Beras Berderai nan "Tanamo"
Pada bulir-bulir putihnya, beras solok adalah sebuah perayaan. Sejak bibit padi disemai hingga beras ditanak, ada karya bersama yang dijaga turun-temurun. Cita rasanya sedemikian memanjakan indra pengecap, sampai-sampai diabadikan dalam lagu. Memang, ”bareh solok bareh tanamo”, beras ternama.
Gemeresik suara angin menyapu tanaman padi yang baru berumur sebulan di hamparan sawah Solok, Kota Solok, Sumatera Barat, Rabu (24/1) pagi. Sejauh mata memandang hingga ke arah rimbun hutan dan kaki gunung hanya ada hijau serta sedikit hijau kekuningan. Gerimis mulai turun seiring barisan para petani bersama niniak mamak atau ketua adat, alim ulama, dan para bundo kanduang berjalan di tepi-tepi sawah, tanda dimulainya doa tulak bala.
Dari Masjid Lubuk Sikarah, mereka berjalan perlahan sembari melantunkan doa dan selawat. Di beberapa titik, rombongan berhenti untuk memanjatkan doa agar sawah terhindar dari serangan hama dan menghasilkan panen berlimpah. Sembari berdoa, paureh dipercikkan ke sawah.
Paureh ini berupa irisan daun galundi yang direndam air, dipercikkan menggunakan daun sikacerek. Sebelumnya, paureh disimpan semalaman di masjid.
Oleh karena hamparan yang begitu luas, 207 hektar, sebagian kecil sawah saja yang dikitari. Rombongan kemudian berhenti di gaduang-gaduang besar di tengah sawah dan makan bersama dengan gembira.
Ketua Lembang Kerapatan Adat Alam Minangkabau Kota Solok Rusli Khatib Suleman menceritakan, tradisi doa tulak bala sejak dulu dilakukan untuk mendoakan agar sawah terhindar dari bala atau musibah. ”Doanya, semoga padi berkembang bagus, berbuah labek (lebat), jauh dari hama, pendapatan petani berlipat ganda,” katanya.
Dua kali panen sebelum musim panen pertama tahun ini, menurut penuturan A Rio, anggota kelompok tani Panca Usaha, Kelurahan Sinapa Piliang, hasilnya melimpah. Kualitasnya pun tetap terjaga.
”Saya menanam padi jenis cisokan di sawah, luasnya 1,25 hektar. Sekali panen bisa 6-7 ton. Setahun bisa dua kali panen. Tahun 1985, saat mulai bertani, saya menanam padi anak daro. Dua- duanya enak,” tuturnya.
Kata kunci
Enak menjadi kata kunci saat berbicara tentang beras solok. Rio menggambarkannya seperti ini: beras berderai sehingga nasi tidak pulen, terlihat pera tetapi empuk, teksturnya lembut, warnanya putih, aromanya wangi, rasanya agak manis, kalau nasi sudah dingin pun tidak keras.
”Paling cocok dimakan dengan samba lado. Pakai rendang tambah enak. Namun, tidak ada samba (lauk) pun, hanya pakai garam dan minyak tanak (dari kelapa), sudah enak,” ujar Rio.
Yulizar (68), petani di Nagari Tanjuang Bingkuang, Kabupaten Solok, membandingkannya dengan beras pulen. Bagi dia, makan nasi pulen kurang nikmat, lengket, seperti makan bubur atau makan ketan. Beras pulen membuatnya kurang berselera makan.
Dari meja makan di rumah hingga ke rumah makan, nasi dari beras solok terhidang. Rumah makan Salero Kampuang di pusat Kota Solok, misalnya, menyajikan semangkuk besar nasi putih berteman aneka gulai, dendeng, telur dadar, dan samba buruak- buruak, yakni sambal terung, petai, dan jengkol, serta rebusan daun singkong.
Nasinya terlihat putih, tetapi tidak mengkilat. Bulirnya kecil, lembut, dan yang pasti berderai alias tidak lengket satu sama lain. Tidak semanis beras pulen, cita rasanya pun lebih ringan. Nasi dari beras anak daro, kata pelayan rumah makan.
Para pengunjung terlihat bersantap dengan nikmat. Nasi di piring, lauk atau samba di sekelilingnya. Satu per satu samba dicomot sedikit, lalu dicampur dengan nasi. Satu kepalan nasi dan samba disuapkan. Nasi yang tidak masuk ke mulut tampak berjatuhan kembali ke piring. Tak berapa lama, piring sudah licin tandas.
Sejumlah petani berkisah, sejak mengenal pertanian, mereka sudah menanam padi lokal Solok. Ada beberapa varietas padi lokal yang mereka tanam, di antaranya cisokan atau sokan, anak daro, caredek, randah kuniang, pandan pulau, arai pinang, dan sari beganti. Yang paling diminati saat ini adalah cisokan dan anak daro. Selain itu, muncul varietas baru, seperti bakwan. Beberapa varietas malah sudah hilang, seperti andah rimbo, kolang merah, kolang putih, dan randah banyak (Kompas, 21 Juli 2010).
Cisokan bulirnya lebih besar, baunya lebih harum ketimbang varietas lain. Namun, cisokan juga lebih menarik bagi hama tikus karena batang padinya yang manis dan lebih berair.
Anak daro, artinya ’pengantin perempuan’, bulirnya kecil, tetapi menghasilkan nasi lebih banyak saat dimasak. Seperti artinya, padi anak daro matang lebih lambat daripada sokan. Pengantin perempuan biasanya tidak bisa berjalan cepat-cepat.
Elhaqki Effendi, penggiat pertanian dan mantan pegawai Dinas Pertanian Kabupaten Solok, mengatakan, yang membedakan beras solok dengan beras jenis lain dari daerah sekitarnya adalah lingkungan tempat padi tumbuh. Solok diberkati dengan tanah subur di kaki Gunung Talang dan tanah endapan danau di sekitar Danau Singkarak.
Di tepi Danau Singkarak, sawah membentang subur. Sejumlah petak terlihat menguning siap panen.
Di beberapa wilayah di Kabupaten Solok, terutama di dataran yang lebih tinggi, padi tumbuh di persawahan di lereng-lereng di antara bebatuan besar.
”Solok berada di ketinggian yang tepat untuk jenis padi ini, sekitar 350 meter di atas permukaan laut. Menurut banyak penelitian, unsur hara di dalam tanah berikut pengairan dari hulu sungai di kaki gunung membuat cita rasa nasi dari beras solok menjadi nikmat,” katanya.
Tak hanya mengandalkan anugerah alam, para petani di Solok juga menjaga cara bercocok tanam yang baik agar kualitas beras yang dihasilkan terpelihara. Menurut Elhaqki, sawah menjadi titik sentral kehidupan masyarakat Solok. Ibaratnya, untuk membangun rumah, menyekolahkan anak, dan memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari, semua berasal dari hasil sawah.
Karena itu, benih dijaga baik, sarana pertanian diperbaiki, dan alat pengolahan tanah dimodernisasi. Kendati dipacu produksinya, sawah tidak terus-menerus diperas. ”Maksimal hanya bisa lima kali panen dalam dua tahun. Jika lebih, daya dukungnya bisa merosot dan berpengaruh terhadap hasil padi,” ucapnya.
Pengolahan hasil panen turut memengaruhi cita rasa beras solok. Setelah padi dipanen, bulirnya langsung dirontokkan, tidak didiamkan dulu. Penumpukan batang padi yang sudah dipanen selama semalam atau dua malam akan memengaruhi kadar air, aroma, dan keseluruhan kualitas beras yang dihasilkan nantinya.
Demi menjaga kualitas itulah Pemerintah Kota dan Kabupaten Solok sedang menyusun indikasi geografis beras solok. Indikasi geografis ini akan menjamin beras solok yang dikonsumsi masyarakat luas benar-benar berasal dari Solok sehingga pasti jaminan mutu.
Para pedagang beras berani menjual beras solok dengan harga tinggi. Fitri Nursyanti, petani dan pedagang beras di Paninggahan, tepian Danau Singkarak, menjual beras cisokan Rp 12.500 per kilogram (kg), sedangkan anak daro Rp 12.000 per kg. Ada pula beras batang pasaman yang lebih rendah harganya, Rp 11.000 per kg.
”Saya baru akan kirim ke Palembang 1 ton beras cisokan. Biasanya untuk memasok rumah makan,” tutur Fitri yang berjualan beras sejak 2002.
Cita rasa beras solok diakui di Sumatera Barat dan provinsi sekitarnya. Permintaan dari sejumlah kota di Riau, Sumatera Selatan, dan Jambi terhitung besar. Tak jarang, beras solok menjadi buah tangan saat mengunjungi kerabat di luar kota.
Identitas kultural
Menurut Guru Besar Antropologi Universitas Andalas, Padang, Nursyirwan, beras solok menghasilkan nasi yang cocok untuk lidah orang Minang. Nikmatnya membuat mereka bersukacita sampai-sampai pada 1960-an muncul lagu ”Bareh Solok” yang dinyanyikan Elly Kasim.
”Lagu itu bukan semacam branding, melainkan benar-benar ungkapan senang. Khas orang Minang, senang atau sedih dibuat lagu,” katanya.
Nursyirwan menambahkan, beras solok menjadi gabungan identitas, karya budaya, dan rasa. Cara mengelola dari padi menjadi nasi dipertahankan, dijadikan bagian dari tradisi. Bibit unggul tidak diubah dari dulu. Kelompok tani menyemai bibit yang sama, tidak dikomersialkan ke tempat lain.
Tradisi cocok tanam diturunkan dari kakek sampai ke cucu. Banyak acara adat digelar terkait dengan pertanian sebagai bentuk menjaga kearifan lokal. Konversi lahan pertanian juga relatif jarang sehingga masyarakat tidak pernah kesulitan membeli beras, bahkan cenderung surplus. Inilah yang membuat beras solok tetap bertahan. Dihidupi masyarakat karena berasnya menghidupi masyarakat.
”Orang Minang merasa sulit menemukan yang sama enaknya di tempat lain. Dulu beli beras solok harus di Solok. Sekarang sudah sampai ke mana-mana, dibawa orang Minang ke rantau,” ujar Nursyirwan.
Benarlah lirik ”Bareh Solok”. Beras solok yang sudah ditanak, dicampur si samba lado, membuat perut kenyang dan hati ingin berdendang. Lamak rasanyo....