Anak Juara dari Pasar Duren Tiga
Semua anak harus memiliki kesempatan dan akses yang sama untuk menempuh pendidikan, tidak terkecuali anak-anak dari keluarga kurang beruntung. Sejumlah anak muda menginisiasi kelas tambahan bagi anak-anak dengan tempat di sebuah los pasar. Dari pasar, anak-anak ini siap menantang dunia.
Minggu (18/2), ketika pagi belum pergi, kawasan Pasar Duren Tiga, Mampang Prapatan, Jakarta Selatan, mulai ramai. Pedagang menata dagangan dan pembeli berseliweran mencari barang yang diinginkan. Pasar ini terletak hanya beberapa kilometer dari Kemang, kawasan gemerlap di selatan Jakarta.
Ramai suara anak-anak terdengar dari sebuah los paling ujung di bagian belakang pasar. Tulisan D’ Champ Social School terpasang di bagian depan los. Di dalam, anak-anak melantai di ruangan bercat hijau tersebut. Ada yang tertawa, bercerita, atau saling mengganggu. Beberapa lainnya sibuk dengan buku catatan lengkap dengan meja menulis.
Mereka bukan memperebutkan mainan atau jajanan pasar, melainkan sedang mengikuti cerdas cermat!
”Kak Apri mengajar mulai 08.30 dan mengajar selama 85 menit. Dia kemudian istirahat selama 15 menit,” ucap seorang guru di depan kelas membacakan soal cerita.
”Lama amat Bu istirahatnya,” celetuk seorang anak.
”Dengar dulu pertanyaannya. Jangan ganggu temannya, ya,” kata guru tersebut sembari melanjutkan pertanyaannya.
Anak-anak yang mengikuti kelas setiap hari Minggu ini memang ramai. Tanpa ada seragam, tetapi tetap harus bersih dan rapi. Bermodal buku tulis dan semangat belajar, mereka asyik menikmati pengajaran, termasuk mengikuti lomba yang diadakan memperingati ulang tahun sekolah tersebut.
Mohammad Noval (11) memperhatikan dengan takzim. Setelah berpikir keras dan mencatat di buku tulisnya, dia tidak yakin dengan jawabannya. Padahal, sebelumnya siswa kelas V SD ini mampu menjawab sebuah soal matematika dengan cepat.
Saat sesi matematika selesai dan masuk ke tebak gambar, Noval tidak tertandingi. Dengan bel dari botol plastik yang diisi serbuk sehingga menimbulkan bunyi gemericik, dia menjawab hampir semua soal yang diajukan.
Sebuah soal, misalnya, menunjukkan semangkuk mi, sebuah tas dan gambar rupiah. ”Minta uang,” jawab Noval setelah dengan cekatan membunyikan bel.
Noval memang suka permainan tebak gambar dan menyenangi pelajaran IPA di sekolah. Di kelas tambahan ini, dia senang mendapat pelajaran ekstra. Selain itu, dia juga suka bergabung karena mendapat banyak teman baru.
Kelas juara
Noval baru bergabung dengan kelas informal ini satu bulan lalu, tepat ketika kelas baru dibuka oleh pengurus di sebuah lokasi baru. Hal ini dilakukan atas permintaan warga yang ingin agar ada kelas tambahan yang sama seperti di pasar tersebut.
D’ Champ adalah nama kelas informal ini yang digagas dengan tujuan untuk mencetak para juara di bidang apa saja sesuai bakat dan keinginan anak. Sekolah informal ini lahir pada 12 Februari 2012. ”Makanya, hari ini tuh perayaan ulang tahun kami. Ada lomba cerdas cermat untuk kelas IV, V, VI, dan lomba story telling untuk kelas di bawahnya,” kata Novita Ayu Wulandari (32), penggagas sekolah D’ Champ.
Bersama lima rekannya yang mempunyai atensi di dunia pendidikan anak, Ayu menginisiasi sebuah kelas informal untuk anak-anak yang tidak mampu. Tujuan mereka adalah agar semua anak mendapatkan akses dan kesempatan yang sama dalam pendidikan. Mereka menyiapkan sebuah kelas yang mengajarkan mata pelajaran formal.
Beberapa kali mencari lokasi, tibalah mereka di kawasan Mampang Prapatan, di dekat Pasar Loji. Menempati sebuah mushala, mereka memulai kegiatan belajar mengajar. Semakin lama murid semakin bertambah, hingga mencapai 30 orang.
Ruangan mushala mulai tidak memadai. Mereka akhirnya mencari tempat baru, sementara menumpang di rumah ketua RT. Hingga suatu saat, murid semakin banyak dan membutuhkan ruangan yang permanen untuk menyimpan barang dan alat bantu pengajaran. Di saat yang sama, Ayu dan kawan-kawan juga membuat yayasan dengan nama Yayasan Langkah Indonesia Mandiri (Lima) untuk memudahkan dalam mengurus administrasi.
”Akhirnya, ada los di pasar yang kosong. Kami pindah ke sini dibantu Karang Taruna setempat,” ucap Ayu. Los tersebut disewa Rp 1,2 juta setiap bulan. Selain menerima dana dari donatur, sejumlah pendiri sekolah ini, juga relawan, menyisihkan pendapatan dari mengajar privat untuk membiayai operasional.
Hingga saat ini, jumlah murid D’ Champ sebanyak 50 orang yang terbagi di dua tempat. Tenaga pengajar sebanyak 16 orang, yang sebagian adalah mahasiswa, dan sebagian besarnya adalah pekerja.
”Seorang siswi angkatan pertama kami sudah kelas II SMK. Dia juga juara kelas dan memiliki cita-cita tinggi untuk kuliah. Itu sudah sangat luar biasa bagi kami. Apalagi di lingkungan ini masih sedikit anak-anak yang melanjutkan sekolah,” kata Ayu.
Dita Novianti (25), seorang pengajar, menceritakan, banyak tantangan yang telah dilewati di sekolah D’ Champ ini. Salah satunya, ketika banjir tiba, ruang kelas akan kebanjiran dan anak-anak tidak dapat belajar. ”Pernah sampai anak didik kami hanyut terbawa arus sungai dalam perjalanan menuju kelas dan dia meninggal,” ujar Dita.
Tantangan lain adalah pola pikir orangtua di sekitar pasar yang lebih menginginkan anaknya bekerja daripada belajar. ”Saya adalah orang yang beruntung, mereka tidak. Jadi, saya ingin membagikan keberuntungan saya ini kepada mereka dengan mengajar,” ujar Dita.
Semangat untuk berbagi itu selalu tumbuh di kelas ini. Meski harus menyisihkan tenaga, waktu, pikiran, juga materi, pengajar dan relawan menikmati waktu di sekolah ini. Menurut mereka, melihat senyum anak-anak saja sudah membuatnya sangat bahagia. Benarlah sebuah adagium, jika semua tempat adalah sekolah, dan semua orang adalah guru. (Saiful Rijal Yunus/*)