Pernikahan bagi Generasi Milenial, Esensi atau Seremoni?
Oleh
·4 menit baca
Saat dua insan menjadi satu dalam ikatan pernikahan, semua karib kerabat berharap ikut merasakan langsung momen suci ini. Namun, jumlah undangan yang berbanding lurus dengan dana konsumsi membuat pasangan harus menentukan dari dua pilihan, berkorban demi undangan atau memilih efisiensi dengan mengundang sedikit kerabat.
Pandu (26) menceritakan pengalamannya saat mempersiapkan pengalaman pernikahan yang berlangsung pada awal 2018. Ia dan pasangannya sebenarnya ingin pernikahan yang sederhana, dengan mengundang orang-orang terdekat saja. Namun, kata Pandu, orangtua mereka ingin berbagi kebahagiaan dengan mengundang semua orang yang dikenal.
Kedua belah pihak memutuskan ada 1.800 undangan yang disebar. Jadi, estimasi orang yang hadir mencapai 3.200 orang karena satu undangan dihitung dua orang.
”Orangtua kami ingin mengundang orang-orang terdekat, relasi dan rekan-rekan dari keluarga masing-masing. Mereka bersedia membantu kami. Jadi, kami ikut saja,” ujarnya saat ditemui di sela kesibukannya di bilangan Jakarta Selatan, Sabtu (3/1).
Pebisnis properti ini mengatakan, dari Rp 200-an juta dana untuk menikah, 70 persen di antaranya digunakan untuk konsumsi tamu. Ia berujar, dana yang ada tidak akan cukup untuk mengundang sebanyak itu jika menggunakan jasa pernikahan atau wedding organizer.
Kami tidak memakai jasa katering dan menyewa gedung. Kami juga memberdayakan masyarakat sekitar. Jadi tinggal menyediakan bahan makanan sendiri. Semuanya dilakukan di rumah sehingga mengurangi dana operasional
”Kami tidak memakai jasa katering dan menyewa gedung. Kami juga memberdayakan masyarakat sekitar. Jadi tinggal menyediakan bahan makanan sendiri. Semuanya dilakukan di rumah sehingga mengurangi dana operasional,” ujarnya.
Padahal, kata Pandu, ia dan pasangannya menginginkan pernikahan yang sederhana. Ia merasa, yang harus dipersiapkan adalah kehidupan setelah acara pernikahan itu. Namun, karena itu kehendak orangtua, dan memang dibantu, ia tidak menolaknya.
”Kami sebenarnya menginginkan pernikahan yang esensial, bukan seremonial. Cukup tunaikan kewajiban akad nikah dan undang keluarga besar. Namun, orangtua kami ingin berbagi kebahagiaan ini. Apalagi istri saya anak bungsu, jadi setidaknya syukuranlah,” tuturnya.
Berbeda dengan Pandu yang menikah dengan memberdayakan kemampuan pribadi, pasangan Iyus (26) dan Puti (26) merencanakan pernikahan pada Juni 2018 dengan menggunakan jasa wedding organizer (WO). Mereka menargetkan dana pernikahan sebesar Rp 100 juta untuk 400 undangan.
Bagi dua pasangan yang bekerja sebagai karyawan swasta, persiapan pernikahan telah dilakukan bertahun-tahun sebelumnya. Mereka menyisihkan sebagian penghasilan bulanan agar bisa membiayai pernikahan sendiri.
”Pada prinsipnya, kami tidak ingin memberatkan orangtua, jadi kami mengumpulkan uang selama tiga tahun terakhir ini dengan menyisihkan sebagian penghasilan kami. Semuanya disimpan di dalam rekening dan saya yang memegangnya. Jadi, orangtua menyerahkan seluruhnya kepada kami,” ujar Puti.
Iyus menambahkan, keinginan untuk menikah diputuskan tahun ini karena dihadapkan oleh dua pilihan, menikah dahulu atau melanjutkan sekolah ke S-2. ”Akhirnya kami memutuskan menikah dulu baru sekolah. Kalau menunda nikah, kami takut banyak halangan lain yang mungkin akan menghadang. Jadi, habis nikah baru sekolah,” tuturnya.
Kematangan dalam finansial juga menjadi alasan dalam menentukan pernikahan. Sena (27) memilih tahun ini untuk menikah karena merasa telah sanggup menghidupi kebutuhan diri sendiri dan pasangannya tanpa bantuan orangtua. Namun, untuk membiayai pernikahan, karyawan swasta ini masih mendapatkan bantuan keluarga untuk menikah.
Tekad bulat Sena untuk menikah pada tahun 2018 ini ada karena memiliki visi di masa depan. Ia membayangkan, jika menikah di umur 27, maka di umur 50 tahun, kemungkinan usia anaknya dalam rentang 20-22 tahun, sebuah usia yang matang untuk mandiri menurut laki-laki ini.
”Jadi, kalau saya sudah berumur 50 tahun, anak saya sudah besar, bisa mandiri. Tidak ada yang tahu bagaimana di masa depan, tapi setidaknya ini rencana saya,” ujarnya.
Untuk mengadakan resepsi pernikahan di Bandung, keluarga Sena membutuhkan Rp 120 juta untuk 500 undangan dengan menggunakan jasa WO. Untuk akad yang dilakukan di Garut, Keluarga Sena menyiapkan Rp 40 juta tanpa WO.
”Untuk di Garut, kami mempersiapkan sendiri dan sebagian besar untuk konsumsi. Kami tetap mengadakan resepsi di Bandung karena tidak semua kenalan bisa menghadiri acara di Garut,” tuturnya.
Dana konsumsi yang mencapai 60 persen dari total biaya pernikahan membuat pasangan memikirkan kembali berapa orang yang akan diundang.
Direktur Parakrama Organizer Arief Rachman mengungkapkan, dilema antara jumlah undangan dan efisiensi dana pernikahan sering kali dialami para kliennya. Pemilik WO di Jakarta ini menjelaskan, dana konsumsi yang mencapai 60 persen dari total biaya pernikahan membuat pasangan memikirkan kembali berapa orang yang akan diundang.
”Kalau ingin meminimalkan biaya pernikahan, perhatikan jumlah undangan. Lalu, gunakan jasa penyewaan busana pernikahan dan rias yang bisa menekan budget,” katanya.
Memang, berbagi kebahagiaan menjadi salah tujuan acara sakral yang mempersatukan dua keluarga ini. Namun, dana konsumsi yang berbanding lurus dengan jumlah undangan membuat kedua pasangan harus memilih, esensi atau seremoni. (DD12)