Sutradara Berbagi Atap
Di rumah mereka di kawasan Bumi Serpong Damai, ruang diskusi tentang proses pembuatan film ini pun meluap-luap di setiap sudut ruangan, terutama di ruang kerja yang berada di samping dapur, tak jauh dari ruang makan. Jika tidak sedang ke kantor, Fajar maupun Santi bakal bekerja dengan komputer jinjing saling berhadapan di sebuah meja kerja kayu.
Kamar kereta
Biasanya, Fajar bakal bekerja sembari menyeruput teh manis, sedangkan Santi meminum kopi pahit panas. Dinding ruang kerja dipenuhi dengan deretan buku yang sekaligus menjadi inspirasi dalam berkarya. Meskipun berusaha memilah antara urusan kerja dan rumah tangga, tidak bisa dimungkiri, ketegangan ketika membuat film selalu terbawa bahkan hingga kamar tidur.
”Kita berurusan dengan banyak hal. Kadang, ada yang kelewat. Di rumah masih diskusi kencang. Paling si Sophie yang datang ke ruangan kita: halo guys, mom and dad. Ini diskusi, kan? Okay! Untungnya ada Sophie yang ingatkan. Kita kadang saking nafsunya, suara kencang. Dua-duanya punya idealisme,” kata Santi.
Baik Santi maupun Fajar punya cara tersendiri untuk menggali inspirasi ketika sedang berada di rumah. Dengan menaiki tangga kayu ke lantai dua, mereka menunjukkan zona rekreasi sekaligus tempat untuk berburu ide. Di lantai dua rumah yang baru saja dibangun dengan dinding sengaja tidak dicat tersebut, Santi terbiasa memuaskan hobi menonton di ruang nonton dengan televisi berukuran besar.
Di kamar nonton tersebut, Santi lebih banyak menonton serial drama televisi. Dalam satu pekan, biasanya ia meluangkan waktu untuk menonton film di bioskop dekat rumah dengan berjalan kaki bersama Fajar. Tiap ada kesempatan, mereka pasti menonton film di bioskop. Bahkan, sering kali, sekali menonton film, mereka bisa sekaligus melahap lebih dari satu film.
Tepat di samping ruang menonton, terdapat kamar khusus untuk koleksi kereta yang sudah dikumpulkan Fajar sejak 2005. Di kamar kereta itu, Fajar membangun kota dengan rel-rel kereta api hingga ke pelabuhan. Sembari menyolder rangkaian rel kereta atau memperbaiki mesin kereta mini, beragam ide pun tiba-tiba menghinggapi Fajar.
Seperti ketika menulis skenario film Terbang, Fajar mencari inspirasi dengan berkutat di kamar kereta. Gerbong-gerbong kereta yang bisa berjalan di rel berarus listrik itu sengaja didesain sendiri agar serupa dengan model kereta yang ada di Indonesia. ”Karena bodi dibikin sendiri, yang sulit ya cari mesinnya,” kata Fajar.
Selain koleksi miniatur kereta, Fajar juga mengoleksi mobil-mobilan kaleng yang diletakkan di antara ruang makan dan ruang depan di lantai satu. Koleksi mobil-mobilan ini berdampingan dengan koleksi sepatu milik Santi yang sengaja dijembreng di ruang paling depan. Begitu memasuki rumah, tamu-tamu pasti disuguhi hamparan sepatu tersebut.
Harus hening
Sebagai orang rumahan yang lebih senang menghabiskan waktu seharian di rumah, Fajar lebih menyukai suasana rumah yang hening. Di dalam keheningan tersebut, ia bisa lebih fokus dalam bekerja. Jika bosan, dengan mudah Fajar bakal beralih dari pekerjaan di komputer jinjing ke permainan game di komputer yang ada di samping meja kerja. ”Kerja di rumah bisa lebih terkontrol,” tambahnya.
Fajar dan Santi sudah menempati rumah yang diwarisi dari orangtua mereka ini sejak 2012. Sebelumnya, Fajar yang berasal dari Yogyakarta berpindah-pindah tempat tinggal ketika merantau ke Jakarta. Setelah menikah, mereka menyewa rumah di Lebak Bulus sebelum kemudian pindah ke rumah tersebut.
Tinggal di daerah BSD sebenarnya bukanlah impian mereka. Suatu ketika, Fajar pernah shooting film di daerah tersebut dan menyatakan tak suka dengan wilayahnya yang jauh dari Jakarta. Demikian pula Santi yang enggan menempati rumah itu dengan alasan sama, yaitu jarak yang jauh. ”Dulu disuruh papa tinggal di sini juga enggak mau, jauh banget. Tapi, sekarang, menurutku ini tempat terbaik untuk menumbuhkan anak,” kata Santi.
Seiring waktu, rumah tersebut menjadi zona nyaman tersendiri. Tetangga sekitar yang umumnya pensiunan memperlakukan mereka bak anak sendiri. Beberapa kali tetangga depan rumah mengirimi masakan dan turut membantu mengawasi rumah ketika Fajar dan keluarga bepergian. Suasana perumahan yang cenderung sepi karena pedagang keliling dilarang masuk semakin mendukung keheningan yang dicintai Fajar.
Saking nyamannya, Fajar bisa dua minggu sama sekali tidak keluar rumah dan bekerja seharian. Bahkan, ia tak mau beranjak ke taman belakang untuk melihat matahari. Agar tak bosan, warna cat rumah diganti secara berkala. Mempertahankan bangunan lama dengan taman di halaman belakang dan udara yang bebas keluar masuk, lantai satu rumah ini memang terasa adem dan nyaman.
Hasilnya, tiga film yang merupakan kerja bareng Fajar sebagai sutradara dan Santi yang memproduserinya telah lahir di rumah itu. Tiga film itu adalah Moammar Emka’s Jakarta Undercover, Cinta Selamanya, dan Terbang. Selain karya bareng, Demi Istri Production juga telah melahirkan belasan film lain. Fajar dan Santi menunjukkan bahwa kehangatan dalam keluarga mampu menjadi bahan bakar ampuh dalam berkarya.