Liang Liu Sebastian
Unsur alam yang terinspirasi dari pohon liang liu tecermin lewat pemilihan material busana. Bahan seperti berbulu atau rafia yang memberi kesan ringan dan melayang dipadukan dengan permainan payet dan manik-manik. Bahan-bahan lain yang digunakan adalah brokat chantilly, tule, organdi, damask, crepe, dan chiffon.
Unsur alam juga terlihat lewat pemilihan motif-motif yang lebih banyak mengangkat flora dan fauna, seperti busana yang diberi judul The Sky of Roses, yakni bahan brokat chantilly yang diberi aplikasi bahan damask dan dibentuk menjadi bunga-bunga berwarna biru lalu ditempel dengan cara dibordir. Pada tepian mahkota bunga ros biru itu dihias dengan mutiara dan manik- manik.
Kali ini, Seba banyak bermain pada detail aplikasi pada baju melalui pemakaian payet, manik- manik, bebatuan, mutiara, hingga bordir. Pemakaian itu terkadang eksesif, yakni bahan yang seluruhnya ditutupi payet masih dihiasi dengan manik-manik atau mutiara yang membentuk motif tertentu. Namun, dengan pengelolaan sedemikian rupa, masih terasa harmonis, tetap elegan, dan bernuansa glamor untuk mengiringi sukacita menyambut datangnya tahun baru.
Motif-motif yang diambil banyak terinspirasi dari chinoiserie yang merupakan hasil interpretasi Eropa terhadap kebudayaan China. Motif-motif seperti burung-burung, ikan emas, tanaman anggur, dan pagoda yang kerap menghiasi lemari-lemari khas China, diangkat ke atas kanvas busana dan diwujudkan melalui permainan payet-payet atau mutiara. Motif-motif ini biasanya bagian dari dongeng atau legenda yang populer di China.
Misalnya, sebuah gaun panjang pas badan tanpa lengan. Gaun dengan bahan yang penuh berpayet warna hitam itu dihiasi mutiara putih dengan motif burung-burung yang tengah hinggap di dahan. Kerahnya bergaya cheongsam dengan pinggiran putih.
Contoh lain, dress pendek dari bahan penuh berpayet dengan warna merah marun. Bagian depannya dihiasi manik-manik berwarna emas tembaga dan perak dengan motif pagoda, pohon, dan perahu. Bagian bawah gaun dihiasi bulu-bulu berwarna senada.
Baju merah berpayet lainnya dihiasi motif ikan emas. Baju ini dibuat pas badan dengan bagian luar dilapisi bahan tule yang menerawang berwarna hitam dan bagian bawah berbentuk rok clock serta bagian lengan dihiasi bahan berpayet hitam.
Ketimbang memilih warna merah menyala seperti biasanya nuansa Imlek, Seba memilih warna merah marun. Demikian pula dengan warna kuning yang ia hindari dan sebagai gantinya adalah warna emas.
Bentuk kerah cheongsam pun ia olah kembali. Ada yang dibuat lebih tinggi daripada biasanya atau diberi belahan di bagian belakang, atau diberi tepian dengan warna berbeda dari warna kerah.
”Saya lebih memilih memberi karakter China lewat permainan detail baju,” kata Seba.
Selain detail, Seba juga banyak bermain pada bentuk busana. Selain gaun-gaun pas badan khas Seba, ia juga menawarkan busana-busananya dalam berbagai variasi model, seperti jumpsuit, jaket, gaun pendek, gaun dengan bagian bawah berbentuk A line, gypsy, dan trompet.
Paduan antara baju pas badan yang dibungkus dengan gaun dengan bagian bawah lebar, tetapi dengan bahan menerawang terlihat diterapkan pada beberapa koleksi. Ia memvariasikannya lewat permainan warna dan panjang pendek busana.
Permainan bentuk tangan masih terlihat seperti dalam koleksi terdahulunya, Whisper/Roar. Namun, tidak terlalu ekstrem, baik bentuk maupun ukurannya, seperti bentuk lengan balon, puff, hingga potongan cut-out shoulder yang sedang tren.
Pada sesi pergelaran, Seba mengawali dengan koleksi klasik berupa baju-baju bergaya emperor dengan aplikasi bordir berwarna-warni. Seperti, baju dengan bagian luar jubah yang lubang tangannya dibuat superlebar, jumpsuit yang bagian atasnya dibentuk sebagai wrap dengan tepian lebar berbordir adalah beberapa terjemahannya terhadap pengkinian baju-baju berdasarkan budaya China.
Secara umum, koleksinya sendiri bisa disebut sebagai chinoiserie dengan model busana bergaya Eropa, tetapi memiliki detail inspirasi China. Menurut Seba, ia tidak ingin koleksinya terlalu kental bernuansa China, tetapi dikemas sesuai dengan zaman sekarang.
Seba berharap melalui koleksi terbarunya yang mengawinkan banyak budaya ini dapat menambah khazanah budaya di negeri sendiri. Seba mengaku, sebenarnya ia hanya melanjutkan tradisi sikap keterbukaan masyarakat Nusantara sejak berabad-abad lalu. Bangsa Indonesia sejak ratusan tahun lalu telah terbiasa menerima datangnya budaya baru dari bangsa-bangsa lain, termasuk agamanya, mulai dari India, China, Timur Tengah, hingga Eropa. Sikap keterbukaan itu, menurut dia, perlu terus dipertahankan, di antaranya melalui mode. Toh, perkembangan suatu bangsa, di bidang apa pun, tidak terlepas dari saling belajar dan memengaruhi.