Evolusi Sebuah Rumah
Untuk bisa menjadi area bermain bersama yang luas, Mita dan suami sengaja menyediakan taman dan kebun di sekeliling rumah, lengkap dengan rumput hijau serta pepohonan besar, yang dipertahankan sejak saat pertama rumah seluas 750 meter persegi itu dibangun di area tanah bekas kebun seluas 2.000 meter persegi. Ada setidaknya 10 batang pohon palem besar dan beberapa pohon tanaman buah, seperti rambutan dan mangga, sengaja dibiarkan tak ditebang saat rumah mereka mulai dibangun pada 2003.
Area ruang keluarga di pusat rumah di lantai satu pun dirancang sama luasnya sehingga anak-anak bisa memanfaatkannya untuk beraktivitas, mulai dari sekadar duduk-duduk atau tidur-tiduran sambil menonton televisi ataupun film. Area itu juga bisa disulap menjadi tempat berlatih menyanyi, bermain musik, atau menari bersama teman-temannya, seperti yang juga menjadi hobi si bungsu.
Mita dan suaminya juga sepakat menjadikan lantai dua rumah mereka sebagai area khusus untuk tempat belajar dan bermain bagi Karim dan Karissa. Area lantai dua seluas sekitar 250 meter persegi itu juga berfungsi sebagai tempat bekerja suami-istri tersebut.
”Sewaktu anak-anak masih kecil, di lantai atas itu saya dan Bapak bekerja sambil menemani anak-anak belajar dan bermain. Area lantai atas kami bebaskan untuk berantakan. Dengan begitu, area lantai bawah bisa tetap dijaga kerapihannya karena saya waktu itu juga masih mengerjakan beres-beres rumah sendiri. Tak ada pembantu,” kata Mita.
Saat ini, dua anak pasangan Syamsurizal dan Mita sedang sama-sama berkuliah di luar negeri di dua negara berbeda. Sang sulung, Karim, melanjutkan studi di Vancouver, Kanada, mendalami teknik pemrosesan produk-produk kayu. Sementara si bungsu, Karissa, mengambil jurusan desain grafis di kota New York, Amerika Serikat.
Area belajar, bermain, dan bekerja itu pun sudah berubah dan disulap menjadi kantor para karyawan Bambulogy. Namun, pada sudut tertentu, semisal beberapa lemari pajang, tetap terlihat beberapa macam koleksi boneka Barbie, mobil-mobilan, mainan robot, dan boneka dinosaurus. Mainan-mainan itu terpajang dan tersimpan dengan rapi walau tampak sedikit berdebu.
Rumah berevolusi
Setelah anak-anak dewasa dan semakin jarang di rumah, fungsi rumah pun ikut berevolusi. Jika dahulu ruang keluarga adalah area yang terbilang paling luas di dalam rumah kediaman keluarga Syamsurizal—kerap berfungsi sebagai tempat bermain, beraktivitas, dan bersosialisasi, baik antarsesama anggota keluarga inti maupun dengan rekan-rekan mereka—sekarang justru lebih berfungsi sebagai galeri.
Sejumlah produk furnitur dan aksesori interior terbuat dari bahan kayu olahan serat bambu produk Bambulogy dipajang di area ini. Ada kursi goyang berdesain unik karya seorang mahasiswa fakultas desain dari universitas negeri ternama, lantai dan partisi ruangan dari kayu, meja, kursi, lemari, cermin berukuran raksasa hingga contoh panel dinding dan pintu-pintu berukiran, semua terbuat dari kayu solid berbahan serat bambu.
”Tadinya semua material yang dipajang di sini berasal dari dua kali ikut pameran. Kami pikir daripada sewa ruko lagi menambah biaya, lebih baik semua item barang yang sudah dipamerkan kami tata saja lagi di ruang keluarga ini. Sudah lama juga saya ingin punya galeri. Jadi, kalau ada orang datang ke sini, mereka juga bisa langsung lihat sendiri,” ujar Mita.
Keputusan untuk menjadikan ruang keluarga sebagai galeri pajang juga tak lepas dari perkembangan kondisi keluarga. Saat anak-anak semakin beranjak dewasa dan kerap sibuk di luar rumah, apalagi kemudian mereka berkuliah di luar negeri, fungsi ruang keluarga untuk berkumpul juga semakin jarang digunakan.
”Dahulu, saat anak-anak masih sekolah dari TK sampai SMA, semua teman-temannya dikumpulkan di sini. Selain itu, saat kami masih berusia 30-40 tahunan, antarkeluarga kerabat atau teman juga masih rajin berkeliling saling bertamu. Semakin ke sini aktivitas seperti itu semakin jarang,” tambah Syamsurizal.
Saat ini, mereka kerap merasa rumah besar justru semakin memperkuat kesan sepi dan kosong. Mau tak mau harus dicari cara agar ruang yang sedemikian besar tak menjadi mubazir tak termanfaatkan. Rumah harus ikut berubah fungsi dan berevolusi.
”Kami berencana menjadikan rumah ini sebagai ruang publik. Tempat orang bertemu, brainstorming, dan bertukar ide. Saling berdiskusi untuk menciptakan karya-karya desain dan produk baru, terutama yang terbuat dari bahan kayu buatan Bambulogy. Beberapa rekan desainer atau arsitek sudah kerap datang berdiskusi atau sekalian mengajak kliennya mengobrol di sini,” ujar Syamsurizal.
Selain menjadi kantor, galeri, dan ruang publik tempat bertukar ide serta gagasan, rumah kediaman itu nantinya juga akan difungsikan sebagai tempat pelatihan khusus, terutama untuk mengajarkan cara menerjemahkan sebuah desain menjadi komoditas, baik berbentuk produk interior maupun benda seni (art work). Pelatihan nantinya difokuskan ke anak muda.
Kediaman Syamsurizal juga menurut rencana akan dibuka seluas-luasnya bagi beragam kalangan untuk datang dan berbagi ilmu atau pengetahuan. Syamsurizal bahkan sudah menyiapkan semacam nick-name untuk keperluan itu, PA 49.
Area selasar, yang menyatu juga dengan kolam renang dan taman belakang rumah pun berubah. Di area yang menurut Mita kerap dipakai rekan-rekannya berkumpul untuk berlatih senam yoga itu dilengkapi dua perangkat kursi dan meja tamu. Salah satunya berdesain ala furniture zaman dulu. Mita secara khusus memesan ubin lantai itu di pabrik tegel khusus bercorak ubin-ubin vintage produksi Yogyakarta.
Lantas di mana nantinya Syamsurizal dan Mita akan tinggal ketika rumah mereka berevolusi jadi ruang publik?
Keduanya mengaku sudah menyiapkan satu rumah paviliun kecil tak jauh dari rumah utama sebagai rumah tinggal masa tua mereka. Rumah kecil itu masih berada dalam area lahan yang sama dengan rumah utama.
Sebelumnya rumah kecil tadi
didiami kedua mendiang orangtua Syamsurizal, yang sebelumnya tinggal di lokasi lain di Jakarta.
Ada pula dua bangunan rumah lagi tempat ibunda Mita serta adiknya mendirikan rumah. Tradisi untuk tinggal berdekatan antar keluarga inti seperti itu menurut Mita sudah biasa dilakukan sejak zaman orangtuanya dahulu.
Akan tetapi, mereka tidak terlalu berharap tradisi serupa dilakukan kedua anak mereka lantaran zaman sekarang sudah berubah. Seperti juga manusia anggota keluarga di dalamnya, rumah ikut bertumbuh dan berevolusi.