”Raso Kampuang” yang Selalu Dirindu
”Sepertinya orang-orang zaman dulu menciptakannya sudah satu kesatuan. Nasi beras solok temannya gulai. Rasanya menyatu. Nasinya juga tidak menggumpal atau benyek ketika dicampur santan karena teksturnya berderai tetapi empuk,” kata Marco.
Sejak awal berdiri tahun 2009, Marco Padang menggunakan beras solok untuk nasi. Selain menjaga masakan tetap otentik, Marco berusaha menjaga ketepatan cita rasa itu. Tak mengherankan, restorannya menjadi tujuan banyak orang, terutama orang- orang Minang di Jakarta.
Tersedia menu nasi sayo, yang seakan membuktikan bahwa nasi dari beras solok itu tetap nikmat disantap hanya de-
ngan kuah gulai. Nasi sayo berupa nasi putih yang dilumuri kuah gulai spesial, ditaburi serundeng, disajikan bersama sayuran, sambal hijau, dan sambal merah.
Pengunjung juga bisa menikmati nasi goreng rendang. Tekstur beras solok yang tidak lengket dan tidak menyatu, menurut Marco, sangat cocok dibuat nasi goreng. Nasi tidak terasa kering karena empuk. Penggemarnya banyak.
Sama halnya dengan restoran Indah Jaya Minang di Alam Sutera, Tangerang Selatan. Restoran ini menyajikan nasi dari beras solok. Pemilik restoran, Hetti, juga memilih beras solok untuk nasi karena paling cocok untuk masakan Minang. Nasi putih hangat berteman dendeng cabai hijau, ayam bakar, gulai ayam, rendang, dan gulai nangka muda membuat tangan menyuap tak henti.
Restoran tersebut bahkan menjual beras solok. ”Harganya Rp 25.000 per kilogram. Beras dikirim dari Solok,” ujarnya.
Tak terpisahkan
Beras solok sudah menjadi bagian tak terpisahkan dari orang Minang, seperti diakui pelantun lagu Bareh Solok, Elly Kasim. Masih ingat lirik lagu itu? Saking enaknya beras solok, sampai-sampai mertua lewat tidak terlihat.
Bareh baru makan jo pangek
Indak nampak, ehem, mintuo lalu
Bareh Solok bareh tanamo
Bareh Solok lamak rasanyo
Meskipun sudah bertahun-tahun tinggal di Jakarta, Elly setia menyantap nasi dari beras solok. Setiap saat, nasi berikut masakan khas Minang terhidang di meja makan.
”Uni sekeluarga mendatangkan beras anak daro dari Solok. Sawah di sana masih terjaga. Memang lebih mahal daripada beras pada umumnya, tetapi aduh, nikmat banget. Nasi panas-panas dimakan pakai samba lado,” tuturnya diikuti tawa.
Setiap bulan, Elly memesan beras solok hingga lima karung. Satu karung beratnya bisa mencapai 30 kilogram. Beras diangkut bus penumpang dengan ongkos kirim per karung berkisar Rp 150.000-Rp 250.000. Total biaya yang dikeluarkan bisa mencapai Rp 3 juta.
”Harga sudah tidak dipedulikan lagi. Setiap habis langsung pesan ke sana. Lima karung untuk sebulan sudah habis. Untuk kami keluarga besar, selain juga untuk menjamu tamu dan kerabat,” ujar Elly.
Tidak hanya di Jakarta, saat bepergian ke luar negeri pun Elly membawa beras solok. Dimakan dengan bumbu rendang saja cukup.
Dohirul Amri (39), karyawan swasta di Jakarta, pun tak bisa berpisah dari beras solok. Pria kelahiran Solok ini sering meminta dikirimi beras dari kampungnya. ”Berhubung masih punya sawah di kampung, keluarga pasti kasih tahu kalau mendekati panen. ’Mau dikirimi enggak?’ Pasti mau,” katanya, terbahak.
Saat panen, kerabat di kampung halamannya bisa mengirimkan hingga 20 kilogram beras solok. Beras itu biasa dititipkan truk pengangkut cabai atau tomat. Kalau masih banyak tempat di dalam truk, beras yang dikirim bisa 25 kg, bahkan 50 kg.
Apabila sudah demikian rindu menyantap nasi dari beras solok tetapi belum waktunya panen, Dohirul biasanya meminta tolong kepada kerabat untuk mengirim sekadar beberapa kilogram saja. Dia bisa saja membeli di Jakarta atau malah membeli lewat toko-toko daring, tetapi lebih nyaman tentunya jika beras berasal dari dekat rumah.
”Harga di sini jelas lebih mahal. Per kilogram bisa Rp 19.000 atau Rp 20.000. Di kampung harganya Rp 14.000 sudah beras paling bagus. Terasa juga tuh selisihnya,” ujar Dohirul.
Dia pernah merantau ke Riau yang masih kental dengan rasa Minang dan Melayu sehingga beras solok wajib ada. Di daerah tersebut, beras solok lebih mudah didapatkan karena banyak perantau asal Sumatera Barat dan jaraknya pun tidak terlalu jauh.
Saat sudah berada di Jakarta, juga menikah dengan istrinya yang keturunan Jawa, Dohirul mulai mengenal beras pulen yang cita rasanya berbeda dengan beras solok. Namun, kenikmatan beras solok tidak tergantikan.
Bagi dia, menyantap nasi dari beras solok adalah salah satu cara kembali ke kampung. Nasi putih hangat itu membawa aroma dan rasa dari kampungnya. ”Wanginya mengundang selera. Jadi, susah kalau dibilang harus mengurangi karbohidrat. Biasanya makan nasi tiga kali sehari, sampai dua kali nambah. Ha-ha-ha,” kata Dohirul.
Pegawai Dinas Pertanian Kota Solok, Taufik Rusli, mengisahkan, dirinya pernah merantau ke Bogor dan Yogyakarta selama beberapa tahun untuk sekolah. Saat itulah dia harus berpisah dengan beras solok. ”Saya butuh penyesuaian lama untuk makan beras pulen. Kayak makan ketan. Manja memang seleranya kalau soal beras ini,” ujarnya.
Kangen untuk mencicipi lagi beras solok itulah yang selalu muncul di hatinya ketika berada di rantau. Rumah makan khas Minang memang menjadi jawabannya, meskipun tidak selalu memuaskan rasa rindunya.
Meskipun tidak secara khusus memasak nasi dari beras tertentu, Istana Kepresidenan pun pernah mencicipi beras solok. Menurut penuturan Darmastuti Nugroho, Kepala Biro Pengelolaan Istana Kepresidenan Sekretariat Presiden, Kementerian Sekretariat Negara, yang juga pelaksana tugas Kepala Bagian Jamuan, dalam setiap kunjungan ke daerah tertentu, Presiden Joko Widodo meminta anggota stafnya membeli beras lokal daerah tersebut. Selain dibagikan kepada warga yang kurang mampu, sebagian beras juga dibawa pulang ke Istana untuk dimasak dan disantap bersama.
”Itu sebenarnya untuk peningkatan ekonomi di setiap daerah,” ujarnya.
Dalam pandangan Guru Besar Antropologi Universitas Andalas Nursyirwan, beras solok yang sudah menjadi bagian dari tradisi dan identitas orang Minang ini dibawa ke perantauan karena enaknya tidak ditemukan di tempat lain. Di samping itu, cita rasanya selalu mengingatkan sekaligus mendekatkan dengan aroma dan suasana di kampung saat mereka berada di perantauan. Membuat teringat kampung halaman, takana jo kampuang.
(SUHARTONO)