Antara Retro dan Tekno
Rasa nyaman memang secara tegas diterjemahkan dan diterapkan Joko dalam banyak cara di rumahnya itu. Mulai dari lantai rumah, terutama di bagian ruang tamu, yang dirancang terbuka menyatu, serta berfungsi sekaligus sebagai area makan, bekerja, atau bahkan sekadar berkumpul dengan rekan-rekannya yang datang bertamu.
Untuk memaksimalkan kenyamanan, lantai ruang tamu dibuat dan dirancang sendiri olehnya. Hanya terbuat dari plesteran semen abu-abu gelap yang setelah mengeras kemudian digosok lagi menggunakan ampas parutan kelapa, seperti biasa dilakukan orang-orang pada masa lalu. Tujuannya untuk mengilapkan lantai rumah tersebut.
Untuk menciptakan kesan ubin rumah lama, Joko juga membingkai plesteran semen itu dengan rangka besi. Bentuknya mirip ubin abu-abu khas rumah-rumah era tahun 1970-an dan 1980-an, tetapi dalam ukuran lebih besar, sekitar 1 meter persegi. Warna lantai abu-abu gelap mengilap itu sendiri memang terasa seolah memberikan suasana teduh dan adem.
Setidaknya hal itu dirasakan Joko, yang juga menyebutnya mirip suasana rumah tinggalnya saat dia dan saudara kandungnya masih kecil-kecil di Medan, Sumatera Utara. Ubin rumah seperti itu, buat Joko, sangat membuat dirinya merasa nyaman dan homey.
”Waktu kecil gue suka tidur di atas lantai rumah. Rasanya nyaman dan adem sekali. Sampai sekarang gue memang enggak pernah suka masuk ke ruangan yang lantainya putih bersih mengilap macam marmer. Entah kenapa gue malah merasa jijik. Makanya gue juga enggak suka masuk restoran berlantai seperti itu,” papar Joko.
Bentuk kenyamanan lain juga coba Joko bangkitkan lewat beragam pernak-pernik hiasan interior rumahnya. Hiasan rumah dominan berbentuk barang-barang lama dan terkesan usang, macam peti kayu bekas untuk menyimpan sepatu atau drum bekas yang tampak kusam berkarat yang berfungsi sebagai tempat sampah kering.
Selain itu juga ada beragam barang-barang bekas macam telepon, mesin tik tua, atau benda-benda elektronik dan kamera lama. Sebagian barang-barang itu dibelinya, sementara sebagian lagi memang barang-barang koleksi bekas dia pakai, seperti kamera-kamera, video atau cassette player, dan mesin tik.
Ada juga kayu-kayu bekas atau kaleng (blek) besar bekas tempat minyak goreng curah yang dibuat menjadi lemari kecil atau rak. Selain itu juga ada penutup gorong-gorong bekas terbuat dari besi solid, tebal, dan berat yang dia fungsikan menjadi meja di dalam kamar tidurnya di lantai dua.
”Dulu bapak gue, kan, kerja di bengkel sebagai tukang bubut. Dia bisa mengelas dan juga tukang kayu. Kebanyakan barang dan furnitur di rumah kami dulu dibuat bapak dari bahan atau barang-barang bekas tak terpakai. Seperti lemari dari sisa kayu bekas atau meja dan kursi yang dibuat dari sisa-sisa besi atau pipa, yang dilasnya sendiri,” ujar Joko kembali mengenang.
Semua benda bekas itu terpajang dan tertata rapi. Bahkan, beberapa jenis barang, macam kamera analog bekas, dibuatkan rak pajang kayu tersendiri. Keberadaan barang-barang itu juga memang terasa semakin mengentalkan nuansa retro di rumah tersebut.
Lantaran ada banyak elemen metal dan kayu menghiasi sebagian besar area di rumahnya, Joko mengategorikan arsitektur kediamannya itu sebagai bertema industrialis. Joko juga tak mencoba menghadirkan warna-warni cerah di rumahnya. Yang dominan hanya warna putih, hitam, serta warna asli beton yang diberi sapuan-sapuan kasar warna putih seolah dempulan.
Warna-warna terkesan kusam seolah sapuan cat dan dempulan kasar itu bisa dilihat di beberapa bagian dinding, seperti di area tangga akses menuju lantai dua, ruang bersantai dan kamar tidurnya, keduanya juga di lantai dua. Namun, untuk mengurangi tingkat kesuraman tadi Joko mengimbanginya dengan menambahkan beberapa jenis tanaman hijau dalam pot-pot kecil, yang dia tempatkan di beberapa pojok ruangan dan rak yang menempel di dinding.
Hiburan dan pekerjaan
Sebagai pekerja kreatif, khususnya industri hiburan, Joko sepertinya tak merasa perlu memisahkan terlalu ekstrem urusan pekerjaan dan hiburan di rumahnya. Semua sudut bisa menjadi tempat yang menghibur sekaligus juga bisa dipakai untuk area bekerja. Tergantung kebutuhan dan kondisinya.
Hal itu tampak dari beberapa bagian area ruangan, yang memang difungsikan secara maksimal untuk beragam keperluan dan kebutuhan yang simultan tadi, hiburan sekaligus pekerjaan. Pada lantai pertama Joko membangun satu area ruang yang dia beri nama ”Black Box Theatre”, yang serba berteknologi tinggi.
Ruangan berukuran 2,75 meter x 2,5 meter itu dilengkapi sofa empuk besar yang nyaman, bisa direbahkan, dan berpenyangga kaki. Di depannya, menempel di dinding, seperangkat televisi pintar berlayar lebar 65 inci, lengkap dengan seperangkat sistem penyuaraan (sound system) canggih nan menggelegar, membuat bilik tak berpintu ini serasa bioskop mini.
Sementara pada sekeliling dinding, tepat di bagian atas sofa, terpasang rak kayu panjang yang penuh berisi koleksi cakram-cakram digital beragam judul film kegemarannya. Belum lagi beragam saluran TV kabel, media-media hiburan berbasis streaming internet dan video on demand, mengisi penuh pilihan saluran yang bisa ditonton kapan pun.
Tidak hanya itu, nyaris tanpa susah payah, Joko juga bisa mencari beragam keperluan informasi atau bahkan sekadar mengatur warna atau kuat cahaya lampu di rumahnya. Semua itu dimungkinkan lantaran Joko juga menggunakan aplikasi canggih untuk rumah pintar, macam yang disediakan oleh perusahaan Google, speaker pintar dan asisten rumah (home assistant) Google, juga Alexa Amazon.
Hanya dengan perintah suara, Joko bisa meminta dua ”asisten maya”-nya itu mencarikan beragam informasi mulai dari berita terbaru, lagu-lagu kegemaran, atau bahkan sekadar prakiraan cuaca untuk hari itu.
Jika ruang Black Box Theatre di lantai bawah lebih dirancang Joko dengan kelengkapan dan sarana yang bersifat teknologi tinggi, maka ada satu ruang di lantai dua yang juga dia rancang dan rangkai dengan nuansa vintage, berteknologi lawas.
Tak mengherankan jika di ruang itu dia bisa menikmati dan menghabiskan waktu dengan mendengarkan beragam lagu, baik dari koleksi-koleksi piringan hitamnya (vinyl) atau kaset pita magnetis, atau juga film-film lawas dari kaset video Betamax, yang perangkat-perangkat pemutarnya juga masih dia miliki dan dalam kondisi prima.
Keberadaan perangkat hiburan, terutama televisi dan pemutar film, sepertinya memang sudah menjadi kebutuhan mendasar sutradara kondang lulusan Teknik Penerbangan ITB satu ini. Selain di ruang-ruang hiburan, Joko juga menempatkan perangkat menonton di kamar mandi dan bahkan layar proyektor di depan kasurnya.
”Dari kamar mandi gue juga bisa mengakses Alexa. Jadi sambil mandi kadang gue sambil dengerin berita atau dengar lagu. Atau menonton Youtube, berita, dan film saat di kloset,” tambahnya.
Jika butuh suasana kerja lebih serius, Joko juga membangun ruang kerja khusus berukuran 2,3 meter x 2,75 meter terpisah dari rumah utama, tepatnya di bagian pojok area kebun belakang (backyard). Kantor kecil yang dibangun lebih tinggi dari rumah utama dan terbuka, dengan dinding dan pintu kaca itu hanya terdiri dari satu meja dan kursi kerja dengan komputer, satu sofa berukuran sedang, serta tentu saja dilengkapi pendingin udara.
Selain taman yang serba hijau dan teduh, Joko juga melengkapinya dengan beberapa set kursi taman, meja kayu panjang, serta peralatan memanggang. Sambil bekerja, dan jika sedang penat, dia dan teman-temannya bisa sekaligus menggelar sekadar acara makan-makan dan bersantai di taman kecil belakang rumahnya itu.
”Jadi, di rumah ini gue bisa sambil nonton, santai, cari ide, dan buat kerja juga bisa. Kalau perlu enggak usah ke mana-mana lagi. Cukup kerja dari rumah saja,” ujarnya.
Begitu nyamannya, rumah Joko ini gampang bikin orang
mager, males gerak....