggang selama 15-20 menit jika tamu menginginkan skala kematangan medium. Kali ini dagingnya berasal dari Australia. Kali lain bisa saja dari Amerika atau Eropa. Kenyal sekaligus lembut ”berair” (juicy) ketika daging dikunyah dengan sedikit aroma terbakar yang khas di bagian luar daging yang berwarna coklat kehitaman. Bagian dalam daging masih berwarna sedikit merah.
Daging ini didampingi panggangan daun selada, tomat, dan bawang putih yang memberi rasa gurih dan segar saat disantap bersama. Di atas sayuran panggang dilelehkan saus coklat yang terbuat dari mentega, lemon, dan balsamic dressing. Sementara saus bernaice adalah saus berwarna kuning yang dituangkan ke atas daging yang membuat potongan daging semakin kaya rasa.
”Sebagian besar bahan baku, mau tidak mau, harus diimpor. Itu pun berdasarkan ketersediaan musim. Jadi, banyak menu khas kami yang dibuat berdasarkan pengaruh musim di Eropa, Amerika, dan Australia, negara asal bahan impor yang kami gunakan,” kata Chris.
Double entrecote disantap bersama potato gratin, yakni irisan-irisan tipis kentang yang diberi krim lantas dipanggang. Ada pula saute atau tumis dengan sedikit minyak campuran buncis kecil, buncis kuning, dan jamur champignon. Acara makan ditemani segelas citrus cooler yang merupakan air yang diberi jus lemon segar dan sirup jahe serta irisan mentimun, stroberi, dan daun mint.
Setitik kenangan akan ”Benua Biru” saat itu ditutup lewat kehadiran speculoos spiced souffle khas Belgia yang terasa lembut dan lumer saat disantap dan menebarkan aroma kayu manis yang hangat. Tak ketinggalan apple pie crumble crepes, krep tipis berisi campuran potongan apel yang dikaramelisasi dan dipadukan dengan es krim vanila.
Tempat makan yang dirintis lima tahun lalu ini konsisten menyajikan menu inti, di samping menawarkan menu khusus baru setiap minggunya. Menu yang mengakomodasi kebiasaan lokal juga berusaha dipenuhi, seperti menu yang mengandung nasi macam risotto.
Bersama cecap terakhir lelehan es krim vanila, lampu-lampu gantung pun mulai menyala. Itu tandanya Jakarta telah berganti malam. Berakhir sudah ”pelarian” sejenak dari hiruk pikuk kota. ”Monster” yang gelisah di dalam diri, seperti dalam karya grafiti Darbotz, berhasil dikandangkan lewat kenangan yang teredam melalui berpiring-piring sajian masakan.