Seteguk kopi fermentasi tiga bulan segera menambah hangat tubuh yang terserang kantuk pada pagi yang cerah di Stasiun Surabaya Pasar Turi, Selasa (30/1). Ingin berlama-lama menikmati dan menggali cerita tentang kopi nikmat dan tidak pahit itu, tetapi KA Argo Bromo Anggrek tujuan akhir Stasiun Gambir Jakarta segera berangkat. Cerita terpaksa ditunda.
Seteguk kopi dari sloki pemberian Fadil Hamerang, anak muda yang sedang mengembangkan usaha kopi di Jawa Barat, itu tetap terngiang saat mencoba menikmati perjalanan menuju Ibu Kota dalam kecepatan 80-90 km per jam. Di kabin eksekutif yang mewah, resik, dan amat sejuk itu ternyata sulit mengusir kebosanan. Padahal, perjalanan baru satu jam dari sembilan jam menurut jadwal.
Untunglah, sekitar pukul 09.00 masuk pesan singkat. ”Ayo ke restorasi, kopi sudah siap nih,” ujar Yuanita Rachma, barista dari The House of Coffee Surabaya. Ajakan itu tentu tidak bisa ditolak. Mengopi di restorasi pasti bisa membantu mengusir kantuk dan jenuh selama perjalanan.
Di kabin restorasi yang urutan ketujuh dari lokomotif itu, Yuanita serta anggota stafnya, Khoiron Anshari dan Abdul Hamzah, barista Rumah Sangrai Kroesel Surabaya, sibuk dengan kopi-kopi. Yuanita dan Khoiron menyiapkan kopi Arabika dengan cara flat bottom.
Hamzah menyiapkan minuman dari bubuk kopi campur arabika dengan cara tubruk atau seduh air panas. Kopi-kopi bisa dinikmati secara cuma-cuma oleh petugas dan penumpang yang telah memiliki aplikasi KAI Access dalam telepon seluler.
Yuanita, Khoiron, dan Hamzah termasuk dalam 200 barista yang membagikan kopi arabika dan robusta sebanyak 50.000 cangkir secara gratis kepada penumpang KA pengguna aplikasi KAI Access di 13 stasiun di Pulau Jawa.
Program bertema ”Enjoy Your Journey with Indonesian Coffee” (Nikmati Perjalananmu dengan Kopi Indonesia) itu kerja sama PT Kereta Api Indonesia (Persero) dan komunitas. Program berlangsung pada Selasa (30/1) dan Rabu (31/1).
Yuanita membawa 14 jenis kopi arabika asli atau tanpa campuran, yakni gayo pantan musara, mandailing sipirok, sidikalang, kerinci aro, preanger garut, java jampit, java kayumas maragogype, bali kintamani, bali wanagiri, bajawa flores, toraja bituang, kalosi bonebone, papua baliem, dan papua nabire.
Ia juga membawa satu jenis kopi robusta asli dari Lampung. Hamzah membawa arabika dan robusta dari perkebunan di lereng Gunung Arjuno dan Gunung Raung di Jawa Timur.
Tidak berani mencicipi seluruh kopi yang sudah pasti asli dari jerih payah petani dan nikmat itu. Jika mencicipi lebih dari lima cangkir, sudah pasti jantung berdetak kencang, keringat dingin mengucur, dan gelisah.
”Itu kalau kebanyakan. Nah, sekarang satu atau dua cangkir dulu. Ini saya buatkan yang preanger garut lalu nanti kerinci aro,” kata Yuanita yang sebelum berwirausaha kopi, ia adalah buruh pabrik perkakas rumah tangga.
Yuanita menyiapkan bubuk kopi di saringan kertas. Ia merebus air minum sampai petunjuk suhu memperlihatkan temperatur 92 derajat celsius. Yuanita bilang, setiap barista punya kesukaan tersendiri terkait temperatur air penyeduh.
”Saya lebih suka dan pas dengan 92,” ujarnya kemudian menyeduh kopi preanger garut. Sebelum dituang ke gelas kardus, teko berisi air kopi itu digoyang-goyang meski kabin restorasi sebenarnya tidak berhenti bergoyang karena kecepatan laju KA.
Aroma preanger garut kuat. Lidah sebenarnya sulit mengidentifikasi karakteristik tertentu kopi itu. Namun, perasaan ada rasa stroberi atau jeruk yang segar. Soal rasa, sudah pasti pahit, tetapi sebagai orang yang lahir dan besar di Jawa Barat, itu tidak masalah.
Mungkin benar kata Yuanita, minum kopi itu ibarat tiga tahap kehidupan. Seruputan pertama adalah hidup yang kerap diwarnai kepahitan. Seruputan kedua menggambarkan kepahitan adalah pengalaman berharga bagi kehidupan.
Seruputan ketiga bahwa pengalaman adalah anugerah. Dalam menyeruput kopi, keberhasilan mengidentifikasi rasa tertentu adalah anugerah setelah menemui kepahitan dan mencecap rasa itu sebagai pengalaman. Filosofis? Memang sih tetapi tidak lebay.
Minum kopi ibarat mengarungi tahapan kehidupan. Seruputan pertama adalah hidup yang kerap diwarnai kepahitan. Seruputan kedua menggambarkan kepahitan adalah pengalaman berharga bagi kehidupan.
Hamzah juga bersemangat saat ditantang memberi kopi yang oke punya. Dengan cekatan, ia merebus air sampai temperatur 85-90 derajat celsius. Menurut Hamzah, temperatur cocok untuk kopi campur dari lereng Arjuno dan Raung.
Aroma dan rasa yang agak keras seperti kehidupan di lereng gunung kondang di Jawa Timur itu. ”Akan menjadi kebanggaan tersendiri bagi petani jika kopi mereka diapresiasi. Inilah kopi Nusantara yang patut dikembangkan dan dibanggakan karena berbagai keunggulannya,” katanya.
Ya macam-macam memang apresiasi terhadap kopi Nusantara yang dibagikan di KA. Suyono, anggota kepolisian khusus kereta, tetap kukuh pada pendiriannya bahwa kopi tidak akan nikmat tanpa gula. Padahal, kami mencoba meyakinkan bahwa meminum kopi yang benar dan sehat tanpa gula. ”Sudahlah, saya ini ingin segera ngopi dan bertugas,” ujarnya disambut tawa kami di restorasi.
Perjalanan sembilan jam di KA tidak terasa karena mengopi dan berdiskusi tentang kopi. Kopi bukan sekadar minuman, melainkan menyimpan cerita luar biasa tentang kehidupan manusia.
Yuanita mencontohkan kopi bajawa flores dan toraja bituang. Di Flores, budidaya kopi telah berlangsung dengan prinsip pertanian yang baik. Petani memetik buah kopi yang merah atau masak di pohon. Setelah itu masih dipilih-pilih. Yang rusak dipisahkan dari yang bagus.
Biji kopi dikupas, dicuci, dan dijemur dengan teliti dan mematuhi anjuran pendamping atau penyalur berpengalaman. Hasilnya, biji kopi yang belum disangrai merupakan yang pilihan dan berkualitas tinggi.
Di Flores, budidaya kopi telah berlangsung dengan prinsip pertanian yang baik. Petani memetik buah kopi yang merah atau masak di pohon
”Kami berani membeli dengan harga tinggi jika kopi produksinya memang betul-betul sesuai harapan. Harga yang tinggi tentu dinikmati dan diharapkan membantu meningkatkan kesejahteraan petani,” katanya.
Setiba di Jakarta, kami pun berpisah. Namun, perpisahan itu cuma dalam empat jam. Kami akan kembali lagi di KA yang sama dengan tujuan Pasar Turi. Di Gambir, meja-meja promosi kopi Nusantara ramai dikunjungi penumpang.
Demikian pula di 12 stasiun lainnya yang ditunjuk sebagai tempat promosi. Bagi kami, cerita berlanjut dalam perjalanan kembali ke Pasar Turi. Namun, cerita kopi tidak akan pernah habis. Kopi Nusantara terlalu besar dan agung untuk dinikmati dalam kehidupan sekejap dan kecepatan tinggi.