Imlek dengan Tenun dan Batik
Motif-motif ini dibuat dengan teknik bordir memakai benang putih, lantas diwarnai oleh Agnes menggunakan cat tekstil. Dengan begitu, ia bisa membuat kesan tiga dimensi melalui pemilihan warna yang dikehendakinya.
”Saya ingin ada efek tiga dimensi pada gambarnya dan itu sulit dikerjakan oleh bordir. Kalaupun menggunakan permainan warna benang, hasilnya buat saya masih kurang terlihat tiga dimensi,” ungkap Agnes yang suka melukis di atas kanvas.
Melukis di atas bordiran memberi tantangan tersendiri karena harus diupayakan sekali jadi dan sebisa mungkin tidak salah. Kesalahan harus diperbaiki dengan ”banyak akal”, antara lain membuat warna lebih gelap jika memang memungkinkan. ”Di atas kain, kalau salah tidak bisa dihapus, tidak bisa ditumpangkan juga. Kecuali kalau warnanya masih tipis, bisa dibuat gelap. Tapi, kalau dari gelap ke terang, itu yang susah,” ujar Agnes.
Para desainer lainnya memilih pendekatan warna, selain model kerah cheongsam dan kancing china yang sering jadi andalan menciptakan nuansa oriental. Warna-warna seperti merah atau emas juga dijadikan warna utama menjelang Imlek. Klasik, tetapi masih menjadi favorit.
Motif akulturasi
Batik sendiri menyimpan jejak akulturasi dengan budaya China lewat beberapa motif khas, seperti piring selampad pada batik cirebon. Motif naga, singa, kilin, burung hong, kura-kura, dewa dewi yang ditemukan pada batik lasem dan pekalongan adalah contoh lain pengaruh budaya China pada batik.
Motif-motif ini kemudian digunakan oleh Sekar Kedaton dan Dhara untuk koleksi busana Imlek masing-masing. Sebuah naga berwarna oranye dengan dasar hitam menghias bagian belakang outer atau luaran rancangan Murywati Darmokusumo dari Sekar Kedaton. Rangkapan luar atau outer ini dikenakan artis Wulan Guritno dalam peragaan busana dengan busana bagian dalam berupa paduan celana panjang dan blus tanpa lengan yang dihiasi ban pinggang dari motif batik yang sama. Tepian luaran diberi aplikasi beludru hitam.
Luaran serupa dari batik dengan motif bunga-bunga besar tampak dikenakan artis Shelomita. Luaran ini dipadukan dengan terusan panjang berwarna merah dan berleher cheongsam serta berkancing china pada bagian bawah leher.
Sekar Kedaton menyajikan busana-busana dari batik tulis yang sebagian merupakan produksi sendiri. Sebagian lainnya dibeli Murywati dari perajin batik di Solo, Sragen, Yogyakarta, dan Pekalongan. Menjelang Imlek, diungkapkan Murywati, pesanan batik-batik berwarna merah memang meningkat.
Motif piring selampad menjadi pilihan Dhara Wyardiati lewat label Dhara. Motif ini berupa bulatan-bulatan berisi berbagai motif batik. Dalam sejarahnya, motif ini mendapat pengaruh dari piring-piring porselen china yang terdapat pada dinding Astana Gunung Jati, Cirebon.
Batik piring selampad dengan dasar putih dan motif berwarna oranye diolah menjadi blus tanpa lengan berleher V yang dihasi kancing china. Motif piring selampad lainnya, kali ini berwarna merah dengan dasar hitam, diolah menjadi blus lengan pendek berkerah shanghai dan berkancing china. Blus ini dipadukan dengan kain tenun polos berwarna hitam yang dililitkan di pinggang dengan hiasan obi atau sabuk berwarna senada. Selain batik, Dhara juga menggunakan bahan tenun, seperti tenun makassar, garut, dan bali sebagai paduan dengan batik.
”Saya pernah membuat busana-busana untuk menyambut Imlek dari kain-kain non-wastra. Ternyata sambutannya biasa saja. Mungkin karena kurang unik. Kalau batik atau tenun dengan kerah shanghai atau kancing china terlihat menarik sehingga lebih dilirik,” ungkap Dhara.
Nafisah Abdat dengan label Kava juga menggunakan batik-batik merah bermotif piring selampad serta tenun troso yang menampilkan motif-motif dari Nusa Tenggara Timur. Troso adalah nama daerah yang menjadi sentra kain tenun di Jepara, Jawa Tengah, yang banyak mendapat pesanan membuat kain tenun dari sejumlah wilayah di Indonesia. Nafisah mengolah kain- kainnya menjadi atasan tanpa lengan dengan model piyama, tetapi dengan bagian bawah melebar.
Ismayati dari label Alif juga memanfaatkan batik motif piring selampad dengan dasar merah yang kemudian diolah menjadi blus terusan selutut yang berhias kancing china di bagian depan. Perkawinan kancing china serta kerah shanghai dengan batik dan tenun menjadi saksi perjalanan proses akulturasi antarbudaya di Nusantara yang tecermin lewat mode.