Dunia Maudy
Dari film pertamanya, Maudy melompat ke film keduanya, Sang Pemimpi, yang kala itu membuat sosoknya makin dikenal luas. Langkahnya di dunia akting pun semakin jauh, mengantarnya pada film-film lain, seperti Tendangan dari Langit, dan Perahu Kertas.
Film-film selanjutnya makin menancapkan nama Maudy sebagai salah satu bintang muda di dunia hiburan Tanah Air. Film terbarunya, Trinity, The Nekad Traveler, dirilis pertengahan tahun lalu. Maudy beradu akting dengan Hamish Daud, yang juga merupakan sosok populer di dunia hiburan Tanah Air.
Di dunia musik, langkah Maudy pun mulus nyaris tanpa hambatan. Sebuah kesempatan yang membukakan jalannya di dunia musik muncul saat dia menyanyi di sebuah mal di Jakarta Selatan.
”Waktu itu umurku 12 tahun. Seorang Wishnutama muncul. Dia denger, lalu kasih kartu nama. Lalu aku ke kantor Wishnutama, nyanyiin lagu-laguku sendiri, terus direkomendasiin ke Trinity (Optima), terus sign (kontrak),” kenang Maudy, Senin (5/2), dalam obrolan hangat di kediaman orangtuanya di Kemang, Jakarta Selatan. Di luar, Jakarta dingin dan muram karena guyuran hujan.
Bersama Trinity Optima Production, Maudy lantas merilis album Panggil Aku…. Dia juga kemudian terlibat di album berisi various artist yang merupakan soundtrack film Perahu Kertas. Album keduanya berjudul Moments, sementara album terbarunya, Oxygen, siap rilis dalam waktu dekat.
Seluruh rangkuman perjalanannya di dunia hiburan itu dideskripsikan oleh Maudy sebagai spontaneous miracle. ”Begitu banyak kebetulan,” ujarnya.
Yang tak banyak orang tahu, Maudy sesungguhnya justru sangat mencintai bidang akademis. Passion terbesarnya ada di dunia pendidikan. ”Aku tuh anak yang belajaran banget. Dulu sampai punya cita-cita jadi guru supaya bisa terus ada di sekolah. Karena aku suka sekolah,” ujar lulusan Jurusan Filsafat, Politik, dan Ekonomi Universitas Oxford ini.
Kecintaannya pada dunia pendidikan itu muncul karena di usia belianya, Maudy merasakan pengalaman bersekolah yang indah. Pengalaman itulah yang lantas menumbuhkan rasa ingin belajar terus dan terus hingga muncul keinginan untuk mendedikasikan diri sebagai guru agar terus terikat pada dunia yang menyenangkan itu. ”Cuma dari dulu aku suka ikutan musikal di sekolah, teater. Enggak bisa diem,” kata mantan Ketua OSIS di sekolahnya ini.
Pelan-pelan
Setelah menuntaskan kuliah S-1 di Inggris, Maudy memang sempat gamang: berkarier di dunia hiburan atau memilih bekerja kantoran. Apalagi, teman-temannya dari dunia akademis merasa dunia hiburan bukan tempat yang tepat untuk Maudy. ”Bukan karena dunia hiburan itu gimana, tapi mereka merasa, aku akan bisa membuat impact lebih di tempat lain,” kata Maudy.
Namun, Maudy justru memilih sebaliknya. Menurut dia, di negara seperti Indonesia, yang masyarakatnya sangat celebrity-oriented hingga menimbulkan rasa ingin tahu berlebihan terhadap hidup orang lain atau figur publik, dunia hiburan justru akan memberi impact lebih besar.
”Ini kelihatan pada kegilaan kita pada sosial media. Kita itu Twitter population terbesar, IG population juga. Jadi kita ini sebenarnya menyerap banget kehidupan orang lain. Dan salah satu industri yang paling terekspos, ya, hiburan,” kata Maudy.
Karena itulah, dia merasa harus tetap berada di dunia hiburan. Pilihan menghilang dan kembali saat merasa telah bisa membuat perubahan, menurut dia, tidak pas. ”Apa orang masih mau dengerin? Apakah sesuatu itu masih bisa di-amplify sama aku karena aku mungkin udah hilang? Mungkin bisa, cuma akan lebih susah lagi,” katanya.
Didorong karakternya yang memang tak bisa mengerjakan satu hal saja, Maudy memantapkan diri untuk bersetia di dunia hiburan. Musik, yang relatif bisa berada di bawah kendalinya, dipilih sebagai cara untuk memberi impact. ”Aku pengin masuk musik dulu karena aku ngerasa ini jalur yang tepat untuk membawa perubahan pelan-pelan. Maksudnya kayak membawa impact halus, influencing anak-anak muda,” katanya.
Karya kreatif seperti musik, menurut Maudy, sebenarnya lebih menyentuh emosi karena kadang-kadang sulit untuk memulai percakapan tentang hal-hal berat. ”Kalau serius, jadinya berat, padahal kalau itu bener-bener sesuatu yang intuitif, justru lebih kena lewat musik, juga tulisan. Via seni sih intinya,” katanya.
Dia memulainya di album Oxygen yang dikerjakan sejak 2017 sekaligus sebagai pembuktian dirinya yang makin matang sebagai pribadi. Maudy menyebut albumnya itu sebagai album yang paling otentik karena betul-betul merangkum visi dan misinya sebagai penyanyi ataupun penulis lagu.
”Ini album ketiga. Album pertama dirilis saat aku masih 13 atau 14 tahun, yang kedua kira-kira 17 atau 18 tahun. Itu adalah masa-masa aku masih mencari diri lagi dan lebih lagi. Lebih ambigu lagi dari sound music-nya pengin dibawa ke mana, dan pada saat itu masih banyak influence dari orang-orang dewasa, jadi belum memiliki sound sendiri,” ungkap Maudy.
Untuk menunjukkan otentisitasnya itu, Maudy, misalnya, sampai membongkar bank musiknya tahun 2014 yang lalu diproduksi untuk memperlihatkan sound yang belum pernah didengar orang. Dia juga memasukkan lagu yang dia ciptakan saat masih mengalami banyak perubahan semasa berada di Inggris.
”Maka, judul albumnya Oxygen karena sebenarnya kayak breath a fresh air kayak finding yourself. Jadi ada proses pencarian diri juga,” kata Maudy yang merasa pengalamannya tinggal dan bersekolah di Inggris berperan besar dalam proses penemuan dirinya menjadi lebih matang, mandiri, dan menyadari kemampuan dalam dirinya.
Termasuk dari sisi musik. Di album Oxygen, Maudy menawarkan musik yang sangat beragam dan eksploratif. Banyak sekali kejutan.
Maudy sengaja menggandeng Rendy Pandugo dan Teddy Adhitya yang menurut dia merupakan musisi-musisi otentik, musisi-musisi yang mengenali jati dirinya. Bukan musisi yang mudah mengikuti arus industri. ”Ini jadi pengalaman belajar juga buat aku,” kata Maudy.
Dia senang karena saat ini dia hadir dalam gelombang musik yang di dalamnya berisi musisi-musisi muda out of the box. Di sisi lain, Maudy juga bersyukur bertemu dengan tim yang menurut dia konstruktif, memberinya kepercayaan diri dan membantunya untuk tetap menjaga otentisitasnya dalam berkarya.
Harus punya mimpi
Dari 12 lagu di album terbarunya, Maudy tak menampik, masih banyak tema cinta. Ini tak bisa dihindari karena, menurut dia, cinta masih tetap menjadi bagian besar dari hidup manusia, bagian dari emosi. Namun, cinta yang ada di album Oxygen jauh lebih dewasa dan realistis. Dia memberi sorotan lebih pada isu tentang youth empowering (pemberdayaan anak muda) dan female empowering (pemberdayaan perempuan).
”Lagu ’Be Right Back’ itu lagu tentang perempuan yang ninggalin pacarnya untuk mengejar mimpinya. Tapi, ini halus, ada kata-kata aku cinta kamu, tapi aku tetap harus pergi. Jadi, ada sesuatu yang powerful, tapi tetap sweet dari lagu ini karena ada kata-kata begini juga, dreams keep calling and you’re one of them. Jadi, cowok itu sebenarnya mimpi dia juga,” kata Maudy.
Melalui lagu itu, Maudy ingin menyampaikan pesan bahwa para perempuan juga harus punya mimpi yang lain. Tidak selalu pihak laki-laki yang harus menang. ”Jadi jangan lantas enggak mengejar mimpi juga. Nanti jadi penyesalan,” tutur Maudy.
Ada juga lagu ”Alasan untuk Bahagia” yang menceritakan tentang alasan-alasan untuk bahagia. Sedikit pesan tentang pemberdayaan perempuan seperti di albumnya itu, akan diselipkan juga dalam buku antologi Maudy yang akan dirilis tahun ini.
Isu pemberdayaan perempuan, pemberdayaan anak muda, dan pendidikan memang menjadi perhatian Maudy. Dari ketiganya, menurut Maudy, pendidikan menduduki posisi paling atas dan harus dikerjakan lebih dulu meski sifatnya lebih jangka panjang.
”Kalau yang dua itu, kan, lebih soal mindset. Kita bisa baru mulai pembicaraan tentang hal seperti itu kalau cara berpikir kita sudah matang. Baru bisa membuat perubahan besar,” katanya.
Di bidang pendidikan, salah satu hal yang menjadi perhatiannya adalah kurikulum. Menurut dia, kurikulum seharusnya bisa didesain agar siswa terbiasa berpikir kritis.
”Takutnya kalau baru mulai itu di saat kuliah, independent thinking-nya agak telat. Ini juga untuk mengajarkan anak-anak muda supaya beneran punya opini. Berbeda juga enggak papa, sama juga enggak papa, tapi punya opini. Enggak cuma oke-oke aja,” kata Maudy. Dunia Maudy, begitu luas, tak terbatas.