Belajar dari Keistimewaan Bambu
Setelah melakukan riset selama beberapa tahun, pada tahun 2014 Syamsurizal pun mendirikan Indonesia Hijau Group dan mulai memproduksi kayu dari serat bambu di bawah bendera PT Indonesia Hijau Papan. Pabrik seluas 4.000 meter persegi itu berlokasi di Sukabumi dan memiliki kapasitas produksi sekitar 15 metrik ton per hari dan akan ditingkatkan menjadi 100 metrik ton per hari dalam lima tahun ke depan.
Syamsurizal juga dibantu putranya, Karim Munaf, yang saat ini tengah menimba ilmu di Kanada terkait dengan teknologi pengolahan kayu. Sementara sang istri, Danaparamita Soegondo, juga membantunya merancang desain produk-produk interior ataupun furnitur berbahan kayu dari serat bambu, yang juga dipamerkan
di kediaman sekaligus galeri pajang Bambulogy di kawasan Pondok Aren.
”Tanaman bambu banyak terdapat di Indonesia. Dia mudah ditanam dan nyaris tak memerlukan perawatan yang rumit. Pada usia tertentu, batang bambunya bisa dipanen secara berkelanjutan karena tunas bambu akan muncul dan tumbuh kembali jika ada batangnya yang dipotong. Dengan begitu, jika kita memanfaatkan bambu sebagai sumber kayu, tak akan ada lagi yang namanya deforestasi,” ujar Syamsurizal.
Menurut mantan Direktur Utama PT Elnusa ini, Negeri Tirai Bambu China bahkan sudah sejak hampir tiga dekade terakhir memanfaatkan teknologi pengolahan bambu menjadi kayu solid (strand wooven bamboo/SWB) seperti yang saat ini dia kerjakan. Mereka bahkan telah lama mengekspor produk kayu solid berbahan serat bambu mereka ke Amerika Serikat dan Eropa dengan total nilai ekspor sebesar 4 miliar dollar AS per tahun.
Padahal, jumlah varian tanaman bambu di negeri itu kalah banyak dibandingkan dengan jenis-jenis tanaman bambu yang bisa ditanam dan dipanen secara berkelanjutan di Indonesia. Keberagaman varian jenis tanaman bambu yang dapat tumbuh di Indonesia tersebut menjamin keberlangsungan bahan baku jika orang ingin membangun industri pengolahannya.
”Kalau setiap keluarga di kota-kota besar macam Jakarta, Bandung, dan Surabaya saja mau menanam dua rumpun bambu, batang-batang bambu yang bisa dipanen dari situ sudah cukup untuk bisa memasok satu industri pengolahan kayu solid dari serat bambu, seperti yang saya tengah kerjakan sekarang,” ujarnya.
Bambu belum dilirik
Sayangnya, tambah Syamsurizal, masyarakat masih belum melihat bambu sebagai tanaman bernilai ekonomi tinggi. Lantaran dianggap hanya bisa dibuat menjadi barang-barang keperluan harian dengan nilai jual relatif rendah macam furnitur atau peralatan dapur, banyak warga lebih memilih membabat habis rumpun bambu yang ada di satu lahan untuk ditanami tanaman komoditas lain. Padahal, akar tanaman bambu selain dikenal bisa menyerap air juga dapat menjaganya dari bahaya longsor.
Proses pembuatan kayu solid berbahan serat-serat bambu ini memang tidak mudah dan dilakukan dalam banyak tahapan. Batang-batang bambu yang digunakan harus terlebih dulu memenuhi beberapa persyaratan, seperti berusia minimal 3 tahun, memiliki ketebalan 6-12 milimeter, dan diameter antara 6 sentimeter dan 12 sentimeter. Bahan baku bambu yang digunakan bisa berasal dari jenis apa saja.
Setelah dibersihkan dari kulit batangnya, bilah-bilah bambu tadi kemudian dipotong sepanjang sekitar 2,5 meter, lalu digeprek sehingga membentuk serat-serat. Setelah itu serat bambu tadi dimasak (carbonizing) pada suhu tertentu untuk menghilangkan kandungan gula agar rayap tak lagi tertarik mengonsumsinya dan juga menghindari jamur.
Setelah itu, bahan baku tadi dikeringkan, dicampur dengan resin dan bahan kimia antirayap, pengeleman, dikeringkan kembali untuk kemudian ditekan dengan mesin pengepres berkekuatan 3.600 ton. Lalu, dipanaskan sehingga serat bambu dan lem mengeras. Untuk membuat balok kayu berdimensi 14 sentimeter x 14 sentimeter x 2,4 meter diperlukan 30-35 batang bambu.
Kayu berbahan serat bambu juga memiliki tingkat kepadatan (densitas) tinggi sebesar 1,1 ton per meter kubik, atau bahkan jauh lebih padat dibandingkan dengan kayu dari pohon keras lain macam jati ataupun ulin. Kekuatan dan kepadatan kayu SWB pernah diuji dengan cara ditembak menggunakan peluru tajam dari jarak 25 meter.
Kayu SWB ketebalan 8 sentimeter produksi pabrik milik Syamsurizal diketahui mampu menahan laju peluru senapan laras panjang standar pasukan khusus militer, sementara kayu jenis lainnya dapat dengan mudah ditembus. Walau lebih padat, kayu berbahan serat bambu (SWB) masih memiliki sifat alami dari bambu yang lentur.
”Awalnya kami menggunakan kayu yang kami produksi ini untuk membuat produk-produk interior dan eksterior. Namun, dengan hasil uji laboratorium tadi, ditambah lagi kami pernah mengujinya dengan peluru, ternyata kami sadar kekuatan kayu berbahan bambu yang kami buat juga sangat cocok untuk dipakai sebagai kayu konstruksi,” kata Syamsurizal.
Bangunan dari bambu
Saat ini pihaknya juga tengah membangun proyek Cendrawasih Bambulogy Mansion, sebuah mini apartemen berlantai empat dengan fondasi seperti rumah panggung atau tak menapak tanah, yang sebagian besar materialnya terbuat dari kayu SWB. Sebelumnya, dua proyek serupa sudah lebih dulu didirikan di dua lokasi berbeda, di kawasan Bintaro dan Pasar Minggu.
Proyek pertama bangunan serupa berlantai dua di Bintaro difungsikan secara komersial menjadi tempat indekos eksklusif dengan luas per unit sekitar 15 meter persegi. Sementara bangunan serupa di Pasar Minggu dibangun setinggi tiga lantai, tetapi dengan jumlah material kayu lebih dominan. Dari sejumlah penghuni indekos, Syamsurizal juga mengetahui penggunaan listrik untuk kebutuhan alat penyejuk ruangan (AC) jauh lebih hemat dibandingkan dengan kamar indekos dari bangunan konvensional berdinding beton.
Sementara itu, dengan modal kelebihan kekuatan ditambah sifat lenturnya, kayu SWB produksi perusahaan Syamsurizal juga cocok dibentuk untuk beragam keperluan, mulai dari lantai kayu, baik untuk rumah maupun kolam renang, langit-langit, pintu berikut bingkai pintu dan jendela, fasade bangunan, beragam jenis furnitur dan pernak-pernik interior berdesain cantik atau berukiran, dan lampu gantung mewah, seperti dipamerkan di galeri Bambulogy, hingga ke alat musik, seperti drum dan juga speaker.
Lebih lanjut, walau terbukti memiliki kekuatan, kepadatan, dan kelenturan jauh lebih baik ketimbang kayu dari pohon keras lain, bahkan jenis kayu jati dan ulin, harga kayu SWB, menurut Syamsurizal, jauh lebih murah. Per meter kubik kayu SWB yang dia produksi dijual Rp 14 juta atau setara harga kayu kamper kelas satu. Sayangnya, hingga saat ini konsumen dalam negeri masih belum terinformasi dengan baik dan bahkan meragukan.
”Memang, hal seperti itu masih jadi tantangan buat kami. Ibaratnya mobil harga Kijang, tetapi kualitas Mercy. Kami juga sebenarnya mencoba memberi masukan soal alternatif material bahan baku yang murah dan kuat ini. Bahan material yang bisa dipakai untuk program pembangunan rumah murah untuk rakyat. Dari yang kami telah bangun selama ini, biayanya bisa ditekan sampai 15 persen lebih murah dibandingkan dengan rumah konvensional,” katanya.
Ragam kreasi berbahan bambu.