Gagasan Pokok dalam Film Harus Relevan dengan Masa Kini
Oleh
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Gagasan pokok cerita pada sebuah di film harus relevan dengan kondisi saat ini. Hal itu bertujuan agar dapat diterima oleh penonton dan berpengaruh pada dunia nyata.
Relevansi tersebut dapat disesuaikan dengan suatu peristiwa yang berdampak besar maupun dengan trend yang ada pada kehidupan sehari-hari. Ashley Hasz, ahli pemasaran dari American Film Showcase mengatakan, sebuah gagasan pokok pada film harus menarik dan sesuai dengan problematika manusia.
“Sebuah cerita yang menarik dalam film harus dapat diterima oleh masyarakat umum,” kata Ashley dalam acara presentasi dan diskusi bertajuk “Documentary Film Marketing and Impact Campaign” di Jakarta, Rabu (28/2). Ia mencontohkan film Spotlight yang dirilis pada 2015 lalu memperoleh keuntungan besar karena konsep ceritanya menggunakan kasus yang terjadi di dunia nyata.
Film yang bercerita dengan jurnalisme investigatif tersebut hanya bermodal 20 juta dollar AS, tetapi memperoleh keuntungan hingga 88,35 juta dollar AS. Ashley mengatakan, film Spotlight menggunakan tiga pendekatan isu, yaitu jurnalisme investigatif, pelecehan seksual, dan akuntabilitas institusi.
Ashley menjelaskan, ketiga pendekatan tersebut sangat sensitif dan mendapat banyak sorotan di Amerika Serikat. Film Spotlight bekerja sama dengan The New York Times dan media massa di Amerika Serikat lainnya untuk memberitakan ketiga isu tersebut agar mendapat perhatian masyarakat.
Menurut Ashley, media berpengaruh besar terhadap opini publik. Hal tersebut dimanfaatkan pemasar film Spotlight untuk mendapatkan perhatian dari publik. “Kualitas konten dari film berpengaruh besar dalam pemasarannya” kata Ashley.
Ia menuturkan, segala sesuatu yang berpengaruh besar pada kehidupan manusia akan dapat diterima oleh pasar. Gagasan pokok tentang perjuangan manusia dalam menghadapi permasalahannya juga dapat diterima oleh penonton karena mewakili pengalaman hidup sehari-hari.
Dihubungi secara terpisah, pengamat film serta pengajar di Fakultas Film dan Televisi Institut Kesenian Jakarta Marselli Sumarno mengatakan sebuah film cerita pada umumnya memiliki gagasan pokok atas permenungan yang dalam secara universal. Gagasan pokok tersebut dibungkus oleh tema. “Apabila dianalogikan, gagasan pokok merupakan badannya, sedangkan tema adalah bajunya,” kata Marselli.
Gagasan pokok dapat serius dan mendalam, tetapi secara tematis harus relevan dengan kekinian. Sebagai contoh, film Titanic versi tahun 1950an bertema tentang seorang suami yang selingkuh sedang menyusul naik kapal pesiar Titanic. Drama berpusat pada kesetiaan suami pada istri dan perselingkuhannya.
Versi tahun 1990-an bercerita tentang kisah kasih sepasang remaja yang menggelora, tetapi tidak kesampaian. Hal tersebut lebih menjual dan diterima oleh generasi masa kini. “Perubahan gagasan tersebut menunjukkan adanya pengolahan dan kecerdasan dalam meramu tema yang disertai dengan kualitas teknis,” kata Marselli.
Film dokumenter
Berbeda dengan film cerita yang mudah diterima pasar. Film dokumenter lebih sulit mendapatkan keuntungan material karena kurang minatnya penonton untuk menikmati film dokumenter. Ashley mengatakan, film dokumenter kurang memiliki daya tarik untuk mendapatkan keuntungan finansial.
Film dokumenter lebih sulit mendapatkan keuntungan material karena kurang minatnya penonton untuk menikmati film jenis ini
Produser film dokumenter Biji Kopi Indonesia Nicholas Yudifar menceritakan pengalamannya memasarkan filmnya. Film tersebut dibuat pada 2014 dan sempat diputar di bioskop serta dibuat dalam kepingan DVD. Namun, minat daya beli penonton masih minim. Dari 1000 keping DVD yang ia buat, hanya laku sekitar 500 keping DVD.
Nicholas mengatakan, sebagai pembuat film, keuntungan finansial harus dikesampingkan terlebih dahulu. “Pembuat film harus berpikir membuat film terlebih dahulu, setelah itu memikirkan pemetaan pemasaran yang tepat,” kata Nicholas.
Direktur program In-Docs Amelia Hapsari menuturkan, salah satu permasalahan industri film dokumenter di Indonesia, yaitu infrastruktur yang masih minim. Distributor film dokumenter di Indonesia belum ada sehingga sulit mencapai pasar yang diinginkan. “Hambatan tesebut harus dipecahkan untuk memajukan film dokumenter di Indonesia,” tuturnya. (DD08)