99 Cahaya dari Tubaba
Itulah bangunan Masjid Baitus Shobur yang bersebelahan dengan Islamic Center serta Balai Adat Sesat Agung. Bangunan-bangunan tersebut berhasil menjadi penanda (tetenger, landmark) bukan hanya bagi Panaragan Jaya, melainkan juga Tubaba sebagai kabupaten.
Arsitektur masjid yang diresmikan pada 11 Oktober 2016 itu tidak menggunakan atap kubah bulat seperti kebanyakan masjid. Namun, arsitek Andra Matin memasukkan semua penanda Islam di dalam desain masjid.
Bentuk segi lima bangunan masjid menggambarkan waktu shalat lima waktu. Panjang dinding disesuaikan dengan jarak antarwaktu shalat. Panjang dinding yang mewakili shalat Subuh adalah terpendek, sementara dinding yang menggambarkan waktu menjalani shalat Isya menjadi yang terpanjang.
Dinding masjid sengaja berupa beton ekspos untuk menggambarkan kebersahajaan saat menghadap Sang Maha Pencipta. Begitu pula lantainya dari kayu ulin dan merbau. Sementara langit-langit masjid berbahan logam, dihiasi ukiran tulisan Arab berisi 99 nama mulia Tuhan atau asmaul husna. Bila lampu dinyalakan, cahaya akan menyeruak dari goresan huruf-huruf tersebut. Masjid ini mengandalkan sirkulasi udara alami dengan membuka bagian bawah masjid setinggi kira-kira 1 meter dari lantai.
Terdapat 114 tiang menyangga atap selasar dari tempat mengambil wudu menuju masjid, melambangkan jumlah surat di dalam Al Quran. Di setiap tiang terdapat lampu yang bungkusnya berukir nama tiap surat. Sementara ukuran lantai dasar masjid adalah 34 meter kali 34 meter yang merupakan kelipatan jumlah 17 rakaat shalat wajib lima kali sehari.
Nama populer masjid ini, yaitu Masjid 99 Cahaya, berasal dari jumlah lubang kaca di langit-langit kolom masjid, melambangkan jumlah nama mulia Tuhan. Tinggi kolom masjid 30 meter, melambangkan jumlah juz di dalam Al Quran. Saat gerak matahari mencapai tengah hari, cahaya yang menerobos membentuk 99 titik cahaya di dinding dan lantai masjid. Titik-titik tersebut akan bergerak seiring dengan pergerakan matahari.
Keterbukaan, keragaman
Bupati Tubaba Umar Ahmad menyebutkan keinginannya mengubah wajah Tubaba dari daerah pertanian menjadi kawasan yang membuat warganya bangga dan mau tinggal membangun daerah. Penanda kota dibangun juga untuk menjadikan Tubaba sebagai kawasan seni budaya.
Tubaba, begitu kata Umar, selama ini adalah daerah serba bukan: bukan tujuan dan bukan pelintasan jalan lintas Sumatera. Tidak banyak sumber daya alam tersedia di daerah seluas 1.200 kilometer persegi dengan jumlah penduduk 300.000 jiwa dan 90 persennya adalah transmigran itu. Mayoritas penduduk di sana hidup dari bertani dan berkebun karet. Banyak penduduknya meninggalkan Tubaba mencari penghidupan lebih baik dan jarang yang kembali menetap di sana.
Tantangan tersebut dijawab Umar dengan mencari ikon bagi Tubaba untuk mengubah persepsi tentang kabupaten itu. Pilihan pada arsitektur karena merupakan karya buatan manusia, sama seperti seni rupa yang juga terus digagas untuk mengubah wajah Tubaba. Seniman rupa Hanafi menyambut ajakan Umar menghasilkan karya patung di sana.
Masjid bernama resmi Baitus Shobur, mengambil salah satu asmaul husna yang berarti Maha Sabar, itu ternyata bukan hanya tempat ibadah yang kemudian menjadi penanda kota dan kabupaten. Belakangan bahkan menjadi tujuan wisata dan studi banding dari sejumlah daerah luar Tubaba, termasuk dari Palembang, Sumatera Selatan, dan Jawa. ”Orang-orang datang ke Tubaba dengan adanya masjid dan balai adat. Itu membawa rezeki,” kata Umar.
Di sekeliling kompleks masjid mulai tampak pedagang berjualan makanan dan cendera mata. Tarikan lain, tempat menginap perlahan mulai tumbuh dan harga tanah merayap naik.
Andra Matin, arsitek senior Indonesia, banyak menggunakan unsur vernakuler dalam desainnya. Dia sengaja tidak menggunakan kubah bulat sebagai atap masjid. Andra ingin merangkum nilai-nilai universal Islam tentang kebajikan, kebersahajaan di hadapan Tuhan, dan terbuka terhadap perbedaan. Adapun atap Sesat Agung dengan sembilan bubungan mengambil ide dari hiasan rambut (sunting) perempuan Lampung.
Bangunan serba terbuka juga menggambarkan watak orang Tubaba yang terbuka, tidak ada yang disembunyikan. Dua bangunan yang bersisian dengan materi berbeda itu juga ingin mengingatkan bahwa hidup dikandung adat dan mati dikandung amal serta iman. Keduanya saling berhubungan dan simbolnya adalah jembatan kayu yang menghubungkan masjid dan balai adat.
Keterbukaan menjadi unsur penting dalam kehidupan masyarakat Tubaba mengingat sebagian besar transmigran datang dari berbagai wilayah di Jawa dan Bali. Masjid 99 Cahaya Baitus Shobur dan Balai Adat Sesat Agung menjadi penandanya.