Inspirasi Berkantor
Di koridor luar rumahnya ketika itu ada penjor berwarna magenta. Arifien mengatakan, penjor seperti itu senantiasa dipasang setiap hari. ”Di sini, setiap hari adalah hari perayaan,” ujar Arifien.
Pintu gerbang terbuka. Di belakang pintu gerbang itu ada halaman cukup luas. Di samping kiri terdapat koridor dengan sejumlah anak tangga. Jalanannya menurun menuju sebuah kolam ikan yang cukup luas. Ada sampan kayunya di situ.
Rumah tamu dengan tiga lantai ada di ujung kolam dan tempat ibadah atau mushala ada di ujung yang satunya. Arifien bertutur, Minggu pagi, anak-anak di sekitar rumahnya berdatangan dan belajar bersama di tempat ibadah tersebut.
”Mereka belajar bahasa Inggris, belajar Matematika, belajar ilmu agama, dan sebagainya,” kata Arifien.
Buku-buku tertata rapi di sebuah lemari di ruang ibadah yang sekaligus diperuntukkan sebagai ruang belajar anak-anak di sekitar rumah Arifien. Ketika menengok kamar-kamar yang ada di rumah tamu di seberangnya, cukup unik. ”Di sini ada tiga kamar untuk tamu,” kata Arifien.
Arifien sendiri yang membuat desain setiap bangunan rumah itu. Kamar-kamar tamu itu didesain berbeda dengan kamar-kamar untuk penginapan atau hotel yang konvensional.
Arifien membuatnya unik, salah satunya dalam hal penataan anak tangga yang berkelok-kelok untuk mencapai kamar di lantai atas. Setelah memasuki salah satu kamar di lantai atas, di bagian belakang pintu masuk terdapat ruang kosong.
Kemudian, di sisi kanannya ada kamar mandi yang cukup lengang. Masuk lebih dalam lagi, ada kursi meja yang tertata seperti di ruang tamu rumah-rumah konvensional. Di ruang yang sama terdapat tempat tidur.
Rumah utama
Ketika beranjak menaiki anak tangga dari halaman di belakang pintu gerbang, di situlah terpasang penjor-penjor dengan kain magentanya menuju sebuah rumah terbuka atau pendopo. Ada kursi dan meja di pendopo itu untuk sekadar menikmati minum kopi atau membaca buku.
Arifien meletakkan buku-buku di sebuah rak buku di pendopo tersebut. Dia membuat sedikitnya empat perpustakaan di rumahnya. Satu perpustakaan di pendopo. Ada lagi di studio melukis, di lantai dua rumah utama, dan di dekat kamar anak.
”Saya suka menyebar buku di meja yang ada di rumah kami. Terutama ini, supaya menumbuhkan minat baca anak-anak,” ujarnya. Arifien dengan istrinya, Shyeina Chandra Kasih, dikaruniai lima anak.
Dari rumah pendopo itu terdapat koridor alam yang terbuka. Koridor tersebut menghubungkan pendopo ke rumah utama, rumah kayu dengan dua lantai. Meski demikian, di bagian tertentu, rumah itu menjadi tiga lantai. Lantai ketiga dirancang sebagai kamar-kamar anaknya.
Dari arah pendopo, di sisi kanan, rumah utama lantai satu itu untuk tempat tinggal keluarga Arifien. Di bagian tengahnya terdapat ruang makan. Di situ ada meja bar, sekaligus difungsikan untuk ruang dapur. ”Sehari-hari kami memasak di sini,” ujar Shyeina.
Mereka menata banyak botol di area bar atau dapur tersebut. Itu menciptakan kesan seolah benar-benar berada di sebuah bar atau kafe.
Makanan dihidangkan di meja kayu yang panjang. Suasana hangat pun tercipta ketika menyantap makanan.
Di sisi kiri ruang dapur terdapat meja kursi yang ditata seperti ruang tamu. Lampu-lampu gantung dengan ornamen kain selubungnya yang unik menambah suasana hangat ruang tersebut.
Meskipun Arifien tergolong cukup produktif melukis, tidak banyak lukisan dipajang di rumahnya. Justru ia banyak memajang foto di beberapa dinding rumah. ”Saya menyelesaikan satu lukisan bisa dalam seminggu. Tetapi, saya merasa tidak pernah memiliki lukisan itu di rumah,” kata Arifien.
Melalui pengelola sebuah galeri, Zola Zolu Gallery, lukisan-lukisan Arifien dengan mudahnya diserap pasar. Saat ini, Arifien tergolong jarang berpameran, tetapi di era tahun 1990 nama Arifien cukup dikenal melalui berbagai pameran di Tanah Air dan di luar negeri.
”Ada beberapa lukisan saya di rumah, tetapi itu lukisan-lukisan yang pernah dibeli istri saya justru dari orang lain yang mengoleksi karya saya dan sedang membutuhkan uang,” kata Arifien.
Seorang kritikus seni, Jean Couteau, membukukan karya-karya Arifien ke dalam buku Arifien Neif-Wonderful World- Theater of Life pada 2013. Menurut Jean, ide-ide lukisan Arifien memiliki keintiman tersendiri terhadap alur kehidupannya.
Ketika berada di studio melukisnya di lantai dua, Arifien menunjukkan karya-karya yang sedang dikerjakannya. Di bidang kanvas yang cukup besar, Arifien sedang menyelesaikan lukisan tentang karnaval di Venice, Italia.
Arifien dengan sengaja menempatkan figur-figur yang ada di dalam lukisan itu, antara lain prajurit Kraton Yogyakarta. Arifien ingin membangun sebuah perangkap atau jebakan imajinasi di dalam karya lukisanya. ”Orang-orang kita sering terjebak dengan sesuatu yang ada di negara lain. Padahal, kita sendiri memiliki itu semua,” katanya.
Contoh karya yang memerangkap atau menjebak yang sedang dirancangnya adalah lukisan Kanal Grande. Kanal Grande cukup populer sebagai tempat wisata dunia yang berada di Venice, Italia. Namun, Kanal Grande yang dilukis Arifien adalah pemandangan di Kali Besar, Jakarta.
”Kita memiliki keindahan dari banyak hal seperti yang dimiliki negara lain di Eropa. Namun, kita tak sanggup merawat dan mengapresiasi keindahan-keindahan itu,” ujar Arifien.
Dari rumah itu, Arifien melahirkan gagasan-gagasan karya lukisannya yang dengan mudah diapresiasi pasar. Arifien menunjukkan keintiman dan keampuhan cara-cara kerja berkantor di rumah.