SURABAYA, KOMPAS — Universitas PGRI Adibuana Surabaya menyatakan usulannya untuk menjadikan perguruan tinggi swasta ini bisa memiliki sebuah Pusat Kajian Budaya Panji. Budaya Panji mengalami nasib yang sama dengan budaya tradisi pada umumnya karena terdesak demam alih media, dan oleh karenanya perlu dibentuk strategi budaya tertentu, yang bisa mengadaptasi perkembangan kemajuan ragam media.
Usulan tentang pembentukan ”Sudut Budaya Panji” atau ”Panji Cultural Corner” disampaikan Rektor Unipa Djoko Adi Waluyo di Surabaya, Minggu (4/3).
”Unipa yang memiliki pola ilmiah pokok sebagai perguruan tinggi berbasis pendidikan dan dikelola oleh PGRI (Persatuan Guru Republik Indonesia) berkepentingan menjadikan Budaya Panji dengan segala kekayaan local wisdom yang dibawanya sebagai media ideal keteladanan. Lebih dari materi kisah Panji tentang kisah cinta hubungan tokoh era Kerajaan Kediri Raden Panji Asmara Bangun dengan Dewi Sekartaji, pernik mikro stori dalam Budaya Panji berisi pesan-pesan keteladanan dan pendidikan,” katanya.
Pada acara diskusi interaktif ”Aspek Keteladanan dalam Cerita Panji” di Kampus Unipa Dukuh Menanggal Surabaya, pekan lalu, Rektor Djoko Adi Waluyo mengatakan, harus ada pihak yang mengambil alih tugas pelestarian dan mengoperasikan warisan Budaya Panji sebab pelestarian Budaya Panji membutuhkan komitmen, sumber daya, dan tindakan. Perguruan tinggi merupakan pihak yang tepat untuk tugas itu.
”Kami masih akan membentuk lembaganya dan pengurusnya,” katanya.
Pakar pemerhati Budaya Panji Henri Nurcahyo mengatakan, Budaya Panji sebagai kekayaan budaya Nusantara berdasarkan pada kisah romantik berlatar sejarah Kerajaan Kediri dan Jenggala sebelum era Singosari pada sekitar abad ke-7. Namun, produk Budaya Panji dalam bentuk kekayaan cerita, kemudian diketahui tersebar secara global, sejauh wilayah Asia hingga Jepang, Korea, Thailand, Myanmar dan Laos.
“Di wilayah-wilayah itu karakter Panji dalam bentuk cerita wayang, cerita rakyat hidup dalam budaya lokal masyarakat, dikenal dengan nama “Inou”,” ungkap Henri.
Aneka seminar dan kajian serta kunjungan ke lokasi situs Panji di Malang, Tulungagung, Pasuruan, Kediri, Blitar. Tulungagung sudah dilaksanakan sejak sekitar 2006 bersama para pemerhati, pakar, sejarawan, budayawan berbagai daerah termasuk ilmuwan asal Australia.
Pada era itu Dewan Kesenian Jawa Timur menjadi salah satu pihak yang menjadi jangkar kegiatan, juga sejumlah tokoh budayawan, termasuk Henri Nurcahyo. Henri sendiri menulis sejumlah buku, membuat situs web dan memimpin penerbitan berisi konten literasi Budaya Panji.
“Aneka kodifikasi naskah, bahan arekologi, aneka pustaka, data fisik dan digital, direncanakan bisa mengisi Pojok Budaya Panji di Unipa tersebut,” kata Henri yang juga sudah diminta membantu pengembangan pojok kajian di Unipa.
Ia menegaskan, penting untuk memahami kekayaan warisan Budaya Panji sebagai warisan yang tak kalah penting dibandingkan warisan berupa sumber daya alam. ”Sumber daya alam tak terbarukan setelah digali akan habis. Namun, Budaya Panji sebagaimana kekayaan budaya lainnya tak akan habis dikonsumsi dan dikelola termasuk dikomodifikasikan sebagai produk wisata dan komersial,” katanya.
Guru Besar Ilmu Budaya Unipa, Henricus Supriyanto, mengatakan pentingnya proyek alih wahana atau alih media warisan Budaya Panji tersebut. ”Kita harus menyesuaikan karakter dan tuntutan generasi muda dalam memahami dan mengenal Budaya Panji, misalnya dengan membuat produk animasi, video, media sosial, dan semua bentuk alih media masa depan,” kata Henricus.
Universitas Leiden, Belanda, kata Henri, mengoleksi 250 ragam cerita Panji, aneka pustaka kuno, dan produk budayanya, seperti wayang beber dan wayang Panji. Kekayaan produk Budaya Panji setara dengan naskah ”La Galigo” dan ”Babad Diponegoro”.