Langkah Besar Heaven Tanudiredja
Malam sebelumnya Heaven menggelar rancangan pertamanya untuk busana perempuan siap pakai dengan memakai namanya sendiri sebagai merek. Collection One dapat dikategorikan produk artisanal karena mengandalkan kerja kreatif artis kriya, terdiri dari 30 pakaian. Bagi Heaven, ini perubahan besar perjalanan hidupnya. ”Saya tidak ingin takut lagi berbuat kesalahan saat mencoba sesuatu yang baru. Saya ingin bebas,” katanya.
Meski mengaku dirinya tertutup, Heaven ternyata cukup banyak bercerita tentang kehidupan, cita-cita, dan harapannya pada industri mode. Saat berangkat ke Belgia pada usia 22 tahun, dia berketetapan untuk tinggal selamanya di sana. Ternyata dia hanya bertahan 13 tahun.
Alasan utama kembali ke Indonesia adalah bosan dan ingin mengerjakan sesuatu yang berbeda. Antwerp sebagai pusat Eropa Barat memang strategis untuk meniti karier di jantung mode dunia. Namun, tantangannya tidak kurang banyak. Salah satunya biaya tenaga kerja, 10 euro per jam, lumayan mahal bagi desainer yang sedang meniti karier dan harus membiayai sendiri kreasinya. ”Padahal, saya ingin berkarya sebebas-bebasnya,” ujarnya.
Bekerja dalam industri mode selama lebih 10 tahun di Antwerp dengan hasil yang dapat dibanggakan memberi Heaven kesempatan mendapat kewarganegaraan Belgia. Tetapi, tawaran tersebut justru membuat bimbang. Apalagi ibunya yang selalu mendukung Heaven tidak setuju anak bungsunya dari dua bersaudara itu berpindah kewarganegaraan.
”Ibu saya mengatakan, durhaka pada tanah kelahiran kalau saya pindah,” kata Heaven. Setelah percakapan tersebut, dia melihat sekelilingnya dengan mata berbeda. Eropa tidak lagi menarik. Bali menjadi rumahnya saat ini. Di rumah di tepi Pantai Sanur, Heaven merajut kembali impiannya sebagai perancang busana yang sempat dia tinggalkan saat menjadi desainer aksesori.
Harus orisinal
Sebelum memutuskan pindah ke Bali dan membuat Collection One, Heaven membuat persiapan cukup panjang. Dia mencari tahu atmosfer dunia kreatif Indonesia, mulai dari melahirkan ide dan mewujudkannya hingga kesiapan masyarakat menerima ide-ide tersebut.
Dengan jumlah penduduk 255 juta jiwa dan 10 persennya kelas menengah-atas, banyak di antaranya sudah terpapar pada pengalaman mode global secara langsung atau melalui media, membuat ide-ide kreatif lebih mudah diterima sebagian anggota masyarakat.
Bagi Heaven, Indonesia memiliki segala hal. Karena itu, Indonesia harus dikenal dunia melalui karya kreatif orisinal, bukan sebagai tukang jahit sebab mengerjakan pesanan perusahaan mode raksasa yang memanfaatkan tenaga kerja relatif murah.
Pada sisi lain, dia harus berhadapan dengan kenyataan berlimpahnya tenaga kerja tidak selalu sejalan dengan keterampilan. Saat menyiapkan Collection One, perlu kesabaran tinggi untuk mengajarkan pekerja cara menjahit payet agar menghasilkan efek yang dia inginkan. Begitu juga menjahit kerung lengan dan pundak yang memerlukan ketelitian karena kualitas menjadi unggulan.
”Banyak pekerja tidak kembali lagi setelah bekerja beberapa hari. Mereka tidak sabar, maunya kerja borongan,” ujar Heaven.
Tantangan teknis seperti itu tidak membuatnya berubah pikiran, setidaknya saat ini, untuk menetap di Indonesia. Juga ketika menghadapi peraturan bea dan cukai yang membuat kedatangan bahan baku kain dan sebagainya menjadi lambat. ”Lumayan gentar, tetapi akan terus dicoba mengerjakan,” katanya diiringi tawa.
Tentang peluang pasar, Heaven tidak kalah opimistis. Dia akan terus mencari rancangan yang pas dengan selera pasar tanpa mengorbankan apa yang dia idealkan, segala sesuatu yang indah tanpa berlebihan dan vulgar.
Tak lekang waktu
Belajar mode di Eropa mengajarkan bukan hanya kemampuan teknis, tetapi juga prinsip dalam industri yang bergerak sangat cepat itu, termasuk paradoksnya.
Bisnis dan industri mode selalu menghasilkan sesuatu yang baru dalam waktu dua hingga tiga bulan dan pada saat sama membuat produk sebelumnya yang belum rusak menjadi usang.
”Mode seperti sekarang itu salah. Konsumtif dan menghabiskan sumber daya, terburu-buru dan membuat orang tidak dapat melakukan refleksi ke dalam,” ujarnya di antara tegukan kopi pahit.
Dia mengatakan, tidak tertarik masuk ke industri mode yang massal walaupun dapat menghasilkan banyak uang. Menurut dia, menjadi kaya raya bukan tujuannya menjadi perancang busana, tetapi tentu harus hidup layak melalui profesinya ini. Yang penting dapat membuat sistem produksi dan skalanya tidak perlu menjadi besar.
Collection One mencerminkan pandangan itu melalui potongan klasik, tetapi modern dengan memainkan pilihan warna, bahan, dan detail berupa lipatan hingga penggunaan payet dan manik. Dengan desain tersebut, Heaven ingin rancangannya bertahan lama, dipakai bahkan hingga—kalau perlu—ke generasi kedua. Inilah paradoks lain mode, mendaur ulang yang lama untuk menjadi baru.
Kini dia penuh berkonsentrasi pada desain busana perempuan dan laki-laki, meskipun tetap akan menghasilkan aksesori. Dia mengaku sempat meninggalkan desain busana karena membutuhkan uang untuk dapat mandiri. ”Namanya anak muda, maunya bisa cepat punya nama sendiri,” ujar Heaven tentang alasan berhenti dari atelier Dries van Noten dan membuat aksesori.
Dia menyebut orang-orang yang banyak memengaruhi keputusannya dalam mode. Selain ibunya adalah Biyan Wanaatmadja dan Dries van Noten. Biyan, tempat Heaven pernah bekerja, mendorong dia melanjutkan pendidikan di Royal Academy of Fine Arts dan mengingatkan untuk berani menjadi perancang mandiri. Sementara dari Van Noten, dia belajar tentang disiplin, kerja keras, ketelitian, dan hidup membumi.