Kehidupan dalam Lukisan Pointilisme
Menyatu dengan lukisan pointilisme sosok Nyoman Nuarta, terpajang pula gambar dengan panjang 4,5 meter yang berkisah tentang proses pembuatan patung Garuda Wisnu Kencana di Bali. Di salah satu sudut galeri NuArt, Andreas setiap hari ”berkantor” dari pagi hingga siang hari. Ia terus-menerus melukis di meja kerjanya menyelesaikan pesanan dari para kolektor lukisannya.
Mereka yang berminat pada lukisan pointilisme bisa sekaligus belajar langsung dari Andreas yang bisa dijumpai di galeri tersebut setiap hari pada jam kerja. Anak-anak sekolah yang banyak berkunjung sering kali takjub mengamati hasil karyanya. Namun, kebanyakan dari anak-anak ini segera menolak dan mengaku malas melihat proses pengerjaan lukisan yang menyita waktu begitu lama dan membutuhkan kesabaran ekstratinggi.
Nyoman Nuarta pula yang kemudian menantang Andreas untuk mulai melukis dari medium kertas ke kanvas. Hal ini sempat membuatnya pusing karena melukis pointilisme tidak bisa dikerjakan sembari berdiri, tetapi harus duduk diam selama berjam-jam dalam kurun waktu lama. Koleksi lukisan Andreas lalu banyak yang kemudian dibeli untuk koleksi pribadi dari keluarga Nyoman Nuarta.
Ukuran raksasa
Proses pengerjaan karya pointilisme yang memakan waktu berbulan-bulan ini pun ternyata tidak sederhana. Dimulai dari sketsa, setiap titik yang dibubuhkan harus benar-benar tepat karena sama sekali tidak bisa dihapus. Agar tetap bisa melukis di kanvas sembari duduk, Andreas menyiasatinya dengan menggulung bagian kanvas yang telah selesai dikerjakan. Apalagi, sering kali ia mendapat pesanan lukisan dalam ukuran raksasa.
Salah satu kolektor yang jatuh cinta pada lukisan Andreas adalah seorang pengusaha, Husen Sena Cahyadi. Tak tanggung-tanggung, Husen memesan lukisan berukuran raksasa (1.005 cm x 180 cm) tentang sejarah China. Lukisan ”Heritage” yang masih dalam proses pengerjaan tersebut sampai harus dibagi menjadi tujuh panel untuk mempermudah pengerjaannya.
”Jarang sekali pelukis yang tekun dengan gaya melukis seperti ini. Butuh kesabaran tinggi. Lukisannya akan saya kirim untuk dipamerkan di China biar mereka tahu bahwa ada seniman di Indonesia yang karyanya unik tak terkalahkan,” kata Husen yang berharap seluruh rangkaian lukisan sejarah China tersebut bisa kelar dalam tahun ini.
Di rumahnya, Andreas lalu menunjukkan karya lukisan sejarah China yang sebagian sudah jadi dan dipajang di dinding
ruang tamu rumahnya. Karena keterbatasan tempat untuk memajang, sambungan dari lukisan tersebut disimpan dalam bentuk gulungan-gulungan kertas yang disimpan rapi di meja kerjanya. Selain di NuArt Sculpture Park, Andreas juga terbiasa melukis di tempat tinggalnya.
Setiap sudut dinding di rumahnya pun disesaki dengan lukisan pointilisme yang sebagian sudah dipesan oleh para kolektor. Mayoritas dari lukisan tersebut dominan warna hitam dan putih. ”Saya lebih suka hitam putih. Warna lain, mah, tipuan. Kalau hitam putih, teknik blurnya harus jago. Saya juga pakai warna lain, tapi lalu dicampur dengan warna hitam. Lukisan candi, misalnya, dibuat warna sephia,” ujar Andreas yang melukis dengan menggunakan rapido aneka ukuran.
Era lampau
Karya lukisan pointilisme yang dipajang di rumahnya antara lain berupa gambar karakter personel band legendaris Beatles. Ada pula beberapa lukisan tanpa pigura wajah hitam putih artis film era lampau Indonesia yang dulu sempat dipamerkan di gelanggang film anak muda ASTI pada 1985. Lukisan bertanda tangan para artisnya itu antara lain gambar pelawak Dono, Kasino, dan Indro serta aktor Rano Karno.
Tak memiliki latar belakang pendidikan seni, Andreas mempelajari aliran pointilisme secara otodidak. Dari awalnya membuat komik, ia lantas bergabung dengan Studio Rangga Gempol Barli pada 1980. Dari tahun 1989, karya-karya pointilisme tersebut sudah menghiasi majalah-majalah berbahasa Sunda, terutama untuk ilustrasi cerita pendek. Beberapa majalah yang memuat cerpen dengan ilustrasi karyanya masih disimpan dan dipajang di ruang tamu.
Beberapa kali, Andreas juga terlibat dalam pameran seni rupa, seperti Pameran Bersama Sang Maestro Sudjojono di Galeri Kita Bandung (2010), menjadi Nominees International Painting Competition ”Jakarta Art Award 2012” di North Art Space Gallery Taman Impian Jaya Ancol, serta peserta pameran lukisan ”Imago Mundi” Luciano Benetton Collection Italia pada 2015.
Ketekunan lebih dari 30 tahun membuat karya-karya Andreas begitu halus dengan gradasi yang membuat orang berdecak kagum dengan harga jual yang sangat terjangkau. Ia, misalnya, bisa membedakan sentuhan rasa ketika membubuhkan titik untuk melukis bulu dan membedakannya dengan bentuk batu. Lukisan pointilisme paling sulit, menurut dia, adalah ketika membentuk gambar air. ”Orang beli kesabaran dan ketekunan saya. Jika ada yang mau beli, karya saya lepas. Tapi saya enggak mau bikin lagi yang sama,” ujarnya.
Dalam sekali berkarya, biasanya Andreas membuat banyak karya sekaligus sehingga tidak membuatnya jatuh bosan. Dari ketekunannya menorehkan titik-titik lembut, lahir keindahan yang bisa dinikmati oleh banyak orang. Keindahan yang langka karena dibentuk dari kesabaran berbulan-bulan.