Apa jadinya jika dunia senyap dan minim suara? Orang- orang tuli atau tunarungu mengerti betul hal itu. Isyarat adalah jalan keluar bagi mereka. Dengan bahasa isyarat yang dikuasai banyak orang, yang diajarkan lewat kelas-kelas, kemungkinan dunia baru terbuka bagi mereka sekaligus menyajikan dunia yang lebih setara.
”Selamat sore semuanya. Nama saya Isro. Saya akan menjelaskan tentang bahasa isyarat versi Jakarta kepada teman-teman semua,” begitu Isro, instruktur Pusat Layanan Juru Bahasa Isyarat (PLJI), memperkenalkan diri sekaligus membuka sosialisasi kelas pengajaran sore itu, Sabtu (27/1). RN Jasmina (24), lulusan Sastra Jawa Universitas Indonesia yang juga pengurus PLJI, menjadi penerjemah dari setiap kalimat Isro.
Isro, yang sore itu berkaus putih lengan panjang dan jilbab coklat, bergerak dengan lincah. Tangannya menari. Tubuhnya menjadi kata. Ekspresinya adalah makna. Gerak kakinya juga bagian kata. Semua bagian tubuh Isro adalah simbol yang menciptakan harmoni bahasa.
Bertempat di sebuah rumah yang disulap menjadi kantor, juga ruangan kelas, kursus bahasa isyarat akan dimulai. Terletak di Pasar Minggu, Jakarta Selatan, kantor ini tepatnya berada di sebuah kompleks perumahan. Tempat itu memang sekaligus kantor dari Gerakan untuk Kesejahteraan Tunarungu Indonesia (Gerkatin), yang membawahkan PLJI dan Pusbisindo.
Angela (34) mengikuti dengan cermat. Sesekali kepalanya mengangguk. Bersama sekitar 20 orang lainnya, dia adalah calon peserta kursus bahasa isyarat. Karyawan swasta ini baru pertama kali bersentuhan dekat dengan komunitas tuli.
Namun, dia punya pengalaman yang membuatnya tergugah untuk mempelajari bahasa isyarat.
”Beberapa waktu lalu pernah menunggu transjakarta di halte. Terus, ada penumpang yang bertanya jalur, tetapi dia tuli. Saya hanya bisa menuliskan di handphone cara menuju ke tujuannya. Kalau saya bisa bahasa isyarat, tentu bisa membantunya lebih jelas,” kata karyawan swasta ini.
Ingin membantu, begitu kira-kira tujuan Angela mengikuti kelas bahasa isyarat. Selain itu, dia ingin menambah kemampuan baru yang berguna bagi banyak orang.
Sebagian peserta lain berpandangan serupa. Selain penasaran dan ingin membantu, ada yang memang guru sekolah luar biasa (SLB), penyandang tunawicara, ingin membuat sekolah bagi semua orang, dan sebagainya.
”Kalau bisa, sampai jadi interpreter (penerjemah),” ujar Angela.
Kelas bahasa isyarat yang diadakan PLJI memang terbuka untuk umum. Dari penyandang tuli, mahasiswa, guru, aktivis, karyawan, hingga masyarakat umum bisa bergabung. Kelas itu diadakan setiap Sabtu dengan durasi dua jam setiap satu pertemuan. Satu jenjang kelas dirancang untuk 10 pertemuan. Masyarakat umum dikenai bayaran Rp 350.000, sementara penyandang tuli sebesar Rp 250.000.
Untuk kesetaraan
Kelas ini mengajarkan bahasa isyarat kepada pesertanya yang disebut Bisindo atau Bahasa Isyarat Indonesia. Bahasa isyarat ini diciptakan para penyandang tuli yang berusaha menciptakan bahasa dengan budaya orang tuli. Bahasa ini dianggap lebih mewakili makna kata per kata. Pemerintah sendiri menciptakan Sistem Bahasa Isyarat Indonesia atau SIBI yang dibuat oleh guru SLB, bukan penyandang tuli.
Sederhananya, kata Ketua PLJI Juniati Effendi, sistem Bisindo lebih mewakili para orang tuli dengan pola isyarat yang sederhana. Juniati mencontohkan, kata matahari dalam Bisindo cukup menggerakkan tangan dari atas ke bawah dengan telapak tangan yang terbuka tutup seperti sedang menyinari sesuatu. Sementara dalam SIBI yang dikeluarkan oleh pemerintah, cukup ribet karena menunjuk mata dan membentuk isyarat hari.
Kelas bahasa isyarat ini telah diadakan rutin oleh PLJI sejak tahun lalu. Tujuannya, untuk belajar linguistik, untuk memahami bahasa isyarat, dan menciptakan penerjemah bahasa isyarat baru. Semua instruktur atau guru di kelas ini adalah orang tuli.
”Kami juga belajar public relation karena memahami isyarat bisa membawa ke berbagai kemungkinan. Yang terpenting, membuka kesadaran orang dengar terhadap orang tuli. Bahwa orang tuli itu bisa melakukan banyak hal, hanya saja terbentur pada komunikasi,” kata Juniati.
Sejauh ini, lanjut Juniati, sebagian pandangan masyarakat terhadap orang tuli sudah lumayan membaik. Meski begitu, masih banyak anggapan yang memandang orang tuli tidak bisa berkreasi dan bekerja seperti orang dengar.
Juniati, yang berprofesi sebagai dokter gigi, mencontohkan, orang tuli yang diterima di sebuah perusahaan lebih banyak bekerja sebagai tukang sapu atau bersih-bersih. Padahal, kemampuan orang tuli tidak beda dengan yang lain.
Kesempatan orang tuli untuk melanjutkan pendidikan juga masih terbatas. Sebab, masih jarang kampus yang membuka kesempatan bagi orang tuli. Karena itu, orang-orang yang memahami bahasa isyarat sangat diperlukan.
”Di Indonesia itu hanya ada sekitar 50 interpreter. Kalau di Jepang, ada 10.000. Bayangkan...,” ujar Juniati.
Diskriminasi terhadap orang tuli memang kerap terjadi, baik sengaja maupun tidak disengaja. Hal ini terjadi karena secara fisik orang tuli tidak ada perbedaan dengan orang dengar.
Relawan PLJI Nurul Maysinta yang aktif sebagai pendamping PLJI menjelaskan, orang tuli paling berpeluang besar mendapat perlakuan diskriminatif dibandingkan penyandang disabilitas lainnya. ”Contoh kecilnya saja, di commuter line itu tidak ada penanda jika telah tiba di stasiun mana. Hanya ada pengumuman. Bisa dibayangkan repotnya mereka,” ucap Maysinta.
Padahal, kemampuan penyandang tuli ini tidak bisa dipandang remeh. Jika mendapatkan kesempatan dan fasilitas yang sama, bisa dipastikan mereka juga bisa bersaing dalam berbagai bidang.
Beberapa orang tuli di lembaga ini berkiprah di sektor yang tidak biasa. ”Ada yang jadi penari, ada yang jadi dokter, pengajar, dan lain-lain. Semuanya bisa kalau dikasih kesempatan,” ucap Maysinta. (Saiful Rijal Yunus)